Resensi Film Merindu Cahaya de Amstel; Islam, Perempuan, dan Skenario Terbaik Tuhan
Mungkin memang benar, karya sebagai cermin kenyataan mampu melemparkan kita
pada ruang-ruang realitas yang sering kali menyita emosi dan perasaan kita.
Menyaksikan film Merindu Cahaya de Amstel, melemparkan saya pada kenyataan
hidup yang pada hakikatnya sangat dekat dengan tangan Tuhan. Bahwa setiap gurat
nasib yang dilalui manusia telah tertaut dalam naskah skenario Tuhan yang tak
mungkin bisa diubah.
Khadijah adalah contoh kisah kehidupan yang mengajarkan kita bahwa dalam
sisi terburuk dari kehidupan kita ada hikmah yang disiapkan Sang Maha Kuasa. Perjalanan
seorang perempuan muallaf dengan latar kehidupan yang penuh noda hingga
akhirnya menjadi pribadi muslimah yang taat.
Ada tiga skenario dalam film Merindu Cahaya de Amstel yang menonjol
dan bisa kita diskusikan
dalam tulisan ini. Pertama, kisah percintaan Nico dengan Khadijah. Kedua,
hubungan emosional sosok ibu dengan tokoh Mala, dan yang ketiga, hubungan
persahabatan Fatimah dan Khadijah.
Saya mulai dari kisah persahabatan Khadijah dan Fatimah. Dalam kisahnya
Khadijah yang sebelumnya seorang penganut kristen, terkoyak oleh nasib
kehidupan yang melemparkannya dalam kubangan noda dan membuatnya menjadi orang
yang dibuang keluarga. Saat nasib tragis itu dihadapi, dirinya menjadi putus
asa dan memilih untuk bunuh diri. Saat sedang berusaha menghilangkan nyawanya
sendiri, Fatimah kemudian hadir menyelamatkannya, dan kemudian mengenalkannya
dengan agama Islam. Pada kemudian hari Khadijah menegaskan komitmennya pada
Islam dengan pernyataanya: “memeluk Islam adalah pilihan terbaik dalam
hidupku”.
Sosok khadijah yang berjuang dengan keyakinan barunya, telah mampu
menunjukkan eksistensinya sebagai seorang muslimah. Tak sengaja pertemuan
dengan seorang jurnalis dan fotografer bernama Nico pun terjadi. Melalui lensa
kamera milik Nico Khadijah tampil anggun dengan wajah ayu yang hanya seorang
diri berjilbab sementara di sampingnya tak berhijab. Foto itu kemudian menjadi
hal yang menarik bagi redaktur tempat Nico bekerja. Pimpinan majalah tempat
Nico bekerja kemudian memerintahkan untuk mempublikasikan foto tersebut secara
massal, sesuatu yang kemudian memperantarai pertemuan Nico dengan Khadijah.
Meski awalnya menolak, Khadijah akhirnya menyetujui publikasi foto tersebut
setelah terjadinya pengalaman pahit yang sempat melecehkan identitas keislamannya.
Singkat cerita, Nico jatuh cinta kepada Khadijah, tetapi Khadijah tidak begitu
saja menerima cintanya. Hal ini karena Nico bukan seorang muslim, dan juga
karena disaat yang sama Nico disukai oleh Mala, sahabat dekat Khadijah. Dirinya
pun memilih untuk meyembunyikan perasaannya. Dirinya mempersilahkan Mala untuk
mendapatkan Nico.
Cinta memang tak bisa dipaksa. Nico faktanya hanya mencintai Khadijah, bukan
lainnya. Oleh karena itu Nico sampai mau meninggalkan agama sebelumnya dan
memeluk Islam karena mencintai Khadijah. Tetapi Khadijah tak mau Islamnya nico
hannya karena dirinya. Khadijah menolak Cinta Nico. Namun setelah sekian drama
terjadi, mereka dipertemukan dalam kesucian cinta dibawah bendera agama Islam.
Kisah dalam film Merindu Cahaya de Amstel, secara umum memang mirip dengan
kisah-kisah film yang bertemakan cinta,
namun saya melihat bahwa pesan quraninya sangat kuat. Ini terlihat dari sosok
Fatimah yang diperankan oleh Ustazah Oki yang selalu tampil dengan mengutip
ayat-ayat dalam Al-Quran. Ini memberikan aroma keislaman yang kental dalam film
tersebut.
Ada satu pesan mendasar yang bisa saya tangkap dari film tersebut, bahwa
Hidayah Islam adalah hal yang sangat berharga dan mahal, sesuatu yang tak
sanggup dimiliki oleh mereka yang masih membawa kepentingan duniawinya dalam
beragama. Nico yang masuk Islam karena ingin memiliki Khadijah ditakdirkan
menjadi seseorang yang justru dikecewakan oleh orang yang dia cintai. Ini
karena Nico harus memiliki perasaan memeluk Islam tanpa tendensi apapun. Seperti
Fatimah yang menyelamatkan nyawa Khadijah yang murni atas nama kemanusiaan yang
kemudian mengenalkan Khadijah Islam yang sesungguhnya.
Selain itu, pesan penting dari Film tersebut adalah pentingnya mendengarkan
nasihat orang tua sebelum semuanya terlambat. Sosok ibu Mala adalah sosok
luar biasa yang selalu mengingatkan
anaknya tentang kewajiban agamanya yakni sholat. Meski sang anak selalu tidak
patuh tetapi ibunya tak pernah bosan mengingatkan. Hingga akhirnya ketika
kata-kata tak lagi memapan menyadarkan, maka datanglah kematian yang
menasehati. Mala seketika sadar kesalahannya saat ibunya telah pergi untuk
selamanya.
Pesan penting film ini juga pada konsepsi penghargaan Islam kepada
perempuan. Bahwa sesungguhnya posisi perempuan dalam Islam sangat terhormat.
Hijab dimaknai sebagai salah satu aturan agama untuk memuliakann perempuan.
Kisah Khadijah yang menemukan identitas muslimahnya melalui hijab, juga Mala
yang akhirnya memutuskan untuk berjilbab melalui perantara Khadijah, yang
kemudian mengatarkan kedua perempuan tersebut pada kedamaian dan ketentraman
hidup yang sesungguhnya menunjukkan makna Islam hadir sebagai solusi bagi para
perempuan yang mungkin memilki problem yang sama dengan dua tokoh tersebut.
Islam, Perempuan, dan Skenario Terbaik Tuhan, sepertinya merupakan tiga kosakata penting yang bisa mewakili isi cerita Film Merindu Cahaya de Amstel. Melalui 3 kata itu kita diperlihatkan tentang posisi terhormat perempuan, keanggunannya, serta alur kehidupan ini yang telah diatur sang maha segalanya.
Sumber gambar: https://retizen.republika.co.id/posts/32233/film-merindu-cahaya-de-amstel-kisah-peraih-cahya-islam
Post a Comment for " Resensi Film Merindu Cahaya de Amstel; Islam, Perempuan, dan Skenario Terbaik Tuhan"