Pesan dari Alam, Kisah Mistik Pendakian Gunung Rinjani
Pendakian saya beberapa waktu lalu ke gunung
Rinjani menyisakan sekelumit rinding yang terus bergeming hingga beberapa hari
setelah pulang dari sana. Berawal dari sebuah pendakian yang menguras energi
sehingga memutuskan untuk melakukan camp di Pelawangan jalur Timbanuh.
Pelawangan adalah salah satu puncak gunung Rinjani yang bergelombang. Sebagaimana
gambaran geografisnya, Gunung Rinjani berpola melingkar dimana gunung-gunung
bersambung satu sama lain mengapit danau Segara Anak.
Saya pribadi awalnya tidak merasakan energi
apa-apa. Saya begitu menikmati pendakian tersebut, namun 2 sahabat saya
diam-diam menyembunyikan tanda-tanda aneh sejak dalam perjalanan. Lebih lengkapnya
tentang perjalanan mendaki ini silahkan baca Review Pendakian Gunung Rinjani Jalur Timbanuh
Kami mendaki berempat, Saya, Awan, Omie, dan Bayenk. Kami berempat begitu bersemangat. Tapi saya selalu menekankan pada rekan-rekan pendaki, bahwa pendakian tersebut murni untuk melakukan tafakkur. Iya, hobi saya naik gunung sejatinya tak lebih dari upaya mengasah dan melatih batin saya untuk lebih lembut dan bisa ditata sehingga menjadi pribadi yang lebih baik. Itulah yang selalu saya tekankan kepada rekan-rekan.
Kisah mistik bermula saat kami mendirikan
tenda di Pelawangan. Sore itu, angin berhembus lembut. Sepoi yang mendamaikan. Kami
begitu menikmati suasana tersebut. Hingga matahari terbenam, kami masih bisa
menikmati sejuknya pegunungan dengan segelas kopi. Kami bahkan sempat naik ke
puncak Orplas untuk mengiringi kepergian mentari. Namun, saat magrib tiba,
entah apa yang terjadi, angin begitu kencang bertiup. Perlahan mengencang
dengan suara riuh yang mulai terdengar menakutkan.
Kami mencoba mengencangkan tali tenda. Memperkuat
paku untuk menahan tamparan angin. Tapi semakin malam, laju angin semakin
kencang. Kami putuskan untuk sholat magrib dan isya di dalam tenda. Bermaksud berlindung
dari terpaan angin. Setelah sholat isya, kami berdiam di dalam tenda. Ada dua
tenda yang kami dirikan, saya di satu tenda bersama Awan, dan di tenda lainnya,
Omie dan Bayenk.
Suasana sore di Pelawangan
Saya bersama Awan di dalam tenda satunya
bersiap untuk istirahat sejenak, mecoba tidak menghiraukan kencangnya angin. Tapi
tiba-tiba saya merasa tulang tenda yang melengkung diatas saya sepertinya
patah. Bayenk memanggil dari luar, “sepertinya tendanya patah itu!” teriaknya. Saya
langsung memutuskan untuk membuka sleeping bag dan keluar. Ternyata tidak
patah, hanya besinya yang terangkat karena angin. “Alhamdulillah” gumamku. Saya
dan Awan kemudian menancapkan paku yang lebih besar lagi agar kaki tenda tidak
terangkat. Perbaikan selesai. Kami kembali masuk ke tenda. Di luar angin
terdengar semakin tidak terkondisikan.
Beberapa menit di dalam tenda Bayenk kembali
memanggil, kali ini nadanya sedikit berbeda, “Abang minta tolong!” Katanya setengah
berteriak. “Minta tolong apa?” Jawab saya.
“Abang, salah seorang dari mereka membisiki
saya, kita dusuruh turun!” Katanya.
Seketika tubuh saya merinding. Saya mulai
merasakan hawa yang aneh. Saya kembali keluar dari tenda dan melihat di
sekeliling. Tak ada apa-apa. Hanya angin yang masih ribut. Saat saya memandang
kesana kemari, Bayenk setengah berlari keluar dari tenda dan menuju sebelah
barat tenda, posisi yang sedikit meninggi. Dengan segera saya memperhatikan
langkahnya, dan dia seperti melakukan beberapa gerakan dan berbicara seorang
diri. Sepertinya dia sedang berkomunikasi dengan mahluk yang tak kasat mata.
Beberapa waktu setelahnya dia menghadap saya,
“Abang, kita harus turun. katanya mereka sedang ada pekerjaan yang harus
diselesaikan di tempat ini.” katanya.
