Stigma Syiah dan Kematian Jalaluddin Rahmat yang Disyukurkan
Meninggalnya cendekiawan muslim Jalaluddin Rahmat nampaknya menyisakan luka
bagi sebagian masyarakat Indonesia. Rerata perasaan kehilangan ditinggalkan Kang
Jalal adalah karena sumbangsihnya dalam bidang akademik. Telah banyak buku-buku
yang dirinya tulis dalam berbagai bidang kajian. Namun sepertinya kematian Kang
Jalal tidak hanya menyisakan luka dan sedih, tetapi juga suka dan syukur
sebagian orang. Di beberapa media sosial nampak berita meninggalnya Kang Jalal disambut
suka cita karena menganggap salah seorang tokoh yang merusak Islam telah mati.
Kita sulit untuk menentukan hardikan yang pas untuk orang semacam itu. Bagimana
mungkin nalurinya tak menangkap selaksa luka ditinggalkan yang dialami keluarga
almarhum yang tentunya masih menggunung di dalam jiwa mereka? Bagaimana mereka
dengan kepercayaan diri yang berlebih mengumbar suka cita itu di media. Seperti
yang penulis temukan di beberapa kanal berita ataupun media sosial, banyak
kalangan yang memberikan komentar suka cita, misalnya “Alhamdulillah antek Syiah
telah mati” pernyataan tersebut diberikan hastag #SyiahbukanIslam.
Saya tidak tahu Jalaluddin Rahmat itu sesungguhnya orang yang seperti apa,
hingga layak disyukuri kematiannya. Memang secara publik dirinya pernah
mengatakan dirinya sebagai seorang Syiah, tapi apakah hanya dengan pernyataan
ini kemudian kita merasa layak untuk menghinakannya bahkan di hari kematiannya?
Sepertinya, sebagian orang yang bersuka cita atas kematian Jalaluddin
Rahmat adalah orang-orang yang memiliki pemahaman tertentu yang tidak sepakat
dengan Syiah. Menurut mereka, megutip beberapa sumber teologis, kematian
seorang Syiah adalah momen yang perlu disyukuri sebagaimana kematian seseorang
tokoh Syiah di masa Abbasiah. Tidak tanggung-tanggung Rasulullah pun diajak
untuk mendukung tindakan mereka, sembari menyetir hadis untuk membenarkan
tingkahnya.
Menyebut Jalaluddin Rahmat sebagai Syiah mungkin memang benar karena pengakuannya
sendiri tentang hal itu. Tapi menyebut Jalaluddin Rahmat sebagai Rafidhah (salah
satu sekte Syiah yang dianggap sesat), adalah kekeliruan yang hakiki. Seingat saya
dalam beberapa literasi yang saya baca, Jalaluddin Rahmat hanya mengatakan
dirinya Syiah. Itu saja! Tidak ada embel-embel setelahnya.
Tapi kebencian terhadap Kang Jalal memang akan sepenuhnya terbuka pada
mereka yang terlampau menutup jendela pikir dan tidak siap berhadapan dengan
literasi yang berbeda. Setidaknya ada dua hal yang bisa jadi merupakan faktor
yang membuat kebencian kepada Jalaluddin Rahmat. Pertama, karena status
Syiah-nya. Hal ini karena Syiah sudah terlanjur terpasung dalam tiang stigma
yang menjulang. Iya, stigma prihal Syiah sesat telah memenuhi ruang pemahaman sebagian
orang di negeri ini. Padahal jika kita telusuri di berbagai literasi Teologi Islam,
Syiah tak memiliki satu wajah, ada banyak syiah yang telah mengambil wajah
Islam pada pola-pola tertentu, dan yang harus dicatat tidak semua Syiah itu
sesat!
Nur Syam, dalam sebuah risetnya menyebut bahwa Syiah di Indonesia telah
mengindonesia. Artinya secara kultural, Syiah di Indonesia telah mendekati
ideologi NU dan Muhammadiyah. Demikian pula beberapa riset yang sudah cukup
banyak memberikan informasi tentang karakter ideologi Syiah di Indonesia yang
semasa hidup banyak dibahas oleh seorang Jalaluddin Rahmat. Sayangnya
bacaan-bacaan itu tidak banyak diakses entah karena rasa malas, atau karena
alergi pada ilmu pengetahuan.
Kedua, kebencian kepada Jalaluddin Rahmat adalah karena statusnya sebagai
politisi PDI Perjuangan. Menjadi politisi ‘partai banteng’ ini memang penuh
resiko, stigma ‘partai setan’ pun melekat padanya. Bisa jadi karena stigma
inilah setiap orang yang ikut aktif di dalamnya dicap sebagai orang yang tidak
baik, bahkan dianggap sesat. Memang kebiasaan bangsa ini terlalu senang
berpijak pada stigma, lantas kemudian menjadi merasa selalu lebih benar dengan
yang lainnya. Padahal Dalam salah satu wawancara ekslusif dengan Kang Jalal,
dirinya mengaku bahwa keputusannya menjadi politisi partai PDIP adalah karena
dirinya menganggap bahwa partai tersebut adalah partai yang paling berpihak
kepada rakyat kecil. Memang, Jalaluddin Rahmat dalam beberapa bukunya selalu
dalam rangka membela kalangan rakyat kecil atau minoritas.
Dua alasan itu sebagaimana dimuka, menjadi alasan sebagian orang
menertawakan kematian Jalaluddin Rahmat. Namun ada riak yang tersisa dari suara
suka cita mereka, apakah dengan menertawakan orang mati itu dirinya kemudian
merasa lebih baik dari yang ditertawakan? Ini tentu hal yang bertentangan dari
pernyataan nabi. Dalam sebuah hadits dikatakan bahwa kematian adalah nasehat. Tentu
saja nasehat ini adalah dalam rangka mengintrospeksi diri, bukan dengannya
kemudian seseorang merasa benar sendiri. Semua akan mati baik orang itu beriman
ataupun kafir!
Mensyukurkan (menghinakan?) kematian seseorang dengan demikian menunjukkan
dirinya yang lupa bahwa sejatinya mereka juga akan mengalami hal yang sama. Saat
kematian menghampiri mereka, mungkin mereka menganggap bahwa hanya kematian
merekalah yang layak ditangisi?
Post a Comment for "Stigma Syiah dan Kematian Jalaluddin Rahmat yang Disyukurkan"