Percakapan Tuhan dan Malaikat, Edukasi Al-Quran tentang Dialog Inklusif
Berkaca pada al-Quran surat al-Baqarah ayat 30-33,
sejatinya kita sudah diperlihatkan oleh Allah melalui firman-Nya tentang
kebenaran yang sesungguhnya. Pada ayat tersebut kita bisa membaca pesan
tersirat yang sungguh mengagumkan, bahwa Allah mengajari kita untuk
mendiskusikan kebenaran. Artinya kebenaran tidak boleh subjektif, harus
melewati proses dialogis yang tidak sederhana. Apa alasan argumentasi ini? Mari
kita melihat dialog yang terjadi antara Tuhan dengan Malaikat.
Pada dialog tersebut, Tuhan melemparkan wacana kepada
Malaikat, yaitu tentang Tuhan yang akan menjadikan Khali<fah di muka bumi. Kemudian ditanggapi oleh malaikat dengan
nada argumentasi yang sedikit menolak karena tidak percaya dengan kualitas
Adam. Pertanyaan kritisnya, mengapa Tuhan menggelontorkan wacana tersebut
kepada Malaikat? Apakah Tuhan tidak yakin dengan tindakan-Nya, sehingga
meminta pertimbangan Malaikat?
Faktanya adalah Tuhan maha segalanya. Tuhan maha benar
dengan segala ucapan dan tindakan-Nya. Tetapi mengapa dengan hal ini? Disinilah
kita belajar dialog yang terbuka. Bahkan dengan kemahasegalaan-Nya, Tuhan masih tetap membuka pintu
dialog!
Wacana penciptaan Adam dan keinginan Tuhan untuk
menjadikannya Khali<fah di muka
bumi sejatinya merupakan keputusan yang final. Mengapa begitu? Karena Tuhan
dalam mengungkapkan statemen tersebut menggunakan pola kata isim fa>‘il (jā‘ilun) yang
berarti ‘yang menjadikan’. Artinya Tuhan sudah melakukannya.[1]
Tetapi mengapa Tuhan tetap melemparkan wacana tersebut meskipun itu sudah hal
yang pasti untuk dilakukan? Disinilah Tuhan mengajarkan kita tentang kebenaran
yang objektif.
Tuhan yang maha benar, yang tidak egois dengan
kebenaran-Nya ingin menjadikan kebenaran yang ada pada-Nya untuk menjadi benar
pada semuanya, baik bagi diri-Nya maupun hamba-hamba-Nya. Artinya ketika Tuhan
secara sepihak telah memutuskan untuk menjadikan Adam sebagai khalifah, itu adalah kebenaran subjektif
yang hanya berada di sisi Tuhan. Hal ini diperkuat dengan pernyataan Tuhan
langsung, “inni< a‘lamu ma> la> ta‘lamu<n.” (saya lebih tau apa
yang tidak kalian tahu).
Tuhan ingin menjadikan kebenaran yang ada pada diri-Nya
juga menjadi benar di sisi hamba-Nya (Malaikat). Yaitu dengan cara
menggelontorkan wacana tersebut di hadapan para Malaikat. Mengapa demikian?
Karena saat itu Malaikat juga tengah memegang kebenaran (fakta). Yaitu
kebenaran bahwa Khali<fah di muka
bumi senantiasa berbuat kerusakan dan menumpahkan darah. Tentu saja kebenaran
di sisi Malaikat ini juga merupakan kebenaran subjektif.
Gambar 1: ilustrasi dialog Tuhan dan Malaikat: dari
kebenaran subjektif menuju kebenaran objektif
Dua kebenaran tersebut (kebenaran subjektif Tuhan dan
kebenaran subjektif Malaikat) dengan demikian perlu dileburkan
dalam sebuah kebenaran objektif. Yaitu dengan cara melakukan dialog yang
terbuka. Tuhan kemudian memberikan penjelasan kepada Malaikat, bahwa orang yang
akan dijadikan Khali<fah di muka bumi nantinya itu, bukanlah
sebagaimana pengetahuan mereka sebelumnya, yaitu kaum perusak. Tetapi dia
adalah bani Adam. Seorang yang telah dibekali Tuhan
dengan berbagai potensi pengetahuan. Hal ini tersirat dari firman Allah, “wa ‘allama a>dam al-asma>’a kullaha>” (Tuhan mengajarkan
kepada Adam seluruh nama-nama).
Al-asma>’ kullaha> (nama-nama segala sesuatu)
pada ayat tersebut ditafsirkan oleh imam Suyut}i dalam Tafsi<r
Jala>lain sebagai benda-benda yang ada di muka bumi. Bahkan sampai
alat-alat perabotan.[2]
Namun demikian, penulis lebih sepakat dengan makna yang ditawarkan oleh Quraish
Shihab yang melihat kata “nama-nama segala sesuatu” memiliki makna potensi
pengetahuan.[3]
Dengan memperlihatkan kemampuan Adam di hadapan para
Malaikat dalam menyebutkan nama-nama
tertentu (yang mana hal tersebut tidak bisa dilakukan oleh Malaikat maupun Bani
Aljan), Tuhan seolah menegosiasikan kepada para malaikat atas apa yang
sebelumnya mereka pahami. Dengan kata lain, data historis yang dimiliki
malaikat tentang banu Aljan selaku Khali<fah
sebelumnya -yang pernah menjadi wakil Tuhan di muka bumi dan gagal,
ditandingkan dengan sosok Adam yang cerdas dan bisa diberikan tanggung jawab.
Hal ini mengindikasikan proses dialog yang tidak hanya terbuka tetapi juga sarat
muatan ilmiah.
