Menyongsong Masyarakat Desa Madani Melalui Penyerapan APBN di Bidang Literasi
Salah satu program unggulan yang diusung pemerintah beberapa tahun terakhir
adalah alokasi khusus APBN untuk desa. Kebijakan tersebut berisi sejumlah
anggaran yang diterima semua desa di Indonesia dengan jumlah (sejak 2015) mencapai
ratusan triliun (Kemenkeu, 2019). Amanat Undang-Undang menyebutkan bahwa
anggaran tersebut harus terserap dalam rangka membangun sarana dan prasarana
pedesaan termasuk pengembangan kualiltas kemanusiaan (Permendes Nomor 6, 2020).
Upaya membangun kemanusiaan tentunya tidak bisa dilakukan hanya melalui
pembangunan infrastruktur yang bersifat materi semata, melainkan harus disertai
dengan pembangunan non-materi seperti pengembangan literasi. Namun demikian,
banyak fakta di lapangan menunjukkan bahwa program impelementasi dana desa
sangat kering dari program-program yang berbasis pengembangan literasi.
Padahal jika kembali kepada ketentuan dalam Permendes, dana desa harus
dalokasikan untuk pembangunan desa. Terma ‘pembangunan desa’ memiliki berbagai komponen
diantaranya pembangunan sarana dan prasarana untuk pengembangan literasi
seperti perpustakaan, pojok baca, pengadaan bacaan-bacaan, dan berbagai
aktivitas literasi lainnya (Permendes Nomor 6, 2020). Banyak ditemukan di
berbagai desa yang pernah penulis observasi, bahwa program berbasis literasi
masyarakat masih sangat minim, bahkan ada yang sama sekali nihil!
Secara terpisah, dalam aturan Kemendikbud digagas program Gerakan Literasi Nasional (Kemendikbud, 2017). Program ini menemukan titik persamaan sinergis dengan apa yang disebut ‘pembangunan desa’ yang digagas Kementrian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi (Kemendes PDTT). Kemendikbud menyebut bahwa pengembangan literasi desa sangat dibutuhkan untuk mewujudkan pemerataan kualitas pendidikan secara nasional (Kemendikbud, 2017: 7). Pada prinsipnya, Kementrian Keuangan, Kemendes PDTT dan Kementrian Pendidikan, sama-sama memiliki komitmen positif untuk pengembangan literasi utamanya di pedesaan guna membangun masyarakat yang madani.
Masyarakat madani, dipahami sebagai suatu masyarakat yang beradab dalam
membangun, menjalani, dan memaknai kehidupannya. Menurut Anwar Ibrahim
masyarakat madani merupakan sistem sosial yang subur berdasarkan prinsip moral
yang menjamin keseimbangan antara kebebasan individu dengan kestabilan
masyarakat (Hidayat dan Azra, 2006: 302-325). masyarakat madani dalam
interpretasi yang terbuka sejalan dengan Nawacita yang digagas pemerintah
Indonesia, dimana salah satu poin penting yang ada di dalamnya adalah
meningkatkan sumber daya manusia yang berkualitas dan berdaya saing
(Nawacita.co, 2019).
Untuk mewujudkan masyarakat madani dibutuhkan kesadaran literasi yang kuat.
Namun kenyataan tentang minimnya program pemerintah desa dalam hal pengembangan
literasi guna penyerapan dana desa menjadi kecelakaan politik, pendidikan
sekaligus kemanusiaan. Setiap manusia di bumi pertiwi ini sejatinya memiliki
hak yang sama dalam memperoleh pendidikan baik yang ada di perkotaan maupun
pedesaan. Sayangnya, beberapa oknum justru menggembosi roda keberpihakan
pemerintah atas pemerataan kualitas kemanusiaan tersebut.
Sebagai guru sekaligus aktivis literasi di pedesaan, saya merasa prihatin
dengan kenyataan ini. Di tengah angka minat literasi bangsa kita yang masih
saja terpuruk, belum terlihat komitmen serius dari beberapa pihak untuk
membenahi literasi di negeri ini. Oleh karena itu, melalui tulisan ini penulis akan memaparkan geliat
program literasi masyarakat terutama di pedesaan. Dalam hal ini penulis
membatasinya di wilayah kabupaten Lombok Timur. Melalui metode observasi,
penulis menemukan beberapa data penting untuk didiskusikan dan menjadi catatan
berharga bagi kita semua.
Empat dari 5 desa yang penulis observasi, menunjukkan bahwa dana desa hanya
fokus pada pengembangan yang bersifat bangunan fisik semata. Sementara aspek
lain seperti pembangunan nilai dan kualitas kemanusiaan sangat minim. Misalnya
saja, keempat desa yang penulis maksud tidak ada satupun yang memiliki
perpustakaan desa! Padahal dalam peraturan pemerintah melalui Permendes,
perpustakaan desa merupakan satu kewajiban yang harus diadakan dalam upaya
mendukung pembangunan kualitas kemanusiaan.
