Rinjani dan Kemerdekaan yang Hakiki
Kisah ini adalah kisah lama (2013) yang menceritakan tentang pertama kalinya saya mendaki Gunung Rinjani. Di hari kemerdekaan ini saya mengupload tulisan ini karena begitu membekas rasanya saat mendaki pertama dan sampai di puncak tertinggi. Sesuatu yang mungkin sedikit merepresentasikan arti kemerdekaan yang hakiki?
Pada hari yang
telah ditentukan, kami bersiap untuk mendaki gunung tertinggi di pulau
kami, Rinjani yang anggun. Meski aku tak mengerti keadaan yang akan ku
taklukkan, aku begitu bersemangat mengepal tekadku dalam rasa penasaran untuk
memeluk Rinjani sekaligus melepas penat nantinya di pantai Danau Segara Anak.
Perjalanan di
mulai. Hari itu begitu cerah, kami di sambut mentari dengan sambutan yang
hangat, membuat hatiku berdering dalam semangat yang menggebu, akupun berbisik
dalam jiwaku, ini saatnya berpetualangan.
Kami memasuki
pintu gerbang masuk yang tertulis diatasnya, “Taman Nasional Gunung Rinjani”,
mengisyaratkan kita sudah masuk dalam sebuah goa yang kami tak ketahui keadaan
di dalam gua tersebut. Langsung kaki kami bergelut bersama debu jalanan yang
tercipta dari pertemuan rutin antara mentari dan daratan itu, seperti bubuk
coklat yang berserakan, memberikan warna coklat pada kaki-kaki kami.
Keenam orang
itu kini telah masuk jalur yang sekaligus menandakan pengelanaan di lereng
gunung Rinjani telah dimulai, Aku tampil dengan baju lengan panjang, sementara
Togik dengan kaos wayang kesukaannya, Oding si manja, tampil memakai jaket,
yang nantinya ia rasakan jaket itu seperti pakaian api, maklum panas..
sementara Sindang yang sudah gk perjaka lagi, bin alias sudah menikah, tampil
dengan kaos biasa dengan celana seperempat.
Kamipun sudah
menebak bahwa Sindang akan menghambat jalan nantinya, maklum tenaga orang tua.
Kemudian Si Saen, anak yang sangat senang lelucon tampil juga dengan kaos dan
celana pendek, adapun yang terakhir adalah Basri, si simple, hanya memakai
celana pendek bola dengan kaos yang menempel kelihatan kusam serta dengan
menggunakan alas sandal jepit.. hoho.
Semua membawa
bekal untuk tinggal di atas gunung nantinya. Perlahan kami mulai hilang dari
keramaian pemukiman hingga Nampak di depan kami padang pegunungan yang meluas
sepanjang penglihatan, tamparan kegersangan tempat itu begitu terasa di pelipis
kami, seakan merupakan sambutan yang tidak nyaman oleh nya, namun tidak
mengurangi semangat kami untuk menjelajah gunung yang sudah tidak asing bagi
orang-orang luar negeri, itu terlihat dari beberapa turis mancanegara yang kami
temukan saat berpapasan di jalur berdebu itu.
Selang
beberapa waktu berjalan, rasa lelah mulai menghinggapi yang tercipta dari jalur
menanjak yang kami lewati sambil ditunggangi oleh panasnya mentari tengah hari,
memaksa kami mengistirahatkan diri di sebuah tempat bebatuan yang merupakan
sungai mati kerena dibunuh kemarau panjang.
Aku buka air
di salah satu ruangan di tas yang aku bawa kemudian meneguk sejenak air itu
dengan penuh emosi, kurasakan dahaga yang langsung ditampar air itu dan
mengubah rasa haus menjadi kesegaran yang mendamaikan, hembusan angin kecil
menari di pelipis dan wajahku, menghapus rasa penat yang tercipta dari
perjlanan panjang itu, belakang aku tahu bahwa jalan yang sudah aku lewati
belum seberapa.
