Pendakian dan Ayat Tuhan, Kritik Terhadap Pendaki Tak Bermoral
Mendaki telah lama menjadi kebiasaan manusia. Ada banyak
tujuan orang menaiki gunung, mengolah spiritualitas, menikmati keindahan alam,
melakukan penghijauan dan lain sebagainya. Belakangan laju teknologi telah ikut
mendorong aktivitas pendakian, namun ada degradasi nilai yang terjadi, jika
dulu pendakian dilakukan oleh orang-orang tertentu yang memiliki keinginan
untuk mengolah rasa dan jiwa mereka, belakangan, banyak pencinta alam yang
melakukan pendakian hanya untuk esksistensi semata, yakni para pendaki yang
murni untuk memburu foto dan kemudian pamer di akun medsosnya. Celakanya,
beberapa pendaki juga melakukan pendakian hanya untuk memuaskan hasrat kebinatangannya.
Ke gunung, hanya untuk pelampiasan seksual!
Berbagai fenomena memilikukan tentang dunia pendakian
perlahan mencuat ke permukaan. Di Rinjani, beberapa waktu yang lalu, ditemukan
banyak alat kontrasepsi habis pakai. Di gunung-gunung lain di pelosok negeri
penuh ruah dengan sampah karena ulah pendaki yang tak peduli dengan lingkungan.
Sebuah kecelakan memilukan, gunung yang seharusnya menjadi objek perenungan,
tempat olah spiritual telah dicampakkan oleh ulah pendaki tak bermoral. Apel
kemerdekaan, sering kali menjadi kambing hitam!
Secara normatif, gunung memiliki kedudukan spesial. Dalam
al-Quran, kata gunung (jibal) setidaknya disebut dalam 32 ayat. Berbagai
ayat yang ada dalam al-Quran menunjukkan gunung sebagai lambang ketangkasan. Puncak
asa yang teramat kuat. Dalam surat al-Ghosyiah Allah
memerintahkan kita untuk mengkaji gunung, “dan lihatlah gunung, bagaimana
dirinya ditegakkan?” dalam surat an-Naml ayat 88, Allah memberikan
perumpamaan tentang gunung-gunung yang sejatinya berjalan seperti awan.
Gunung, ataupun mahluk Tuhan lainnya, pada prinsipnya
adalah ayat-ayat Tuhan yang dibentangkan dalam alam semesta ini. Dalam surat ali-Imron,
190 Allah menegaskan bahwa dalam pencitaan langit dan bumi ini ada tanda bagi
orang-orang yang merenungkannya (ulul albab). Tidak ketinggalan, dalam hadits
juga Rasulullah memerintahkan untuk memikirkan tentang ciptaan Allah (alam
semesta).
Berbagai dalil normatif diatas menunjukkan bahwa gunung
pada prinsipnya adalah ayat Tuhan yang dibentangkan di alam semesta ini untuk
kita pelajari dan kaji. Mendaki sejatinya adalah momen paling tepat untuk
melakukan pengkajian tersebut. Namun demikian, fakta memilukan yang penulis
paparkan di depan tulisan, menunjukkan betapa sesungguhnya esensi pendakian
terutama pendaki milenial telah kehilangan ruhnya. Mendaki yang seharusnya
menjadi ruang refleksi atas keperkasaan sang maha kuasa dan menunjukkan tubuh
kita yang sangat terbatas, ringkih dan lemah.
Beberapa waktu yang lalu, saya merasakan kepiluan yang
teramat dalam, sebagai seorang pecinta gunung, pernah mendaki beberapa gunung
di bumi pertiwi ini, perasaan saya dicabi-cabik, betapa tidak, mereka para
pendaki yang naik gunung dengan alat-alat teknologinya membawa berbagai
perlengkapan musik. Sebagaimana yang dilaporkan salah satu portal berita lokal
di Lombok, mereka para pendaki milenial itu melakukan dugem masal di
atas gunung. Ini adalah kecelakaan moral dan tamparan keras bagi para pengelola
tempat wisata berbasis gunung.
Kita perlu merefleksikan nilai penting dalam al-Quran
yang sejatinya menunjukkan bagaimana cara kita sebagai seorang pendaki ketika
mendaki gunung. beberapa poin perlu diperhatikan untuk menajadikan pendakian
kita lebih bermakna, Pertama, tanamkanlah tekad pada diri, bahwa mendaki
gunung adalah upaya mematangkan psikologis diri melalui desir angin sepoi dan
suara gemuruh angin yang meniup dedaunan. Kita berharap dari suara alam adalah
ketentraman dalam diri kita agar mampu melibas setiap beban kehidupan yang
dilampirkan dalam kehidupan ini.
Kedua,
pendakian adalah ajang untuk melatih sosial kita. Bagaimanapun, ruang pendakian
adalah ruang sosial yang perlu juga dimaksimalkan untuk membangun hubungan
sosial yang lebih luas dan harmonis. Dalam interksi sosial tersebut, kita bisa
menebar nilai-nilai kebaikan termasuk
nilai-nilai dakwah keagamaan.
Ketiga,
pendakian adalah bentuk penguatan kita terhadap hubungan kita dengan alam. Sebagaimana
dalam trilogi ahlussunah wal jamaah, hubungan manusia dalam hidup ini
terpetakan dalam tiga hubungan yakni hubungan dengan Tuhan (hablul minallah),
hubungan dengan manusia (hablum minannas), dan hubungan dengan alam (hablum
minal alam). Nilai ketiga ini perlu diasah. Mendaki adalah salah satu cara
yang tepat! Untuk memaksimalkan pengasahan tersebut, kita perlu melakukan
perenungan dan pengkajian secara mendalam dan kontinyu.
Keempat,
pendakian bisa juga untuk melatih disiplin terhadap ritual keagamaan seperti
sholat. Banyak kita lihat para pendaki yang sangat tidak akrab dengan sholat
(melalaikannya). Padahal, jika dipikir secara sederhana, para pendaki di gunung
tidak memiliki kesibukan apapun. Mereka ke gunung untuk liburan, meninggalkan
semua pekerjaan. Momen ini seharusnya mampu mendorong seseorang untuk lebih
disiplin melakukan tugas-tugas keagamaannya seperti sholat, membaca al-Quran
dan lainnya.
Sayanganya, para pendaki saat ini ketika mendaki yang
terlintas adalah bagaimana mengambil gambar, mengambil kesempatan dengan lawan
jenis, menghabiskan minuman penghangat, memakan camilan sebanyaknya, serta
berbagai ritual lain yang tidak sama sekali memiliki substansi spiritualitas. Semoga
dengan membaca ayat-ayat Tuhan yang ada di dalam al-Quran, mampu mendorong kita
untuk mengkaji ayat-ayat Tuhan yang terbentang di alam raya ini seperti
pegunungan. Pendakian adalah momen tepat untuk selangkah lebih dekat dengan sang
pencipta, yakni dengan mengkaji ayat-ayat-Nya di alam raya!
mendaki gunung memang menciptakan hasrat yang susah diungkapkan, apalagi kalau kita tidak bersikap santun terhadap alam.
ReplyDeleteiyah, meski tak sesusah mengungkapkan cinta...
Delete