Tuhan tidak menggunakan penjelasan verbal dalam
menanggapi komentar malaikat, tetapi menggunakan argumentasi tindakan (da’wah
bil h}a>l). Adam adalah argumentasi ilmiyah Tuhan untuk membentuk
kebenaran objektif yang sama-sama diterima oleh peserta dialog. Bentuk
penerimaan para malaikat atas argumentasi tersebut adalah memberikan
penghormatan kepada Adam (sujud).
Uraian tersebut memberikan inspirasi kepada kita berupa sikap dalam sebuah dialog. Yaitu selalu terbuka
untuk potensi kebenaran. Tuhan mengajarkan kita untuk selalu melihat kebenaran
tidak dengan sederhana, apalagi simplikatif (penyederhanaan). Ini sangat
penting diterapkan dalam proses dialog terutama di era post-truth dewasa ini,
baik dalam urusan politik, sosial, budaya dan terutama agama. Kita benar-benar
harus terbuka dalam melihat wacana. Jangan karena pemahaman kita yang terbatas
pada waktu tertentu, mendorong kita untuk melihat suatu kebenaran secara setengah-setengah.
Oleh karena itu, sisi lain yang tak kalah penting yang disiratkan oleh ayat
tersebut adalah pentingnya melihat dinamika zaman.
Tinjauan secara dinamika zaman (diakronik) sangat
dibutuhkan dalam suatu dialog mengingat sifat zaman yang senantiasa dinamis.
Kebenaran saat ini barangkali bisa berubah seiring waktu. Fakta sosial yang
dicatat sejarah sekalipun, tetap harus dikritisi ketika sudah melampaui
masanya. Betapa pentingnya pembahasan secara diakronik tersebut, hal ini untuk
mencegah kita bertindak simplikatif dalam berkomunikasi.
Apa yang kita saksikan dewasa ini tentang fenomena bullying, nyinyir, debat kusir dan
lain sebagainya merupakan akibat dari tidak terbukanya diri kita dalam memahami
horizon pemahaman orang lain. Itulah mengapa dalam pembacaan sejarah, Edmund Husserl menawarkan konsep inter-subjektif dalam
memahami sebuah fenomena.[4]
Konsep tersebut relevan dalam konteks kajian ini.
Di era post-truth, sejatinya sikap malaikat dalam objek
penelitian ini menjadi salah satu ciri pelaku media, dimana fakta yang dipegang
melalui satu bacaan (kesimpulan) dipertahankan dan tidak mau menerima fakta
lain yang sejatinya perlu untuk diketahui. Ketika seseorang tidak mau menerima
kebenaran dari orang lain semata karena kebenaran yang mereka pegang, maka hal
ini berpotensi mengekang orang tersebut dalam subjektifitas.
Kebenaran sejati hanyalah di sisi Tuhan. Kita sebagai
manusia hanya bisa menerka kebenaran yang sesungguhnya. Oleh karena itu, dalam
berdialog kita seyogyanya tidak mengambil posisi Tuhan, dengan mengklaim
kebenaran hanya milik diri sendiri. Argumentasi apapun yang meskipun
dikeluarkan oleh kelompok yang mengaku diri merupakan ‘pasukan’ Tuhan, tidak
layak untuk menempati kebenaran mutlak Tuhan, karena tidak ada yang mengetahui
yang sebenarnya tentang pasukan Tuhan itu, selain Tuhan sendiri.[5]
Dewasa ini, banyak kelompok yang kemudian dengan
kepercayaan diri yang berlebihan mengaku sebagai ‘tentara’ Tuhan yang paling
mengetahui Tuhan. Mereka mengkavling surga untuk ditinggali oleh kelompok
mereka semata. Siapapun yang berseberangan dengan mereka dianggap kafir dan
layak untuk dibunuh.
Sejarah telah mencatat, dalam arus sejarah teologi Islam
telah banyak bermunculan kelompok semacam itu. Hingga hari ini, fenomena tersebut
terus berlangsung, memakan banyak korban jiwa dan tentu saja agama itu sendiri.
Oleh karena itu sudah selayaknya kita menanggalkan kebenaran-kebenaran
subjektif dengan cara membuka keran pemahaman dan informasi yang lebih luas
sehingga kebenaran-kebenaran tersebut menjadi objektif.
Ketika setiap orang mengedepankan cara inklusif dalam
berdialog guna menuju kebenaran objektif, maka konflik argumentatif yang
belakangan marak di media sosial, terutama antara kelompok yang berseberangan
dalam proses demokrasi (yang telah membidani lahirnya kotak-kotak dalam proses
beragama dan berbangsa) bisa direkonsiliasi.
Tambahan pula, adanya dialog inklusif akan mendorong
hubungan varian kelompok-kelompok dalam Islam menuju arah komunikasi yang
harmonis dan damai. Hubungan harmonis antar kelompok inilah yang sejatinya
disebut sebagai rahmat dalam tradisi keagamaan Islam, bahwa perbedaan
itu bukan cara menuju konflik tetapi merupakan keniscayaan untuk berlomba-lomba
menuju kebenaran mutlak Tuhan.
[2] Suyuthi dan Mah}alli. Tafsi>r
Jala>lain (Surabaya: Dar an-Nas}ri
Al-mis}ri>yah, tanpa
tahun), hlm. 6
[4] Harvie
Fergusen. “Phenomenology and Social Theory” dalam Handbook of Social Theory
(London: Sage Publication, 2001), hlm. 241
[5] Khaled Abou
El-Fadl. Atas Nama Tuhan, dari Fikih Otoriter ke Fikih Otoritatif.
(Jakarta: Serambi, 2004), hlm. 12
Post a Comment for "Percakapan Tuhan dan Malaikat, Edukasi Al-Quran tentang Dialog Inklusif"