Setelah puas
mengistirahatkan tubuh sejenak, perjalanan kami lanjutkan, kini aku yang
memimpin jalan di barisan terdepan, membawa rasa penasaran dari cerita yang sering
didegungkan oleh teman-teman yang pernah kesana, termasuk pernyataan angin saen
yang sering menggodaku dengan harapan-harapan semu atas perjalanan panjang itu
degan mengatan “perjalanan sebentar lagi selesai,” hingga kalimat sebentar aku
terjemahkan masih lama karena rasa lelah yang terus menggerogoti sementara apa
yang dikatakan belum sampai di penglihatanku. Hingga emosiku menyambut dan
meminta Saen untuk berhenti untuk mengatakan apapun yang memancingku untuk
terus memburu kata-kata semunya.
Setelah cukup
lama berjalan, akhirnya pos satu untuk peristirahatan kami temui, disana kami
kembali melepas penat dan mulai megolah bahan yang kami bawa untuk makan siang,
karena rasa lapar telah menyerang kami saat beberapa waktu menjauh dari gerbang
masuk tadi. Tampil Togik sebagai tukang masak, karena diantara kami hanya dia
yang paling sering kesana, hingga dialah yang paling banyak pengalamannya
tentang hal itu. Dan kamipun ikut membantu hal-hal yang dibutuhkan, karena pada
saat itu kami menjadi satu keluarga, melepas semua belenggu jiwa yang merasa
sungkan untuk saling menyapa. Disana kami belajar persaudaraan, bagaimana
saling tolong menolong dalam situasi yang sangat jauh dari belaian kasih orang
tua dan rasa nyaman keluarga.
Setelah cukup
beristirahat, perjalananpun dilanjutkan, karena jarak yang sudah kita tempuh
belumlah seberapa, mungkin hanya dua pertiga dari perjalanan yang ada untuk
menempuh tujuan, yakni danau segara anak. Jalanan panjang penuh debu seakan
pemandangan abadi sejauh mata memandang, kegersangan teramat sengat menyelimuti
tempat itu karena begitu jauh dari belaian air hujan, hingga yang tersisa
hanyalah kegersangan memeluk jalanan di badan gunung itu.
Patamorgana
yang diciptakan terik matahari di padang gersang di sepanjang perjalanan seakan
setan yang menggoyangkan lidah kering dalam mulutku, menyusup dalam rasa lelah
yang membelenggu badanku. Tegukan air untuk membunuh rasa haus tak pernah
bertahan lama, karena selalu saja kegersangan di waktu itu memakan rasa sejuk
yang seketika sampai di tenggorokan.
Menikmati
pemandangan rinjani, meski dengan kegersangan yang pekat, namun tak mengalahkan
pesona alam di gunung itu, barisan bukit yang setengah mengering seperti
keindahan yang disajikan Tuhan untuk siapapun yang mengunjungi tempat tersebut.
Kekeringan seperti salah satu aspek keindahan disana, sebuah keagungan Tuhan
yang tertancap di pualauku.
Selang
beberapa waktu, pos peristirahatan ke dua Nampak di penglihatan, seketika
mataku langsung menatap sebuah paman pengumuman yang terbuat dari besi
bertuliskan “sumber air” yang diikuti oleh tanda panah yang menunjuk ke suatu
arah. Kami langsung berlari menuju arah panah yang ditunjukkan, hal itu karena
kami sudah kehabisan bekal air minum sejak di perjalanan tadi. Sesampai di
tempat yang di tunjuk anak panah tadi, kami harus menelan air mulut kami,
karena sungguh mengecewakan, kami menemukan sumber air itu dalam keadaan rusak,
sudah tercemar, bahkan airnya berbau busuk. Hal ini sangat berbeda dengan
keadaan tahun kemarin, tutur togik yang memang pernah kesana tahun lalu.
Kami
menyaksikan akan ulah manusia yang tak mengerti arti sebuah kelestarian hidup,
manusia yang hanya memikirkan kesenangan sesaatnya, tanpa memperhatikan hari
esok, hari-hari yang akan dijadikan tumpuan untuk para pengunjung gunung
bernyawa itu. Kami seketika termangu dalam rasa dahaga yang membelit di
tenggorokan kami, sepertinya rasa dahaga harus kami kubur dalam rasa lelah yang
tak kami ketahui ujungnya itu.
