Karantina Hati
Seperti halnya tubuh yang terindikasi virus
korona harus dikarantina maka hati yang terkena virus duniawi juga harus
dikarantina. Sebegitu pentingnya karantina diri untuk menekan penyebaran virus.
Begitu juga sangat penting melakukan karantina hati untuk menekan virus
kehidupan duniawi yang menipu. Iya, hati yang terlalu banyak berurusan dengan
dunia cendrung akan terkena virus yang mengacam eksistensinya.
Hati adalah relung terdalam manusia yang
digunakan untuk menuju sang pencipta. Di dalam hatilah bersemayam jiwa yang
dengannya kita menggapai tingkatan-tingkatan keimanan. Berpuasa adalah salah
satu jalan utama untuk membersihkan hati. Alghazali menjelaskan dalam Minhajul
Abidin, bahwa puasa adalah kunci ibadah dan kunci kedekatan dengan Sang Khaliq.
Dalam tradisi sufi, puasa sudah tidak lagi
hanya tentang penekanan nafsu yang bersifat lahiriah. Tidak hanya tentang
menahan lapar, haus dan hasrat seksual, tetapi bagaimana mengatur pergerakan
hati. Dan inilah sejatinya esensi mendasar seorang yang berpuasa. Robert Frager
memberikan pemaknaan terhadap hadits nabi: asshaumu li wa ana ajzi,
dengan: ‘puasa itu untukku dan akulah yang menjadi balasannya’. Iya, dalam
konsep Frager balasan atas puasa itu adalah Allah sendiri. Suatu balasan yang
sangat tinggi. Bahwa di dunia ini tidak ada hal lain yang lebih tinggi dari
pada sang Pencipta.
Ramadhan adalah waktu yang sangat tepat untuk
mengkarantina hati. Apa sebab, karena pada bulan ini Allah sudah membantu kita
dengan menahan seluruh bala tentara setan. Yang dilawan berperang di bulan
ramadhan adalah diri sendiri. Pada bulan ramadhan suaran nafsu yang bercokol di
dalam hati terdengar lebih jelas. Misalnya, “aku lapar, aku harus makan,”
“mumpung tidak ada yang melihat, mending makan saja.” Demikian hati itu
mendorong hasrat seseorang.
Namun dorongan hati yang hanya tentang
penolakan terhadap hal-hal lahiriah menurut para sufi adalah dorongan yang
paling ringan. Yang lebih berbahaya adalah dorongan nafsu yang lebih ganas,
“aku berpuasa, aku adalah orang baik”. “aku berzakat, aku menyempurnakan iman”.
Dan berbagai bisikan hati lain yang jauh lebih menjebak dari bisikan yang
pertama. Iya, dalam berpuasa banyak hal yang harus di taklukkan, terutama diri
kita sendiri. Itulah mengapa dalam hadits yang terkenal Rasul mengingatkan,
‘Kita pulang dari jihad kecil menuju jihad yang lebih besar.’ Jihad yang lebih
besar itu adalah jihad melawan hawa nafsu.
Menekan rasa lapar adalah langkah pertama
dalam mengkarantina hati, hal lain yang tak kalah penting menurut al-Ghazali
adalah: Pertama, menekan seluruh anggota tubuh dengan menetapkannya
dalam koridor yang seharusnya (tidak gibah, melihat yang diharamkan, memegang
yang dilarang dan lainnya). Kedua, jangan mengenyangkan perut saat
berbuka, karena itu sama saja dengan mengalah terhadap hawa nafsu. Poin kedua
inilah yang banyak menjebak orang-orang yang berpuasa, pada saat berbuka ujian
lapar itu menjadi lebih ganas. Ketiga, senantiasa mengingat Allah
sepanjang waktu. Jadi dalam berpuasa yang mendorong pemantapan hati, seseorang
berpuasa dalam rangka meningkatkan kedekatan dengan Tuhannya bukan hanya
menunggu waktu berbuka.
Semoga Allah membantu kita dalam mengkarantina
hati di bulan suci ini agar seperti kita menghindar dari virus yang mengancam
raga, kita juga sekuat tenaga menghindar dari virus yang mengancam jiwa.
Post a Comment for "Karantina Hati"