Saya jawab, “kita minta untuk menginap satu
malam ini saja, ini sudah malam, jalan sangat gelap, penerangan kita terbatas!”
Dia kembali melakukan ritual, seperti
sebelumnya, dia seolah sedang berbicara
dengan seseorang.
Beberapa waktu kemudiann dia kembali
menghadap, “Tidak bisa Bang. Dia minta kita untuk turun sekarang juga, ada
sesuatu yang perlu diperbaiki!”
“Baiklah” jawab saya mengalah. Bayenk kembali
berkomunikasi. Setelah itu dia sampaikan kembali pesan dari alam sana, bahwa
kami sejatinya disambut baik. Oleh karenanya kami dipersilahkan untuk turun
secara baik-baik. Sebagai konsekuensinya mereka akan mengantarkan kami turun
sampai pada jarak teraman.
Proses pembongkaran tenda berlangsung sangat
cepat. Dalam beberapa menit semua selesai dipacking. kami kemudian
segera turun dari pelawangan. Anehnya, saat pulang, kami tidak melewati jalur
yang biasnya dilewati, kami melewati jalur yang benar-benar baru. Menerobos dalam
kegelapan dengan cahaya senter hape seadanya. Hanya ada satu senter
kepala. Tidak logis untuk suatu pendakian. Jalanan bebatuan dengan tekstur
menurun serta tiupan angin yang sangat keras. Tapi Qodarullah, kami
seolah dilindungi.
Sepanjang perjalanan turun, saya yang berjalan
paling belakang tidak putus-putus mengucap asma-Nya. Saya selalu
terbayang wajah guru spiritual saya untuk mengamankan keadaan. Sesekali saya
mengajak tim berbicara agar tidak terjadi kekosongan pikiran. Proses turun dari
Pelawangan berlangsung gontai dan lancar. Setelah sampai di dataran yang agak
landai. Tiupan angin mereda. Tak lagi mengombang-ambing career kami.
Sampailah kami di area Cemara Sewu. Di tempat
ini kami bertemu satu rombongan pendaki.
Sebelumnya, Bayenk menyampaikan kepada kami bahwa “mereka” berpesan kepada kami
untuk menyuruh orang-orang yang akan naik ke Gunung Rinjani untuk lebih baik
turun. Akhirnya, ketika sampai di rombongan tersebut, kami memberitahu mereka,
bahwa diatas sedang ada badai, dan hal aneh baru saja mendera kami. Kami
menceritakan kejadian yang kami alami kepada mereka.
Kami berlalu dari rombongan itu. Kami pikir
mereka tidak akan percaya, dan mungkin akan tetap melanjutkan pendakian. Setelah
sampai di bawah (Pos III), kami memutuskan beristirahat di tempat itu,
mendirikan tenda. Dan dari kejauhan kami melihat anak-anak yang ada di Cemara
Sewu seperti berlari turun, terlihat dari pergerakan senter kepalanya.
Saat sampai di pos III, mereka datang dengan
nafas terengah-engah. “Ada apa, mengapa kembali langsung? kenapa tidak besok
saja saat matahari telah terbit?” kata Awan bertanya.
“Percaya tidak percaya, saat kalian berlalu
dari tenda kami, beberapa waktu setelahnya, seperti terdengar rombongan yang
mengikuti kalian. Kami langsung berkemas dan lari ketakutan!”
Saya terdiam lama. Saya berpikir tentang
kejadian ini. Suatu pesan berharga bagi umat manusia. Bahwa di seberang sana,
mereka juga mengingkan stabilitas bumi ini. ‘mereka sedang memperbaiki sesuatu’ yang berarti ada sesuatu yang rusak. Ini adalah satu pesan penting. Suatu pesan yang menurut saya
perlu untuk kita refleksikan.
Kepada kalian para pendaki, tangkaplah pesan
ini! Bahwa mereka juga ingin bumi ini baik-baik saja. Sebagai para pendaki,
kita harus menghargai mereka. Berdampingan dengan mereka. Selama cara kita
baik, maka mereka juga akan baik. Mari kita jaga Alam semesta ini dengan
kepedulian kita sebagai manusia juga dengan menghargai usaha mereka dari alam
sana. Bersama, kita bangun keberlangsungan dunia untuk masa depan alam semesta.
Merinding hingga ubun-ubun🤐
ReplyDeleteJoki Kuda, apalagi saya yang mengalami langsung, merinding pakek bingittss..
Deletemantab memang mistis
ReplyDeletesiap agendakan next trip.. hehe
Delete