‘Citra Gila', Senjata Kaum Kriminal Membius Keadilan
Isu orang gila
beberapa tahun terakhir menyeruak di media pemberitaan Indonesia. Adanya berbagai
kasus kriminal seringkali bermuara pada keterlibatan orang gila, menjadikan isu
orang gila menjadi hal yang serius untuk didiskusikan. Ironisnya, kasus-kasus
yang pada hakikatnya merupakan kasus besar, seperti percobaan pembunuhan
menjadi tidak diproses karena anggapan bahwa pelaku mengalami gangguan jiwa. Kasus
penyerangan terhadap seorang pendakwah adalah yang terbaru. Sebelumnya banyak
kasus-kasus serupa yang telah berlalu.
Kenyataan tersebut
melahirkan berbagai polemik di masyarakat. Berbagai spekulasi kemudian muncul:
isu orang gila adalah bentukan rezim, ini adalah kebangkitan PKI, hati-hati,
umat Islam sudah mulai ditekan dengan kekerasan. serta berbagai pernyataan
serupa yang menunjukkan bahwa berbagai kasus yang dikaitkan dengan orang gila
telah menjadi spekulasi yang sangat jauh dan cendrung berbahaya jika dibiarkan
terus menerus.
Tulisan ini
mencoba melihat istilah gila dalam kacamata linguistik dan semiotik untuk
memperlihatkan bagaimana suatu kata atau istilah terjebak dalam konstruksi
paradigma maupun realitas sosial.
Istilah gila
dalam tinjauan linguistik umum tentunya telah merujuk kepada referensi yang
sudah sama-sama dimaklumi, bahwa kata tersebut bermakna ketidakwarasan. Dalam referensi
sosial komunitas masyarakat, istilah gila juga sudah dikonvensikan dalam citra
yang negatif. Citra yang tidak ada seorang pun yang mau didekatkan dengannya
secara sosial. Bahkan jika istilah gila ditujukan kepada seseorang, maka
dipastikan orang tersebut akan melakukan reaksi tidak suka dan menolak.
Namun, apakah
kemudian istilah gila masih tertancap dalam medan semantik yang telah
disepakati oleh komunitas bahasa tertentu? Sepertinya dengan melihat fenomena
orang gila yang berekspresi sosial belakangan, istilah gila telah mengalami
ameliorasi bahasa dimana maknanya telah mencoba didongkrak melalui citra-citra
yang didengungkan media melalui berbagai pemberitaan.
Tapi apakah
dengan dongkrak citra itu istilah gila menjadi bermakna positif? Hal ini tentu
saja tidak bisa, “gila” dalam tinjauan bahasa paling sederhana pun tidak akan
memiliki citra positif. Kata tersebut telah menunjukkan kepada situasi dimana
seseorang telah kehilangan kenormalannya.
Fenomena orang
gila yang belakangan menyerbak aroma tidak sedap di ruang media telah memaksa
kita untuk melihat gila dalam perspektif yang lebih kritis. Gila dalam dunia
realitas saat ini tidak lagi bisa diidentifikasi melalui sistem tanda
tradisional, bahkan harus melalui sistem pertandaan yang rumit. Dalam hal ini istilah
silmulasi menjadi konsep yang relevan sebagai kacamata.
Simulasi adalah
suatu sistem pertandaan yang memperlihatkan betapa hubungan bahasa dan realitas
tidak berlangsung dalam hubungan sistemik yang terukur, tetapi dalam ruang
kompleksitas yang tidak terbatas. Jika pada sistem tanda tradisional hubungan
bahasa dan realitas dapat didientifikasi dengan mudah, tetapi dalam era saat
ini hubungan tersebut menjadi buram.
Simulasi kemudian
hadir sebagai alternatif paradigmatik untuk memperlihatkan hubungan bahasa,
realitas, dan makna secara lebih utuh. Simulasi menunjukkan betapa banyak
fenomena berbahasa yang tidak lagi menunjukkan makna hakiki karena ruang dan
konteks yang lebih kuat mempengaruhi.