Perjalanan
kami lanjutkan, kini dengan dahaga dan rasa cemas, dahaga karena bekal air
tinggal satu botol yang mana hal itu kami temukan di pinggir jalan tadi,
begitulah kebiasaan baik yang dilakukan oleh para pengunjung gunung ini,
meninggalkan beberapa makanan atau minuman di pinggir jalan untuk para
pengunjung yang mungkin sangat membutuhkan hal itu. Dan kamilah pengunjung yang
beruntung mendapatkan titipan bekal dari pengunjung yang tak kami ketahui itu.
Dan kamipun cemas jika persediaan air itu tak sampai ke pelawangan nanti,
sebuah tempat yang sangat kami impikan dan sangat ingin segera kami sampai
disana.
Perputaran
waktu terasa begitu lambat dalam alam jiwa kami, entah mengapa rasa dahaga dan
lelah seakan menyeka langkah, seperti batu yang tergantung di siku kaki. Meski
begitu lambat terasa, akhirnya waktu membawa kami ke pos ke tiga, menunjukkan
pos peristirahatan sudah berakhir, kami putuskan untuk mendirikan tenda di pos
ini, karena senja telah merekah di ufuk barat, dan mentari telah tertelan
tebing di tempat itu.
Burung-burung
hutan kembali kesarangnya, angin lembut berhembus di pelataran bebatuan sungai
yang mengering, mengirim suara nyaring dari tebing sungai yang mulai disergap
gelap, seketika hawa dingin semakin menyelimuti tempat itu, kami bersiap dengan
baju tebal kami setelah selesai mendirikan tenda.
Keesokan
harinya, ketika sinar surya mulai Nampak mengintip di dinding tebing, terasa
udara alam yang segar dan menyejukkan itu menampar sendi-sendi tubuhku, ku
sambut ia dengan penuh semangat, sambil memuji Tuhan atas nikmat yang Ia
berikan. Aku naik di atas gundukan tanah yang tak begitu tinggi, namun cukup
untuk mencari keberadaan matahari yang sesungguhnya. Ku lihat ciptaan Tuhan
yang agung itu menyungging, ku terpana dalam decak kagum yang teramat sangat,
hatikupun bergetar, untuk sekian kali memuji Tuhan, hingga akupun berbisik,
maha besar Allah yang telah menjadikan semua ini.
Mendekati
pukul delapan pagi, kami bersiap untuk melanjutkan perjalanan. Kami persiapkan
segalannya dengan sedikit tergesa-gesa karena ingin segera menyaksikan
pelawangan yang konon katanya sangat indah itu. Sambil disambut sejuta kicauan
burung, kami tinggalkan jejak di pos tersebut, serta perlahan menaiki gundukan
tanah yang semakin lama semakin meninggi dan menyita banyak tenaga, kami
saksikan di atas kami tujuh bukit berjajar untuk dilalui, akupun menyunggingkan
senyum yang aku paksakan, seakan berkata: “aku akan menaklukkan mu”.
Sejurus
kemudian, pertengkaran antara kami dengan bukit-bukit itu terjadi, perlahan
lututku seperti digantungi batu, semakin lama semakin memberatkan, sementara
bukit itu, tetap kelihatan tidak ramah sekali, kami akui rasa lelah itu, hingga
kami rasakan kegeraman yang pekat tumbuh di lahan jiwa. Aku berbisik dalam jiwa
dengan nada penuh amarah, “dasar bukit sialan, kapankah engkau akan habis?”
Begitulah pertanyaanku muncul di sepanjang perjalanan menanjak itu.
Perlahan rasa
penyesalan menghampiriku di saat kegeraman mulai membeludak dalam ruang jiwa,
tidak semestinya aku menghabiskan waktu di tempat sialan ini, kenapa tidak aku
manfaatkan waktu liburku untuk sesuatu yang lebih bermanfaat, ketimbang harus
menjejalkan tubuh dalam rasa lelah yang tak berkesudahan ini, begitu
terus-menerus kata-kata yang keluar dari mulut jiwaku, seakan memarahi gunung
itu, namun sejatinya tengah bertengkar dengan diriku sendiri.
