Prinsip Perjuangan Hidup H. Akmal Said
Lahir sebagai anak tokoh agama yang terpandang, Akmal
Said kecil hidup dalam lingkungan ilmu pengetahuan. Dia adalah putra dari TGH.
Muhammad Said. Namun, kebersamaan bersama sang ayah tidak berlangsung lama,
hanya beberapa tahun dari umurnya, ayahandanya meninggal dunia. Akhirnya, Akmal
Said kecil hidup sebagai anak yatim. Status keyatimannya tidak serta merta
membuat dirinya berputus asa. Barangkali karena dorongan psikologis dari sang
bapak, Akmal Said kecil sangat giat menuntut ilmu, mengikuti tradisi yang
dilakukan oleh orang tuanya.
Sepeninggalan, TGH. Muhammad Said, Akmal Said kecil
kemudian berguru ke salah satu tokoh kharismatik di desa Lendang Nangka, yakni
TGH. Muhammad Thohir, yang tak lain adalah perintis pondok pesantren Thohir
Yasin. Pemilihan Tuan Guru Thohir sebagai guru tidak terlepas dari hubungan
yang sangat dekat antara almurhum ayahandanya dengan sang tuan guru.
Akmal Said kecil belajar banyak hal kepada sang Tuan Guru: Tajwid, Nahwu,
Shorof, dan lain sebagainya. Setelah tuan guru Muhammad Thohir meninggal
dunia (1983 M), Akmal Said meneruskan proses perguruannya kepada pewaris Tuan
Guru Thohir yakni TGH. Ismail Thohir.
Akmal Said adalah sosok yang sangat patuh kepada gurunya.
Sebagaimana yang dikatakan sahabatnya, “Akmal Said itu sangat patuh kepada
gurunya.” Karena sikap tersebut, dirinya menjadi murid yang sangat disayangi. Bahkan,
diriwayatkan bahwa Akmal Said muda sangat disayangi oleh Tuan Guru Thohir. Dia selalu
dicari untuk hal-hal yang sebenarnya sepele. Ini menunjukkan bahwa dirinya
sangat dekat dengan gurunya.
Tulisan ini mencoba menunjukkan bagaimana sikap Akmal
Said terhadap gurunya. Elaborasi aspek ini penting untuk diulas mengingat ada
sisi menarik yang sangat penting darinya, yakni suatu etika berguru yang masih
relevan di hadirkan bahkan di tengah modernitas saat ini. Tulisan ini hanyalah
sebuah refleksi sejarah yang pernah penulis rekam sebagai putra beliau. Artinya,
basis tulisan ini adalah data-data historis yang pernah penulis temukan secara
langsung baik secara verbal maupun tindakan. Namun demikian, untuk keabsahan
data, penulis tetap melakukan konfirmasi data sejauh diperlukan untuk validitas
sejarah.
Satu sisi yang akan diulas dalam tulisan ini adalah
bagaimana sikap Akmal Said dari usia muda hingga usia tua senantiasa menganggap
dirinya sebagai murid. “Tiyang niki ngiring guru (saya ini ikut guru)” Itulah
pernyataan yang selalu dia genggam. Suatu pernyataan yang mungkin menjadi
prinsip mendasar dalam hidupnya. Bagi saya sebagai putranya, bapak adalah sosok
santri yang selalu mengharap keberkahan guru. Dia selalu merasa masih menjadi
seorang santri. Hal ini ditandai dengan sikapnya yang selalu mengkonsultasikan
apapun dari pilihan hidupnya kepada sang guru.
TGH. Ismail Thohir, sebagai guru yang selalu dia
teladani, mengaku apapun urusan yang
dihadapi Akmal Said selalu dikonsultasikan kepadanya. Pernah suatu ketika, saat
penulis akan melanjutkan studi ke Jakarta. Saat itu, saya dinyatakan diterima
sebagai salah satu peraih beasiswa di salah satu kampus bergengsi disana. Namun,
bapak tidak begitu saja menyetujui hal itu. Tanpa pikir panjang bapak langsung
membawa saya menghadap ke sang guru. Saat itu tuan guru menyampaikan bahwa
anaknya sebaiknya dikuliahkan di Malang saja, tidak usah ke Jakarta. Mendengar hal
tersebut, bapak langsung mengatakan: “Kamu kuliah di Malang saja, Bapak yang
biayai.” Demikianlah kesimpulan yang diambil.
Ada banyak sekali data historis yang saya rekam tentang
sikap bapak yang apapun selalu ngiring gurunya. Bahkan dalam pilihan
saat dia akan menikah, murni pilihan dari gurunya. Lebih aneh lagi, sikap ngiring
guru ini ditunjukkan pada hal-hal yang tidak logis sama sekali. Seperti ketika
akan berangkat ke tanah suci. Waktu itu, sang guru memanggil dirinya, “Tahun ini
kamu mau berangkat haji bersama saya?” tanya sang guru. “Nggih, ngiring!
(iya, saya mengikut saja)” jawabnya. “Mana uangmu?”, “Ini!” sambil memegang
uang pecahan seribu rupiah hanya satu lembar. Sang guru tersenyum dan mengambil
uang tersebut. Pada musim haji di tahun itu, guru dan murid itu berangkat haji
bersama.
