Review Pendakian Gunung Rinjani Jalur Timbanuh
Pada tanggal 23 Agustus 2020 saya bersama tiga
sahabat saya mendaki gunung Rinjani melalui jalur Timbanuh. Ini adalah
perjalanan pertama saya melewati jalur ini. Sebelumnya saya hanya pernah
melewati jalur Sembalun. Untuk memulai pendakian, awalnya para pendaki harus
melakukan registrasi secara online melalui aplikasi eRinjani yang
digagas oleh TNGR. Melalui aplikasi tersebut para pendaki bisa memilih empat
jalur pendakian, Jalur Sembalun (Lombok Timur), Jalur Senaru (Lombok Utara),
Jalur Aik Berik (Lombok Tengah), dan Jalur Timbanuh (Lombok Timur). Adapun tulisan
ini akan memaparkan perjalanan mendaki yang kami lewati melalui jalur Timbanuh.
Mengawali pendakian, kami chek in terlebih
dahulu di pos jaga. Dalam proses chek in para pendaki akan dimintai
tiket yang sudah dibooking secara online kemudian dilakukan scan barcode
tiket di sistem TNGR. Meski awalnya mengalami beberapa kendala (masalah
sistem), kami akhirnya diperbolehkan berangkat. Kendala tersebut membuat waktu
pendakian kami sedikit molor, yang awalnya berangkat jam 9, terlambat hampir
satu jam.
Sebagai bentuk tanggung jawab TNGR di era new
normal, maka proses pendakian juga menggunakan protokol kesehatan covid-19. Kami
diarahkan untuk menggunakan masker, mencuci tangan dengan sabun, menjaga jarak
dan membawa alat-alat pribadi untuk makan dan minum. Akhirnya pendakian pun
dimulai. Hutan hijau penuh rerumputan menyambut kami. Area pertama ini
merupakan area hutan pemanfaatan yang diberikan oleh TNGR kepada masyarakat
sekitar. Artinya, hutan ini masih dikelola oleh para petani di sekitar pos jaga
Timbanuh.
Sekitar 20 menit berjalan, kami memasuki hutan
tropis yang cukup lebat. Area ini jika pada musim hujan terkenal lembab,
sehingga banyak terdapat lintah. Namun demikian karena kami berangkat musim kemarau,
kondisi tanah tidak lembab, beberapa aliran sungai terlihat mengering. Area ini
kurang lebih memakan waktu hingga satu setengah jam hingga sampai di pos 1. Setelah
pos satu, kondisi jalur masih hutan lebat, sehingga sepanjang mata memandang
hanya dipenuhi hijau yang menentramkan. Area hutan ini konon disebut area Hutan
Tropis Avatar.
Berjalan satu jam, kami akhirnya sampai di pos 2,
setelah melewati lahan hijau, pada area pos 2 ini kondisi hutan cukup terbuka,
tidak terlalu banyak pepohonan. Kondisi pos 2 sudah tidak ada gazebo, jadi
hanya bisa istirahat di bekas bangunan gazebo yang tak beratap. Di pos 2 ada
sumber air yang bisa dimanfaatkan yakni di sebelah utara pos, berjalan sekitar
30 meter, posisi mata air di pinggiran tebing. Airnya segar luar biasa!
Setelah istirahat di pos 2, kami melanjutkan
perjalanan. Jalur pendakian setelah pos 2 berkarakter menanjak dengan pepohonan
yang masih sangat lebat. Namun, pada beberapa kilo setelah berjalan kami
memasuki “hutan mati”. Disebut hutan mati karena area ini dipenuhi oleh
pohon-pohonan yang mengering karena habis dilalap api. Sungguh pemandangan yang
indah, meski tak dipungkiri ada genggam kenangan yang memilukan di
ranting-ranting yang hitam itu. Tak terbayangkan betapa mencekamnya ketika
hutan ini diselimuti api.
Setelah berjalan kurang lebih 2 jam, kami sampai
di pos 3. Di area pos ini kondisi sangat representatif untuk ngecamp,
karena ada mata air, lahan camp yang cukup luas, juga ada gazebo panjang
yang terbuat dari beton. Selain itu view wajah Rinjani yang kekar nampak
mempesona di sebelah utara area camp. Sungguh indah dengan dingin yang
menentramkan. Kami memutuskan untuk mendirikan tenda di tempat ini karena malam
telah melemparkan jubah gelapnya.