Dalam rasa
jengkel itu, beberapa kali aku lemparkan penglihatanku jauh ke bawah gunung,
aku saksikan pemandangan yang terhampar dibelakangku, Nampak sejauh mata
memandang, hamparan hutan hijau yang mulai menguning karena tamparan kemarau
namun tak mengurangi keindahannya, fenomena tersebut mengobati rasa lelahku.
Sejenak setelah melakukan hal itu, kegeramanku menjadi usai dan kembali dalam
semangat untuk menuntaskan tantangan. Belakangan aku mengetahui bahwa bukit itu
sebagaimana yang dikatakan oleh orang-orang yang sudah mengunjungi Rinjani,
adalah bukit penyesalan.
Lama dalam
bukit peneyesalan, tenaga sudah hampir habis, dahaga menggelora dalam
kerongkonganku, kini aku berjalan sendiri, terpisah dari rombongan. Rasa
lelahlah yang telah memisahkan perjalanan kami, Saen dan Basri sudah tidak
Nampak lagi yang beberapa waktu lalu masih ku lihat badan belakangnya. Togik,
Sindang dan Oding, belum terlihat di belakangku, sepertinya mereka masih
berkelahi dengan rasa lelah mereka di belakang bawah sana. Sejenak aku
sandarkan tubuh lelahku di salah satu pohon cemara yang menyelimuti tempat itu,
kudengar suara angin berhembus dengan pelan, namun sesekali mengeras dan
menimbulkan suara rusuh dari dedauanan cemara yang bernyanyi, menciptakan suara
tanpa nada yang berkeliaran di badan gunung, seperti teriakan supporter sepak
bola saat melihat pemain yang gagal menyarangkan gol ke gawang lawannya.
Tinggallah aku sendiri di salah satu badan gunung itu, mengencani alam dengan
lantunan musik cemara yang ditampar angin.
Rasa dahaga
semakin menari-nari di tenggorokanku, sepertinya sulit aku rasakan untuk
melanjutkan perjalanan karena rasa dahaga yang teramat sangat itu, ku lepaskan
pandanganku kesisi kanan dan kiriku, mencari kemungkinan adanya botol-botol
yang berisi air yang ditinggalkan pengunjung sebelumnya. Pandanganku menuju
sebuah kaleng hemaviton, kusambar langsung kaleng itu tanpa berpikir apakah ada
air di dalam botol yang masih kelihatan baru itu.
Ku angkat
botol itu, kemudian kusiapkan mulutku terbuka bersiap menerima air yang mungkin
akan keluar dari botol tersebut, terasa dilidahku tersentuh air yang terasa
manis, Alhamdulillah… ucapku setelah meneguk setetes air tersebut. Seketika
kurasa energiku kembali pulih, kurasakan satu tetes itu seperti sebotol air yang
cukup untuk memadamkan rasa dahaga. kini aku perlahan mencoba melanjutkan
perjalanan yang tidak aku ketahui ujungnya itu.
Setelah
mencoba melawan rasa dahaga dan lelah dengan melangkahkan kaki kembali menuju
bebukitan itu, aku dapatkan kembali semangat berjalan hingga aku berhasil
menempuh beberapa meter ke depan dari perjalanan itu. Namun energy itu tak
bertahan lama, di sebuah titik perjalanan yang masih diselimuti rimbun cemara,
kembali aku tersandar di salah satu pohon cemara, kini dengan rasa lelah yang
semakin luar biasa.