Literasi di
tengah pandemi
Minimnya pengembangan literasi dalam program impelementasi dana desa
berdampak terhadap minimnya akses literasi masyarakat berupa tempat membaca
(perpustakaan), bahan-bahan belajar, bacaan-bacaan untuk remaja dan anak-anak.
Kenyataan ini semakin terlihat kronis saat pandemi Covid-19 mendera kehidupan
dunia. Sebagai guru, penulis melihat betapa anak-anak yang dituntut untuk ‘belajar
dari rumah’ mengalami kendala yang sangat akut. Akses literasi digital yang
ditawarkan pemerintah secara nasional faktanya tidak bisa begitu saja
diterapkan dalam lingkungan masyarakat pedesaan. Minimnya alat elektronik yang
dimiliki, keterbatasan akses internet adalah dua dari sekian masalah yang
muncul.
Dilema belajar online yang menampar keras pendidikan di pedesaan
sebenarnya bisa diminimalisir jika pada setiap desa telah terdapat akses untuk
sumber-sumber belajar terpadu seperti perpustakaan dan pojok baca. Dari eksistensi
perpustakaan desa, anak-anak sekolah yang ada di dalamnya bisa memanfaatkan
perpustakaan untuk belajar secara mandiri dengan tetap melakukan karantina
wilayah sebagai antisipasi penyebaran Covid-19. Namun demikian, hal tersebut
tidak bisa dilakukan karena bahkan buku bacaan pun masih sangat minim di
desa-desa di daerah ini.
Dalam kapasitas penulis sebagai guru dan aktivis literasi, tulisan ini
penting dihadirkan guna merefleksikan fenomena yang belakangan banyak
terjangkit pada desa-desa di Lombok Timur secara khusus, atau mungkin di
desa-desa lain secara nasional. Temuan dalam tulisan ini nantinya bisa
digunakan sebagai bahan evaluasi bagi kementrian terkait. Sementara itu bagi
para guru dan aktivis literasi, temuan ini bisa menjadi motifasi untuk selalu optimis
dalam mendidik anak bangsa meski di tengah berbagai halangan dan rintangan.
Masyarakat Baca;
upaya memasyarakatkan literasi
Ancaman memudarnya semangat literasi masyarakat yang muncul dari penggunaan
anggaran dana desa yang tidak maksimal dalam melakukan ‘pembangunan desa’ patut
menjadi kesadaran kita besama. Kita perlu untuk memelekkan mata melihat desa
dalam perspektif pengembangan literasinya. Aktivitas literasi tidak boleh
dipandang sebelah mata. Indeks Pembangunan Manusia (IPM) untuk mengukur tingkat
kemajuan suatu negara menjadikan literasi sebagai salah satu indikator penting.
Mengapa literasi? sebagaimana yang dipahami, literasi merupakan kegiatan yang
mencakup membaca, menulis, berdiskusi sekaligus pengolahan bacaan untuk menjadi
keterampilan hidup (Kemendikbud, 2017: 4).
Dengan mengusung konsep literasi yang disebutkan diatas, maka literasi
sejatinya merupakan kata kunci penting dalam upaya membangun bangsa Indonesia
yang lebih baik. Namun demikian, ketika aturan-aturan pro-literasi yang digagas
pemerintah dan ketidakefektifannya dalam impelementasi di tingkat pedesaan
menjadikan kualitas kemanusiaan di negeri ini cendrung statis secara umum bahkan
mungkin menunjukkan kemunduran. Sebagaimana yang dicatat Tempo, tingkat
IPM Indonesia ada pada nomer 111 dari 189 negara (Tempo, 2019). Artinya,
secara statistik Indonesia masih negara yang cukup buruk dalam hal kesehatan,
pendidikan dan pendapatan.
Kenyataan diatas patut menjadi peringatan untuk kita semua sebagai
orang-orang yang peduli terhadap kemajuan dan masa depan bangsa Indonesia.
Untuk mencapai hal tersebut, dibutuhkan kesadaran dari berbagai pihak untuk
meningkatkan semangat literasi masyarakat dengan menggalakkan Gerakan Literasi
Masyarakat (GLM) terutama di komunitas masyarakat pedesaan. Untuk mewujudkan
ini kita bisa menggagas ‘masyarakat baca’. Yakni suatu terma untuk mendeskripsikan
komunitas masyarakat yang melek literasi (Sari, dkk, 2020). Hal ini bermakna
bahwa masyarakat tersebut memiliki minat yang tinggi terhadap aktivitas
literasi sehingga akan mendongkrak kualitas kehidupan mereka secara
intelektual. Kenyataan ini tentunya akan berpengaruh terhadap pola pikir mereka
dalam bidang lain di kehidupan mereka.