Pagi harinya, setelah sarapan, kami melanjutkan
perjalanan, yakni pada jam 9 pagi. Jalur pendakian setelah pos tiga cendrung
gersang, tidak banyak pepohonan yang dilewati. Dari pos tiga kita menuruni
sungai yang kering kemudian naik berhadapan dengan savana panjang yang
diujungnya puncak Rinjani tersenyum manja. Beberapa kilo dari savana ini kita
melewati hutan cemara siu (cemara seribu). Dinamai cemara siu karena
banyak cemara di sebelah kiri jalur. Saat angin tiba suara nyanyian pohon-pohon
cemara itu sungguh menentramkan. Bak seruling alam yang melahirkan harmoni.
Beberapa kilometer dari hutan cemara siu, jalur
tetap berada di savana panjang dengan rute yang perlahan menanjak. Setelah melewati
beberapa gundukan, kami memasuki area pos 4. Area ini sangat terbuka. Tidak ada
pohon, tidak ada gazebo. Pos empat, menurut saya tidak representatif untuk ngecamp
maupun hanya untuk berisitrahat karena sengat matahari sangat terasa panas
disini. Beberapa menit berjalan, kami sampai di area cemara tunggal. Seperti namanya,
disebut cemara tunggal karena di tempat ini hanya terdapat satu cemara yang
berdiri kekar dengan diamter pohon yang cukup besar. Di tempat ini cukup
representatif untuk istirahat karena lokasinya rimbun, apalagi jika melewati
jalur ini pada siang hari.
Setelah cemara tunggal, jalur pendakian ful
menanjak. Disinilah energi tubuh bertearung dengan panas matahari dan jalur
yang terus meninggi. Karakter jalur bebatuan, dan sangat minim pepohonan. Disarankan
melewati jalur ini pagi atau sore hari saja, karena terik matahari sangat luar
biasa jika pada siang hari. Berdasar informasi, jalaur inilah yang sering
disebut sebagai bukit penyesalan di jalur Timbanuh. Iya, sebagaimana di
Sembalun, di jalur ini juga ada bukit penyesalan. Disebut bukit penyesalan
karena seringkali para pendaki merasakan penyesalan di tempat ini karena
tekanan psikologis akibat rasa lelah dan perjalanan yang seolah tak kunjung sampai.
Perjalanan sekitar 1 setengah jam dari pos 4,
akhirnya kami sampai di Pelawangan. Di tempat ini pesona Rinjani dan Danau
Segara Anak membayar dengan cash setiap rasa lelah yang telah tumpah di
sepanjang perjalanan. Dari Pelawanagan, mata berhadapan dengan ruang melengkung
yang di dasarnya Danau segara anak menunjukkan kecantikannya. Di sebelah utara,
nampak puncak Rinjani mengekar dalam balutan bebatuan yang hitam. Sebelah kiri
nampak puncak Sangkareang yang juga nampak perkasa. Dari kejauhan terlihat Pelawangan
Senaru yang seperti priamida kecil karena bukitnya berbentuk segi-tiga.
Setelah menikmati pemandangan di puncak Pelawangan,
kami memutuskan untuk membuat camp di salah satu sudut pelawangan yang
nampaknya disediakan oleh pengelola. Rencananya kami akan menginap di tempat
itu, tapi pada saat malam tiba, terjadi badai yang cukup kencang. Selain itu,
juga ada hal mistik yang mewarnai (akan saya ceritakan di tulisan lain),
akhirnya dengan berbagai pertimbangan kami turun pada jam 8 malam.
Berjalan 2 jam kami sampai di pos 3. Akhirnya di tempat inilah kami kembali membangun tenda untuk menginap. Esok harinya, pada jam 8 pagi, kami melanjutkan perjalanan pulang setelah sarapan. Sampai di pos jaga pada jam 12.45 siang, hal tersebut telah dipotong dengan waktu istirahat setengah jam di perjalanan. Pendakian selesai kami kemudian melapor ke pos jaga dan melakukan chek out.
waw gunung rinjani yaaaa. ini masuk list bangeeet tapi kudu persiapan yang bener-bener sih
ReplyDeletesoalnya biasanya aku naiknya yang pendek-pendek. maklum newbie 🤣
Ayoo, bisa barengan kalau mau... Kami standby di Lombok..
DeleteDi lombok banyak gunung-gunung kecil untuk pemanasan.
Deletebenar sekalii... pokoknya asyik..
Deletemantulll
ReplyDeleteNaik rinjani sekarang sudah pakai kuota. Harus mengatur tanggal yang pas menyesuaikan dengan hari libur atau cuti anda. Karena e-ticket yang sudah dibooking tidak dapat direfund atau reschedule.
ReplyDeleteterima kasih infonya saudara... 👍
DeleteInsya Allah akhir tahun ini akan coba trek Timbanuh Lane, dua jalur lainnya(Sembalun&Aik barik) sudah, semoga tahun depan Seven Lane of Rinjani creater rim bisa dicapai(Tete Batu, Torean, Senaru & Lantan)
ReplyDeletemantap,, good luck brother...
Delete