Ku hapus
keringat di kepala yang sesekali menetes di pelupuk mata, borgol rasa lelah
semakin terasa menjepit langkah, aku ingin mundur dari laga itu, tak sanggup
rasanya melanjutkan perjalan. sambil menyandarkan badan lesuku ke batang
cemara, pikiranku melayang entah kemana, sepertinya mataku ingin terpejam
karena rasa lelah yang bertumpuk. Air…. Gumamku sendiri, suara angin yang
menari di dedaunan cemara seakan menertawakan gumamanku. Kini aku benar-benar
merasa putus asa untuk bisa melanjutkan perjalanan, ku putuskan untuk menunggu,
tiga orang di belakangku, berharap mendapatkan air dari mereka.
Di tengah
putusnya asaku, dalam lantunan angin pagi yang menjelang siang serta kabut yang
perlahan memeluk badan gunung, ku saksikan seseorang turun dari atas gunung,
terlihat orang tersebut membawa beberapa barang bawaan, sepertinya seorang
porter, yakni orang yang menyiapkan jasa tenaga untuk membantu membawakan
barang-barang wisatawan yang ingin bebannya tak terlalu banyak.
Nampak orang
itu membawa makanan berupa buah-buahan, aku langsung berpikir untuk meminta air
dari orang ini. Sesampai di tempat aku bersandar tadi, orang tersebut aku
hentikan langkahnya, Nampak wajah orang itu sedikit ramah, membuat aku yakin
atas apa yang akan aku lakukan. Tanpa basa-basi suaraku langsung terbata-bata,
“pak, boleh minta air?” sambil mataku tertuju pada sebuah botol Aqua yang
terselip di ujung bambu yang menjadi alat pengangkut barang-barang tamunya, “Oh
iya silahkan!” sambil menurunkan bawaannya, orang paruh baya itu memberikan
maklum bahwa ia tidak bisa untuk melepas botol karena sudah terikat sangat erat
dengan bambu pikulannya. kemudian ia memberikan aku minum tanpa melepas botol
tersebut dari tempatnya, namun hal itu tidak membuatku sungkan untuk segera
meneguk air itu, seketika dahagaku terlepas setelah tertabrak air yang
kurasakan sangat sejuk itu, kembali aku mengucap syukur atas nikmat itu,
Alhmadulillah… sesaat kemudian orang itu berlalu, tentunya setelah aku ucapkan
rasa terima kasih kepadanya.
Kini rasa
dahaga telah hilang, saatnya kembali bersemangat menaklukkan Rinjani yang
anggun itu. Langkahku gontai, sepertinya beban-beban yang tadi kurasakan berupa
batu-batu yang menggantung di kakiku, serta rasa dahaga yang memekik telah
sirna dengan tegukan air. Aku tersenyum tipis isyarat angkuh pada bukit itu,
sekali lagi aku berkat: “aku akan menaklukkanmu”.
Beberapa waktu
setelah perjalanan itu, rasa lelah kembali menghampiri, ku putuskan untuk
sejenak untuk bersandar di sebuah pohon kering yang Nampak seperti bebatuan
runcing karena termakan waktu dan kemarau panjang. Tidak lama aku bersandar di
pohon itu, ku dengar suara seperti lonceng terdengar dalam telingaku, ku
temukan bahwa suara itu dari atas bukit, pandanganku mencari penuh rasa
penasaran, sehingga aku lihat besi yang bertulis “Pelawangan Sembalun”
tertancap di ujung bukit sana, suara Basri dan Saen terdengar jelas, hingga aku
langsung terperanjat dari dudukku, kemudian berlari menaiki bukit itu, seketika
rasa lelah tak ada lagi dalam benakku, pikiranku tertuju kepada dua temanku
itu, sambil tertawa riang aku tetap berlari, tidak sabar rasanya untuk segera
melihat pelawangan sembalun yang konon katanya sangat indah itu. Lahan yang
gersang yang Nampak bubuk coklat menyelimuti sebagai bentuk dari debu yang
sudah teramat lama tercengkram panas sang mentari memberikan warna coklat pekat
di kakiku, aku tetap tidak peduli, hingga aku sampai di daratan pelawangan
sembalun.
