Tulus Daun; Dipanggang Namun Selalu Meneduhkan
Tak
ada yang lebih tulus dari daun. Dia yang meneduhi setelah berkelahi dengan
terik matahari. Daun tidak pernah lelah dan marah hingga memilih untuk tidak
pernah tumbuh. Dia selalu menjadi dirinya, tempat orang-orang menaruh harapan.
Serta yang paling indah dari daun adalah kesedian untuk berganti generasi. Yaitu
tak pernah memaksa kehendaknya untuk bisa tumbuh dari yang sewajarnya. pada
waktu yang telah dikhendaki oleh takdir dia sekarela untuk kembali melebur
bersama bumi untuk digantikan oleh daun-daun hijau yang baru.
Daun
tidak melebar dengan tergesa-gesa tidak pula memaksa untuk lebih cepat berwarna
hijau tua. Dia mulai dari awal, yakni dari sepucuk hijau yang kerdil menjadi
hijau yang matang. Barangkali karena diajarkan oleh pohon, daun tidak pernah
tumbuh tergesa-gesa, dia menghargai proses. Dia bersujud pada hening malam
tanpa angin, dia bertasbih bersama badai, dia bersemayam pada kedirian yang
paling teduh.
Kita
seyogyanya belajar dari daun. Tentang hidup, tentang etika. Kebanyakan manusia
lupa akan proses. Serta kaum tua yang tidak peka dengan memberikan kesempatan
kepada yang muda untuk berperan dalam garis sosial. Sering kali terjadi
perebutan peran dan lahan antara golongan muda dan tua. Dan bahkan tidak jarang
tingkah tersebut memperumit keadaan. Sayangi yang muda, hormati yang tua,
adagium ini kemudian hanya menjadi selogan.
Di
saat kegalauan sosial itu, anak muda kemudian menjelma menjadi “monster”. Suka
berkelahi, tawuran, menganiaya. Intinya anarkisme menjadi kebanggaan mereka. Barangkali
hal itu merupakan pelarian kaum muda yang tidak memiliki eksistensi kongkrit
dalam tugas sosial mereka. Hura-hura mungkin saja merupakan buntut dari
kehausan eksistensi.
Kemudian
kita lihat kaum tua, mereka yang awalnya menginginkan untuk selalu berperan,
selalu menjadi agen sosial, di tengah gejolak sosial, mereka justru menjadi
bingung. Ada pula yang pura-pura tidak tahu dengan memilih untuk menjadi
konsumerisme menghabiskan sisa umur. Maka dunia kita menjadi gelap. Etika
menjadi buram. Tidak ada yang menasehati dan tidak ada yang ingin memiliki
kesadaran.
Kita
harus kembali pada hakikat diri kita yang utuh. Kaum muda harus menumbuhkan
etika pribadi dan sosial. Kaum tua juga harus menjadi golongan yang mengarahkan
dan sadar untuk memperbaiki keadaan. Dengan begitu kita akan bisa melihat
cahaya keadaban manusia yang sesungguhnya.
Seperti
daun, manusia harusnya belajar. Belajar untuk menghargai proses, belajar untuk
menjadi orang yang bermanfaat dengan rela dihujani terik namun suka rela
memberi teduh. Padanya kita juga belajar untuk memberikan kesempatan kepada generasi
hijau untuk memelebarkan sayap mereka agar langit dan bumi bisa menyambut
mereka dengan suka ria.
Seperti
daun, ketika telah tua, dan warna telah menjadi ranum bahkan angin menerbangkan
dan jadilah kering, maka pada saat itu percayalah bahwa akan tumbuh dedaunan
lain yang akan melanjutkan tugas sebagai peneduh. Adapun yang sudah tergariskan
takdir untuk menjadi bagian dari kulit bumi, tuluslah untuk menjadi yang
seharusnya: tanah.
Post a Comment for " Tulus Daun; Dipanggang Namun Selalu Meneduhkan "