Gila, jika
ditinjau dalam konsep simulasi ini menunjukkan kepada dinamika makna yang
kompeks. Citra, sebagai salah satu istilah kunci dalam konsep simulasi yang
digagas Jean Baudrillad, memilki beberapa referensi untuk menentukan makna. Citra
terkadang adalah topeng dari realitas, kadang merupakan tipuan realitas, kadang
merupakan hal yang sama sekali terpisah dari realitas. Dalam hal ini, gila
telah menjadi suatu hal yang sama sekali tidak mewakili realitas. Gila yang
awalnya sebagai media bahasa untuk menampung makna ketidakwarasan, menjadi
suatu kata yang menjelma tembok persembunyian. Dalam makna gila terdapat upaya
berlindung dari kesalahan.
Gila,
tereproduksi dalam makna baru yang merujuk pada tembok pengampunan. Iya, ketika
seseorang ingin bebas dari tuntutan, dia cukup menganggap dirinya gila. Hal ini
menjadi rumit karena tidak ada satupun cara logis untuk mempercayai seseorang
yang mengatakan dirinya gila. Oleh karena itu dalam kasus ‘gila-gialaan’ yang
banyak merebak di media sosial Indonesia, oknum tertentu melibatkan peran
otoritas dalam mendukung status gila. Mereka meminta polisi dan ahli psikologi
untuk menetapkan status gila. Ketika seseorang berhasil meraih setatus gila
tersebut, maka otomatis dia bebas!
Logika hukum
kita memang menjadi ‘diatas normal’ ketika dihadapkan pada fenomena ‘pelaku
gila’ ini. Hukum kita yang dulu bisa diukur dalam aspek psikologi, tetapi
sepertinya untuk saat-saat ini dibutuhkan perangkat yang lebih canggih untuk
menentukan kualitas ‘waras’ seseorang. Jika semua pelaku kejahatan dibebaskan
hanya dengan alasan dia orang gila, sepertinya dimasa depan orang-orang akan
beramai-ramai menjadi gila untuk membalas perbuatan orang-orang gila.
Gila berjamaah?
mugkinkah?
Melihat struktur
wacana media yang terkesan berpihak kepada ‘penggilaan’ tersebut, maka bisa
disimpulkan bahwa ada semacam kekuatan yang mendorong kita untuk menjadi gila
bersama. Saya jadi teringat pernyataan Ronggowarsito, “Jaman ini jaman edan (gila),
ikut edan tidak enak hati, tidak ikut edan tidak dapat apa-apa. Tetapi seenak-enaknya
menjadi orang edan, lebih baik orang yang waras dan waspada.”
Iya, kita
mungkin dirayu untuk menjadi gila di era penuh kegilaan ini. Orang-orang yang
bersembunyi di balik tembok kegilaan untuk melegalkan tindakan keriminal adalah
orang-orang yang memilih ikut gila di zaman gila ini. Para penegak hukum,
media, dan seluruh pihak yang memfasilitasi kegilaan adalah sama. Mereka berjamaah
untuk menjadi gila!
Lantas apakah
kita bisa bertahan di tengah kewarasan dengan berpegang teguh pada nilai
moralitas dan ilmu pengetahuan? Faktanya, semuanya bisa diputar dan dimainkan
sedemikian rupa. Saya teringat salah satu kisah yang diceritakan budayawan Agus
Sunyoto tentang masyarakat yang dilanda wabah gila. Dalam kisah tersebut,
tersirat makna bahwa terkadang orang waras yang terasing di tengah kegilaan,
justru akan dianggap gila!
Dengan demikian,
istilah gila menjadi absurd dan penuh dengan referensi linguistik yang tumpang
tindih. Banyak orang bersembunyi di balik tembok kegilaan untuk menjadi gila
beneran. Iya, mereka yang melegalkan tindakan kriminal dengan berlindung di
balik tembok kegilaan adalah orang gila sesungguhnya. Mereka waras, tapi tak
menggunakan kewarasan. Mereka menggunakan “citra gila” untuk bebas melakukan
kejahatan. Satu pesan Jean Boudrillad tentang citra dalam konsep simulasi adalah;
“Jangan pernah mempercayai citra!” artinya kita harus bertindak kritis terhadap
berbagai citra yang muncul.
bagus, mampir ke blogku euy
ReplyDeleteMana alamat blognya broo?
Delete