Sesampai di
pelawangan sembalun, angin gunung begitu keras terasa, kabut putih begitu tebal
menyelimuti, suara alam begitu keras yang tercipta dari benturan angin dengan
tebing yang melingkar di bawahnya, yang sebenarnya tepat di depan pijakan
kakiku itu adalah pemandangan indah yang menampilkan keindahan segara anak dari
jarak yang jauh dan tinggi itu. Namun sayang keindahan itu tak bisa aku nikmati
karena kabut tebal yang menyelimuti, membuat keindahan itu terselimut dalam
bentangan awan putih yang merampas seluruh rasa penasaranku atas pemandangan
alam yang konon katanya luar biasa indah itu.
Dari
pelawangan, kami akan mempersiapkan pendakian ke puncak besok pagi pukul 00.30.
maka kami pun mendirikan tenda di sana dan memasak untuk makan malam. Senja
perlahan habis, jubah kegelapan memenuhi langit, salah satu hal indah yang bisa
dinikmati di pelawangan adalah sunset yang luar biasa indah. Cahaya mentara
mekar di sepanjang tebing yang terbentang, semakin indah ketika lempeng cahaya
itu merebah di tenangnya air danau segara anak. Ah sungguh keindahan maha karya
Tuhan yang luar biasa.
Setelah isya,
kami langsung beristirahat, karena besok pagi sekali kami akan memulai
perjalanan menuju puncak. Ah tidak sabar rasanya untuk segera menghadapi hari
esok.
Tepat pukul
00.30 pagi, kami dengan romobongan-rombongan yang lain, bersiap untuk memulai
langkah menuju puncak. Senter telah siap bagi setiap orang yang akan naik. Aku
sendiri memakai senter kepala yang ku pinjam di salah satu temanku yang sering
naik gunung. Target perjalanan adalah lima jam. Jadi perkiraan sampai puncak
tepat pada waktu subuh. Inilah tempat indahnya mendaki, kita akan belajar
memaknai jalur yang menanjakan, kita harus bisa mengontrol emosi, jika
terpancing dengan kekuatan orang lain yang lebih gontai langkahnya, maka kita
bisa kehabisan tenaga untuk mengikutinya.
Maka dari itu,
mendaki juga bisa untuk mengetahui batas kemampuan diri. Kita belajar untuk
menghargai kapasitas kita dan mensyukurinya. Karena tidak mungkin sama kuat
fisik kita dengan fisik orang lain. Di antara mereka bahkan ada yang sambil
berlari mendaki gunung, dan itu belum tentu bisa dilakukan oleh fisik kita,
maka mengenali diri sendiri adalah pelajaran pertama dari mendaki gunung.
Setengah
perjalanan, aku sudah merasakan rasa lelah yang sangat. Udara dingin tidak bisa
membuatku tetap menggunakan jaket. Ku lepas jaket dan hanya menyisakan kaos
lengan panjang. Beberapa orang memperingatiku untuk kembali menggunakan jaket,
“hei pasang jaketmu, berbahaya nanti engkau kedinginan.” Ku biarkan saja, toh
aku sendiri yang mengetahui keadaanku.
Sesampainya di
tanjakan paling ujung. Jalur yang paling miring yang menghubungkan ke puncak
tertinggi pulau Lombok itu, aku benar-benar kehabisan tenaga. Ku pasrahkan diri
untuk ending yang akan ku alami, apakah akan selesai dan bisa ke puncak,
atau mengalah dan turun kembali ke pelawangan. Di tengah rasa capek itu, aku
sudah tidak melihat teman-temanku. Kami semua terpisah.
Tanpa ku
komandoi, aku terlelap di jalur itu. tidak tahu berapa lama, hingga ku
terbangun oleh langkah orang-orang seolah berlari.
“ayo tinggal
sedikit lagi,” teriak salah satu di antara mereka. Tak ada satupun wajah yang
ku kenali, hitam malam masih memenuhi langit. ketika ku lemparkan pandanganku
ke atas, ku lihat puncak itu. sejurus kemudian tak ada lagi ras lelah, kakiku
seolah tidak lagi mengenal pegal, seketika aku berlari mengakhiri perjuangan
itu.
