"Ketika Anda Melawan Negara, Tuhanpun Tak Bisa Menolong"
Sungguh, saat melihat tim kesayangan dibantai, hati merasa terenyuh. Barcelona yang dibantai 7-1, Liverpool yang dibantai 7-2, atau MU yang dibantai 6-1. Tapi ada yang lebih menyakitkan dari pembantaian beruntun itu, yakni pembantaian terhadap rakyat kecil di bumi pertiwi ini. Telak sudah kekalahan kita di kandang sendiri. Kita melawan tim papan atas yang tak pernah kalah, ‘Negara’.
Menyedihkan, meski ini terjadi berulang-ulang. Kita kalah
dari tim rival kita, dengan skor yang tak pernah sepadan. Tim Negara memang
punya banyak cara untuk menggulung musuh-musuhnya. Rakyat kecil adalah tim
amatir yang tak layak menang. Protes wasit tidak akan digubris. Semua kekuatan
telah berpihak kepadanya.
Sabar kawan, ini memang bukan tentang pengaturan skor. Ini
tentang nasib yang telah tergaris dan kualitas yang tak sepadan. Saya ingat
salah satu pernyataan klise dalam sebuah film Bollywood yang kemudian saya jadikan judul tulisan ini, “Ketika anda melawan
negara, bahkan Tuhan pun tidak akan bisa menolong.”
Apa yang anda dan saya bayangkan saat ini tentang negara
adalah sebuah referensi memilukan yang mencabik-cabik jiwa kita. Berbagai keluh
di Twitter, Facebook, dan berbagai platfom media sosial telah menunjukkan
betapa sesungguhnya pertarungan kita melawan negara adalah hal yang tengah
bergejolak namun dengan nasib yang sepertinya masih sama. Kalah!
Gelombang protes baik secara verbal maupun tindakan,
tidak membuat pemerintah membuka telinga. Seolah di gendrang telinga mereka ada
tembok besar yang menutup. Menolak seluruh aspirasi maupun interupsi.
Pengesahan RUU Cipta Kerja menjadi Undang-Undang sejatinya
adalah puncak dari berbagai pelanggaran konstitusional yang dilakukan oleh
perancang konstitusi itu sendiri. Berbagai kejadian sebelumnya telah banyak
menyeruak dan terjadi di pojok-pojok negeri.
Kita tentu masih ingat tentang konflik agraria yang masih
menjadi kenyataan pahit yang terjadi di berbagai plosok negeri. Konflik lahan
di Yogyakarta untuk pembangunan bandara dan konflik lahan untuk pembangunan
sirkuit Moto GP di Lombok, adalah dua contoh dimana rivalitas negara-rakyat
adalah hal terus terjadi di negeri ini. Dan mengenaskannya, rakyat selalu
kalah!
Kejadian ini menggambarkan di hadapan kita tentang konsep
negara yang dicederai. Dalam pandangan ‘kontrak sosial’, negara sejatinya
adalah sebuah kesepakatan bersama, sejak lahirnya hingga mapannya. Ketika negara
kemudian melupakan kontrak sosialnya, ini berarti kecelakaan besar telah
terjadi. Ada ancaman yang pasti!
Meski demikian, para pejabat-pejabat itu tidak pernah
malu untuk mengajak kita cinta negara. Mereka mendorong kita untuk memberikan
pengabdian terbaik, bahkan terkadang memaksa untuk menghadirkan diri kita
sebesar-besarnya untuk negara. Tetapi, mereka yang diatas sana, tidak tahu
apa-apa tentang negara, mereka hanya tau tentang perut dan kemaluan semata.
Kita yang hanya tim kecil yang miskin, hanya bisa berdoa
untuk kebaikan bangsa. Semoga doa-doa para pendiri tetap diberkahi,
tongkat-tongkat juang para generasi tetap kokoh mengiringi, dan para-para
pejabat yang tak bernurani semoga segera mati.
Kalah berkali-kali bukan berarti tidak ada kemenangan
suatu saat nanti. Sesungguhnya kekuatan sejati ada di tangan rakyat. Mereka para
penjahat itu hanyalah gelandangan berdasi yang tak puas dengan sejuta materi. Mari
kita tunjukkan pada mereka, siapa sesungguhnya rakyat yang mereka tengah wakili.
Kita kumpulkan patahan asa ini untuk menegakkan kembali prinsip bernegara dalam
bingkai pancasila.
sumber gambar: pojoksatu.id
Post a Comment for ""Ketika Anda Melawan Negara, Tuhanpun Tak Bisa Menolong""