Keseimbangan
Ada yang terlahir dengan nasib tumbuh, dewasa, menikah dan memiliki
keturunan. Ada yang terlahir, tumbuh, menikah namun tak memiliki keturunan. Ada
yang hanya lahir dan tumbuh, tanpa ada suratan jodoh menyertai, dan ada yang
sempat meluapkan nafas di dunia, sementara yang lainnya hanya cukup di
langit-langit rahim dan kemudian dijemput ajal sebelum sampai di gerbang dunia.
Nasib, apapun bentuknya adalah ketentuan dan aturan Tuhan yang sejatinya
tak perlu dipermasalahkan. Setiap cara, ketentuan, dan keputusan yang Allah
buat selalu menuju satu keseimbangan yang harmoni. Itulah yang saya resapi saat
berdiskusi panjang di kota Malang tempo hari. Ditemani seorang psikolog yang
cukup berpengalaman, saya menemukan hal penting dari keseimbangan apa yang
terjadi di dunia ini.
Terkadang beberapa orang menilai bahwa sulitnya mendapatkan anak setelah
sekian tahun menikah adalah bentuk ketidakadilan Allah, padahal saat seseorang
tidak diberikan nasib memiliki keuturunan, Allah telah siapkan dirinya karunia
yang lain, apakah ilmu, harta, kemampuan, yang kebanyakan orang tak memilkinya.
Sayyidah Aisyah, seorang perempuan terpenting bagi ummat muslim, telah lama
menikah dengan Rasulullah, namun tak ternasib dalam lembar hidupnya untuk
memiliki keturunan. Meskipun keturunan biologis mungkin nampak tak berpihak
kepada sayyidah Aisyah, namun lihatlah betapa keturunan ideologisnya telah
mengisi ruang generasi yang sangat panjang. Jarak yang jauh antara Sang Rasul
dengan kita ummat akhir ini disambungkan oleh keturuan ideologis Aisyah. Ribuan
hadits yang diriwayatkannya adalah keturunan yang jauh melampaui orang-orang
yang memiliki keturunan biologis.
Ada pula, tak menikah sama sekali, tetapi keturunan intelektualnya jauh
melampaui orang-orang yang menikah dan melahirkan anak-anak pelanjut generasi.
Imam Al-Ghazali adalah contoh kongkrit untuk hal ini. Al-Ghazali memang tak
tercatat menikah dalam hidupnya, tetapi hampir semua karyanya tak ada yang
meleset, selalu menembus waktu-waktu yang jauh. Ribuan tahun setelah kematiannya,
keturuan ideologisnya masih mengajari kita tentang ilmu hingga hari ini.
Dan lihatlah orang dengan begitu karunia yang komplit, harta, tahta, ilmu,
pasangan yang baik, namun tak jua diberikan momongan untuk melengkapi semua
karunia itu.
Dari kenyataan tersebut, Allah sejatinya tengah mengajarkan kita
keseimbangan, bahwa di dunia ini aturannya telah jelas, anda tidak boleh
terus-terusan bahagia, seperti halnya ada tidak boleh terus-terusan menderita.
Inilah dunia, hukum keseimbangannya sangat kental. Sekarang tersenyum, nanti
bisa jadi bersedih. Sekarang bersedih, nanti bisa jadi bahagia. Begitulah
siklus hidup ini terus berputar hingga sampai pada batas akhir kehidupan.
Tugas hamba seperti kita adalah mensyukuri nikmat dan karunia yang Allah berikan
kepada kita, dalam bentuk apapun yang kita saksikan. Dengan bersyukur, maka
jiwa kita pun akan menjadi damai dan merasakan keseimbangannya.
Post a Comment for "Keseimbangan"