Paradoks Pencairan Bantuan Covid di Bank yang Penuh Keramian
Pencairan dana bantuan untuk guru non pns yang
dikenal dengan BSU secara aplikatif patut diapresiasi karena memberikan keringanan
kepada para guru atas dampak pandemi yang telah mencekik seluruh bidang
kehidupan. Namun demikian, mekanisme pencairan yang digunakan Kementrian Agama
ataupun lainnya dengan bekerjasama dengan Bank faktanya menyisakan beberapa
pertanyaan.
Pertama, perubahan mekanisme dari transfer
langsung ke rekening masing-masing guru memunculkan pertanyaan, mengapa berubah?
Apa alasan sehingga diganti dengan pembuatan rekening baru, yang pada
kelanjutannya akan berdampak terhadap tergiringnya guru kepada garis penularan
karena dilakukan di bank secara manual dan harus datang sendiri dengan menunjukkan
identitas.
Kedua, awalnya BSU disebut dana bantuan yang
karenanya tidak ada pemotongan pajak, faktanya saat tikungan terakhir penerapan
kebijakan tersebut, secara tiba-tiba mengumumkan kebijakan baru yang ternyata
bantuan itu dikenai pemotongan pajak.
Dua pertanyaan diatas sudah cukup general untuk
menggambarkan persoalan mendasar dari pencairan bantuan covid tersebut. Mengapa
bantuan tidak dikirim langsung ke rekening penerima? padahal sudah sangat jelas
setiap guru memiliki nomor rekening. Kita mungkin punya banyak asumsi atas
kebijakan ini, tetapi yang paling gampang kita kemukakan, barangkali memang
dana yang cukup besar tersebut, sayang untuk tidak dicubit-cubit, setidaknya
jumlah pajak sangat ‘lumayan’ untuk menambah pundi rupiah di rekening oknum. Sekali
lagi ini hanya asumsi, persisnya kita tidak tahu.
Kemudian, jika kita melihat prosedur pencairan
yang menggunakan mekanisme jemput bola ke Bank, sepertinya adalah kebijakan
yang mencoba mendorong para penerima bantuan ke jurang resiko Covid. Kita tahu
betapa angka virus tersebut masih belum menunjukkkan tanda-tanda melandai, oleh
karena itu mendatangkan para penerima sumbangan covid ke bank dengan
konsekuensi keramaian yang tak terhindarkan adalah suatu tindakan anomali di
tengah pandemi. Hal ini diperparah dengan masih minimnya kesadaran masyarakat
dalam menerapkan protokol kesehatan covid-19. Seandainya mekanisme transfer
langsung diterapkan, tentu kita akan lebih merasa dipedulikan oleh pemerintah,
tidak mendorong ke garis penularan!
Akankah niat baik pemerintah kita salah pahami
karena mekanisme administratif yang diterapkan oleh kementrian tertentu? Kita boleh
saja mengajukan spekulasi karena kita berada di ruang demokrasi yang
memungkinkan hal itu. Tapi, dalam sanubari terdalam, terkadang kita harus
menelan ludah dalam-dalam, serta mengubur kepiluan secara sendu, karena bahkan
di tengah pandemi ini sebagian oknum masih mencari kesempatan? Sekali lagi
pertanyaan ini masih menggumpal pekat butuh dijawab oleh yang berwenang. Akhirnya
bantuan pemerintah di tengah pandemi virus Corona ini seperti melahirkan
paradoks: di satu sisi ingin menyelamatkan rakyat dari ancaman pandemi, di sisi
lain mendorong rakyat menuju keramaian yang rawan penularan!
Post a Comment for "Paradoks Pencairan Bantuan Covid di Bank yang Penuh Keramian"