Oleh karena itu, dana desa perlu dimaksimalkan untuk aktivatas literasi. Dalam
hal ini pemerintah perlu mendorong secara politik untuk mewujudkan masyarakat
baca dengan menghadirkan perpustakaan desa. Dorongan tersebut tidak hanya
berbentuk peraturan tertulis semata, tapi juga harus peraturan yang memiliki
konsekuensi hukum bagi desa yang tidak melaksanakannya. Penulis berharap,
adanya campur tangan pemerintah secara politik dengan ketegasan hukumnya, akan
tercipta ‘satu desa satu perpustakaan’. Pada gilirannya, hal tersebut akan
menjadi roda penggerak aktivitas literasi di pedesaan.
Adanya perpustakaan desa, pada gilirannya akan menjadi akses sumber belajar yang memadai bagi sekolah-sekolah yang ada di desa tersebut. Hal itu akan memberikan solusi bagi beberapa sekolah yang memiliki kendala dalam mengakses sumber belajar terutama di tengah pandemi saat ini. Sebagaimana yang disinggung sebelumnya, adanya perpustakaan desa bisa menjadi solusi belajar di tengah pandemi dengan tetap menerapkan protokol kesehatan.
Kemapanan literasi
menuju masyarakat madani
Sebagai penutup dari tulisan ini, penulis menawarkan beberapa solusi untuk
memasifkan gerakan literasi masyarakat di tingkat desa guna mewujudkan
masyarakat madani. Pertama, dibutuhkan peran dari berbagai pihak untuk
mewujudkan kesadaran tersebut, dalam hal ini masyarakat, maupun pemerintah
desa. Setiap masyarakat memiliki tanggung jawab untuk menumbuhkan minat
literasi dengan mengkader anggota keluarganya. Orang tua, misalnya, perlu
mendoktrin anggota keluarganya untuk selalu mengembangkan aktivitas litersi. Di
saat bersamaan, pemerintah desa perlu memberikan dukungan dengan menggagas
program berbasis litersi dalam implementasi penggunaan dana desa. Pengadaan perpustakaan
dan pojok baca, diantara hal yang sangat penting dilakukan.
Kedua, perlu peran
dari Kementrian Keuangan, atau kementrian terkait dalam hal laporan
pertanggungjawaban dana desa. Setiap laporan harus memberikan deskripsi yang
menunjukkan penggunaan dana desa dalam aktivitas literasi. Nantinya, poin
program literasi masyarakat tersebut menjadi salah satu poin utama agar laporan
pertanggungjawaban desa berstatus ‘diterima’. Langkah ini untuk memaksimalkan
penyerapan APBN dalam bidang literasi. Dengan adanya tekanan seperti ini, saya
rasa mimpi untuk mewujudkan masyarakat desa yang melek literasi bisa terwujud
dengan segera.
Ketiga, sinergi dari
kepekaan pemerintah dan semangat literasi masyarakat akan mendorong terwujudnya
masyarakat yang hidup dalam iklim literasi yang kuat. Pada akhirnya, semangat
literasi yang kuat akan melahirkan bangsa yang bermartabat sehingga akan
terwujud suatu tatanan kehidupan bernegara yang madani.
Referensi
Hidayat dan Azra. Hak Asasi Manusia dan Masyarakat
Madani. Jakarta: ICCE UIN Syahid, 2006
Kemendes. Permendes Nomor 6 Tahun 2020 tentang Prioritas
Penggunaan Dana Desa, diunduh melalui situs: kemenkeu.go.id. akses
tanggal 3 Agustus 2020
Kemendikbud. Panduan Gerakan Literasi Nasional.
Jakarta: Kemendikbud, 2017
Kemenkeu. APBN 2019 Adil, Sehat, dan Mandiri Mendorong
Investasi dan Daya Saing Indonesia Melalui Pembangunan Sumber Daya Manusia.
melalui situs: kemenkeu.go.id. akses tanggal 2 Agustus 2020
Menteri PPN dalam Redaksi Nawacita.co. Berikut Agenda Pembangunan
Nasional 2020-2024. melalui situs: nawacita.co. akses tanggal 2
Agustus 2020
Sari dkk. “The Concept of Human Literacy as Civics
Education Strategy to Reinfoce Students Character in the Era of Disruption”.
dalam Advance in Social Science, Education and Humanities Research,
Volume 397, 2020, Atlantis Press. melalui situs: creativecommons.org.
akses tanggal 2 Agustus 2020
Tempo. Indeks Pembangunan Manusia 2019 Kualitas Hidup
Indonesia ke-111. melalui situs: dunia.tempo.co. akses tanggal 3 Agustus
2020
Post a Comment for "Menyongsong Masyarakat Desa Madani Melalui Penyerapan APBN di Bidang Literasi"