Sikap H. Akmal Said yang selalu ngiring guru ini,
menjadi modal psikologis yang sangat kuat untuk mengarungi bahtera kehidupan
yang teramat luas dan penuh ketidakjelasan. Bagaimana tidak, dengan anak yang
sangat banyak (13 anak), dirinya mampu bertahan bahkan menyekolahkan anak-anaknya
hingga ke perguruan tinggi. Barangkali inilah yang disebut keberkahan. Hal sedikit,
yang selalu ada, selalu bertambah, dan terus menerus. Iya, sepanjang yang saya
rekam, bapak tidak pernah mendapatkan uang yang banyak, namun dia selalu
memperoleh penghasilan secara kontinyu.
Melekatnya keyakinan H. Akmal Said perihal ngiring
guru ini, menjadikan dirinya seolah sangat kaya. Baginya, apapun halangan yang
ada di dunia ini cukup “ngiring guru”. Pernah suatu ketika, dirinya mengalami
sakit yang cukup parah. Dia sampai tidak bisa menggerakkan tangannya. Saat kepanikan
menghinggapi anak-anaknya, dia berbisik pelan, “Mintakan air ke tuan guru!”. Maksudnya,
dia minta air ke gurunya untuk menjadi obat dari sakit yang ia rasakan. Setelah
diberikan air yang diminta, seketika dia sembuh dari sakit tersebut.
Secara psikologis, sikap ini bisa menjadi modal berharga
dalam mengarungi kehidupan yang banyak diliputi oleh misteri ini. Karena terkadang,
pandangan materialistik dalam kehidupan ini seringkali menumpulkan hati dan
menggundahkan jiwa. H. Akmal Said menyadari betul bahwa kehidupan dunia ini
hanyalah sementara dan persiapan untuk akhirat mutlak harus dilakukan.
Dalam kajian akademik, model ini bisa sebagai bentuk
kecerdesan emosional (Emotional Quetient), dimana dengan mengendalikan
emosi, seseorang mampu mengarahkan hidupnya lebih baik. Dengan kata lain, H.
Akmal sangat menggemgam sikap tawakkal dalam hidupnya. “Tawakkal itu, seperti
orang mati terhadap yang memandikan.” Demikian pernah dikatakannya. Saya pernah
baca, perumpamaan tersebut berasal dari seorang sahabat bernama Sahl bin
Abdullah. Sikap yang menunjukkan hubungan intensif antara hamba dengan
Tuhannya.
Tawakkal yang dilakukan H. Akmal Said, mungkin tidak
setajam dan setinggi para salafussolih pada masa lalu, tapi dengan
ngiring guru, H. Akmal Said menemukan spiritualitas para pendahulunya dengan
cukup baik. Dirinya menyadari bahwa mungkin kualitas dirinya tidak akan sampai
sebagaimana para orang-orang sholeh terdahulu sehingga dia melabuhkan seluruh
pengabidannya kepada guru-gurunya. Dia berharap, dari kebaktian kepada guru,
akan menuntunnya menuju kehidupan yang diridhoi Ilahi.
Berbekal ngiring guru itulah H. Akmal mengukir
garis perjuangannya. Dedikasinya dalam proses dakwah mengiringi sang guru
selalu menjadi hal utama dalam kehidupannya. TGH. Ismail Thohir pernah
bercerita tentang bagaimana peran H. Akmal saat estapet perjuangan baru saja
beralih dari ayahanda almarhum TGH. Muhammad Thohir. Saat itu,
masyarakat mengalami kebimbangan karena kehilangan tokoh. Tuan Guru Haji Ismail
Thohir yang diyakini sebagai penerus sang tuan guru (bapaknya), tidak berani
menakhlikkan dirinya sebagai guru. Dia berkata, “saya tidak pantas”.
Pernyataan tersebut, tidak diterima oleh H. Akmal Said. Dalam
keyakinannya, Ismail Thohir lah yang akan meneruskan perjuangan ayahandanya. “Mohon
maaf bapak tuan guru, jika pelinggih (anda) tidak mau mengajar
masyarakat di desa ini, maka pelinggih yang harus menanggung seluruh
dosa masyarakat di desa ini.” Demikian katanya menyanggah pernyataan Tuan Guru Ismail.
Akhirnya, dengan statemen tersebut, TGH. Ismail Thohir mengambil tongkat
estapet dan bersedia melanjutkan roda dakwah yang telah digulirkan oleh sang
ayahanda.
Sepanjang hidupnya, H. Akmal Said hidup dalam kesederhanaan,
dia selalu bernaung di bawah gurunya untuk semua tindakan dalam kehidupannya. Itulah
yang membuat pandangannya selalu terarah. Senantiasa ada cahaya guru yang
menerangi jalannya. Jika segala persoalan dunia telah ia serahkan di bawah
pandangan mata batin sang guru, maka lebih-lebih persoalan akhiratnya. Pada akhir
kehidupannya, H. Akmal Said tetap bernaung di bawah cahaya guru. Dia menutup
usia pada 2012 lalu di usia 63 tahun. Saat kematiannya, sang guru menangis
dalam doa menitipkan santri terbaiknya kepada sang maha kuasa.
Post a Comment for "Prinsip Perjuangan Hidup H. Akmal Said"