Makna Hari Buku Menurutku
Hari Buku Nasional (Harbuknas) diperingati setiap tanggal 17 Mei. Perayaan ini
bertepatan dengan hari lahir Perpustakaan Nasional Republik Indonesia. Salah satu
tujuan utama dibentuknya hari buku adalah karena Indonesia masih terseok-seok
dalam membangun minat literasi rakyatnya, baik itu membaca maupun menulis.
Hari ini, kita kembali merayakan hari buku, tentu dengan semangat yang
sama, dan dengan alasan yang sama, bahwa bangsa kita masih juara dari bawah
dalam hal literasi. Telah banyak laporan survey yang menunjukkan betapa
mirisnya angka literasi bangsa ini. Momen hari buku, untuk ke sekian kali pula
kita jadikan sebagai semangat dan batu lompatan menggapai tatanan sosial
masyarakat yang lebih dekat dengan buku.
Menurutku, hari buku ini adalah simbol, betapa sesungguhnya bangsa kita
masih terus mendorong rakyatnya menjadi orang-orang yang melek baca, dan tentu
juga paham bacaan. Kampanye hari buku tidaklah selesai pada mendekatkan
masyarakat kepada buku bacaan, tetapi juga menekankan pada pemahaman bacaan
yang bermuara pada bagaimana masyarakat menggunakan bacaan untuk pengembangan
diri maupun masyarakat mereka.
Kita patut bersyukur bahwa buku masih didemontrasikan untuk dirangkul,
dibuka, dan dibaca. Namun angka literasi yang terus merosot menunjukkan betapa
beratnya mendekatkan masyarakat dengan buku. Andai kita bisa mendekatkan
masyarakat dengan buku segampang mendekatkan mereka dengan Youtube atau Mobile
Legend, maka mungkin kampanye hari buku tidak begitu relevan. Masalahnya,
mencandui buku adalah hal positif yang semakin ditakuti generasi ini.
Angka perdebatan tak bermutu, perundungan, sikap tidak menghargai pendapat
orang lain, nampaknya masih menghantui dunia literasi bangsa ini yang sekaligus
menjadi indikator dasar betapa lemahnya banguann literasi kita. Media sosial
sebagai salah satu ruang literasi tak cukup mampu menghadirkan masyarakat kita
lebih dewasa dengan buku. Di dalamnya berjubel bukti betapa masyarakat kita
minim baca tetapi selalu haus berkomentar.
Kita tinggalkan media sosial. Mari kita lihat buku sebagai suatu bentuk
benda pada umumnya, yakni segepuk kertas yang memiliki cover dengan tawaran
imajinasi atau pemikiran dari sang pengarang. Di tengah begitu kilatnya
perkembangan dunia digital, buku telah menjadi satu barang antik yang mungkin
mulai ditinggalkan zaman. Tetapi bukan itu yang menghawatirkan kita. Kenyataan bahwa
meski telah berjubel buku digital di berbagai platform media, masih saja angka
minat baca kita minim!
Nampaknya buku hanya menarik untuk dijual, tidak menarik dibeli, apalagi
dibaca! Kenyataan buku dengan harga
selangit dengan minat beli yang masih membumi adalah betapa sesungguhnya jual
beli buku seperti jauh panggang dari api. Gelombang buku bajakan segera
menyambut setiap ada buku viral. Ini mungkin sakit bagi pengarang, tetapi bagi
pembaca miskin, atau para penjual buku haus untung, ini mungkin anugerah?
Belum lagi masalah buku yang dibredel karean bertetangan dengan ideologi tertentu,
adalah sekian fenomena dimana buku hadir sebagai biang konflik. Tapi bisakah
kita menyalahkan buku, yang telah lama hadir sebagai jembatan peradaban? Buku kemudian
menjadi masalah tidak hanya dalam hal isinya yang tak kunjung dibaca, tetapi
cetakannya yang telah melahirkan berbagai konflik sosial hingga politik.
Lantas apa yang perlu kita kampanyekan di hari buku? Jika ini tentang hari ulang
tahun perpustakaan nasional, mungkin kita tetap merayakannya karena kita masih
bangga dengan Perpusnas yang kini gedungnya sangat megah di ibu kota? Atau karena
kita masih sangat senang membaca buku? Atau barangkali kita masih berdebat
tentang buku asli atau kw? Atau tentang buku aliran ini dan itu?
Selamat merayakan hari buku, semoga benar menjadi jendela dunia untuk
membuka ruang cakrawala pengetahuan yang maha luas!
Post a Comment for "Makna Hari Buku Menurutku"