Sesampainya di
puncak, aku langsung bersujud, melabuhkan penghambaanku kepada yang maha
segalanya. Jutaan syukur ku persembahkan atas karunia nikmat sehat dan kekuatan
yang Dia berikan selama perjalanan suci itu. udara dingin gunung, semakin
menambah kehusukanku dalam menyerahkan diri kepada Allah.
Seseorang
kemudian mengumandangkan adzan, dan beberapa di antara kami menunaikan solat
subuh. Setelahnya barulah bersiap menikmati sunrise dan hanting foto.
Begitu indah, dari atas sana, seluruh pulau lombok terlihat, nan elok dan
eksotis. Disana nampak pula gunung agung bali yang lancip.
Sementara itu,
sebagaimana yang ku lakukan di puncak gunung Panderman, aku pun tidak lupa
menitipkan doa terindah untuk masa depanku, yaitu, menjadikan Mila sebagai
teman hidupku selamanya.
Setelah dari
puncak, kami kembali ke pelawangan, perjalanan akan dilanjutkan menuju danau
segara anak. Namun kami memilih untuk beristirahat sejenak, menunggu lelah raga
pulih kembali. Jalur perjalanan menuju danau tidak sesulit sebelumnya, karena
jalurnya menurun. Perjalanan kami begitu enjoy, teman-teman sepertinya tidak
sabar untuk menyaksikan danau Segara Anak yang dari puncak gunung terlihat
sangat indah.
Awan putih
terus menyelimuti bentang alam itu, sementara keringat menyatu dengan uap air
yang terbawa dari gerombolan kabut tersebut. Rasa lelah sedikit tertahan karena
sunyi dari jamahan sang mentari. Beberapa jam kami harus berjalan dalam
terowongan kabut yang terhampar menyelimuti setiap jalur menuju danau.
Beberapa jam
kemudian, kabut mulai mereda, percikan cahaya mentari perlahan mulai terasa.
Saat itu mentari sudah sepenggal senja, ia bergerak perlahan tanpa terekam
langkah kami, karena tertutup kabut dan antosias jiwa. Kami sadari bahwa hari
sudah mulai petang, Nampak burung hutan berkerumun mendekati tebing-tebing yang
berlubang isyarat mahluk hitam akan segera tiba.
Sementara itu,
perlahan mataku menangkap kumpulan warna biru yang membentang di sebuah ujung
penglihatanku yang masih buram dengan kabut, semakin memacu langkah kami untuk
menghampiri kumpulan warna itu. Sejurus kemudian, mataku tercengang dengan
bentang alam di depanku, sebuah karya maha agung yang dipersembahkan Tuhan
untukku dan kawan-kawanku.
Bentangan
gunung yang mengembulkan asap panas dengan latar hutan hijau di belakangnya
serta hamparan danau segara anak yang mengelilingi sisi-sisinya adalah
pemandangan luar biasa yang tak pernah kusaksikan sebelumnya, kini kami mulai
memasuki areal danau segara anak, dan gunung berasap itu adalah Gunung Baru
Jari. Sebuah gunung yang muncul di belakang induknya dan mengambil tempat di
tengah utara danau Segara Anak. Semua itu membentuk pemandangan maha agung yang
terlukis melalui jari-jari Tuhan, Sebhanallah…. Pujiku untuk kesekian kalinya.
Eksotisme Rinjani
telah membuat decak kekaguman bergelora dalam jiwaku. Syukur atas jutaan nikmat
itu adalah hal yang senantiasa harus dipanjatkan. Pulau kecil, namun penuh
dengan pemandangan yang memukau setiap mata, membuatku bangga telah lahir di
belahan bumi ini, yang bagiku adalah manifestasi dari nirwana yang dijanjikan
Tuhan.
Berdiri dipuncak Rinjani, menenangkan diri dengan hamparan danau segara anak yang asri, telah membuatku menyatu lebih dalam dengan negeri ini. sebuah negeri yang memang benar-benar tanah syurga. Selamat hari kemerdekaan Indonesia.
Rinjani, 2013
Post a Comment for "Rinjani dan Kemerdekaan yang Hakiki"