Kenangan Saat Syekh Ali As-Shobuny Mengijazahkan Seluruh Kitabnya kepada Kami
Hari Senin, tanggal 24 Desember 2012, sepertinya
akan menjadi hari yang akan selalu saya Ingat. Buktinya saya masih mematri
tanggal ini di jiwa saya. Pada hari itu, kami berkesempatan berjumpa dengan
salah satu pengarang kitab yang cukup populer, yakni Syekh Muhammad Ali As-Shobuny.
Pertemuan tersebut berlangsung dalam sebuah Nadwah Duwaliyah (Seminar
Internasional) yang diadakan oleh kampus kami Universitas Islam Negeri Maulana
Malik Ibrahim Malang yang bertempat di kampus Pascasarjan Batu.
Waktu itu, yang saya tahu tentang Ali As-Shobuny adalah
hanya seorang penulis kitab terkenal yang saya miliki sudah cukup lama yakni
kitab Rowai’ul Bayan fi Tafsiri Ayatil Ahkam Minal Quran. Namun ternyata
saat berjumpa, saya baru tahu beliau memilki banyak karangan. Setelah itu saya
banyak membaca tentang biografi dirinya, beliau ternyata seorang guru besar di
kampus Ummul Quro Makkah.
Dalam pengantarnya pada kitab yang saya sebutkan
dimuka, saya bisa menangkap bahwa dirinya adalah orang yang sangat mencintai
ilmu pengetahuan. “Saya bersyukur Allah melahirkan dan memberikan kesempatan
hidup di tempat yang sangat menjunjung tinggi ilmu pengetahuan” tulisannya
dalam pengantar tersebut. Pada tulisan ringkas itu juga dirinya mendedikasikan
dirinya sebagai pelayan al-Quran dan hadits.
Materi seminar yang disampaikan Syekh Ali As-Shobuni
pada saat itu juga benar-benar membekas dan menempel di benak saya. Saat itu
beliau menyampaikan kepada hadirin tentang pentingnya mengkaji Bahasa Arab bagi
para mufassir yang bergelut dalam penafsiran al-Quran. Masih segar dalam
ingatan, pada saat sesi tanya jawab, seorang perempuan mengangkat tangan untuk
bertanya.
Perempuan itu bertanya: “Ya Syaikh limadzal
musfassirin aktsaruhum minar rijal? fa ana uridu an akuna mufassiroh wa ana
muslim” (wahai Syekh mengapa kebanyakan mufassir itu laki-laki? saya seorang
perempuan dan saya ingin menjadi mufassir (perempuan) karena saya seorang
muslim).”
Saat itu, Syekh Ali menjawab cukup ringkas, “Anti tastati’ina
an takuni mufassiroh hatta tastati’i an taquli ana muslimah, laisa ana muslim”.
(Kamu bisa menjadi seorang mufassir (perempuan) jika kamu bisa mengatakan ‘ana
muslimah’ bukan ‘ana muslim’). Tentu saja ini jawaban yang mengafirmasi
keterangan pada materi yang disampaikan bahwa syarat seorang mufassir adalah
menguasai Bahasa Arab. Penanya perempuan telah salah menggunakan kaidah bahasa
Arab dalam bertanya (seharusnya ‘ana muslimah’, bukan ‘ana muslim’ karena
dirinya seorang perempuan) dan itu menjadi jawaban Syekh Ali untuk menggabarkan
betapa pentingnya menguasai bahasa Arab dalam konteks menjadi mufassir.
Pada akhir pertemuan, tibalah saat dimana kami
akan diijazahkan kitab karangan Syekh Ali. Pada saat itu panitia mengatakan
bahwa kami akan diijazahkan kitab beliau yang berjudul Rowai’ul Bayan, tetapi
saat moderator menyampaikan maksudnya itu kepada sang Syekh, Syekh Ali mengatakan
dengan redaksi yang sampai detik ini saya hafal:
آجزت كل ما آلفت بشرط واحد: أن تتعلم للإسلام وأن تعلم
للمسلمين
Saya ijazahkan seluruh kitab yang saya karang
dengan satu syarat: hendaknya kamu mempelajarinya untuk Islam dan
mengajarkannya kepada orang-orang muslim.
Setelah selesai seminar itu, saya langsung mengkaji
dengan serius kitab Rowa’iul Bayan. Namun karena konsen akademik saya bukan di hukum
syariat, saya tidak bisa menuntaskan kajian itu secara purna.
Hari ini saat mendengar kabar kepergian Sang Syekh
ke hadirat Ilahi, saya kembali mengingat wajahnya yang teduh itu. Dengan segera
saya mengambil kitab Rowa’iul Bayan di rak kitab saya, membukanya dan
membacanya dengan hati yang bergetar. Allahummaghfirlahu warhamhu wa’afihi wa’fu
‘anhu. Nafa’anallahu bi’ilmihi wa barokatihi. Amiin.
Post a Comment for "Kenangan Saat Syekh Ali As-Shobuny Mengijazahkan Seluruh Kitabnya kepada Kami"