Menggugat Kedaulatan Ekonomi Bangsa
Di tengah usaha keras pemerintah untuk
memajukan bangsa dan mensejahterakan rakyat, banyak hal yang terlupakan dalam
orientasi perkembangannya. Otoritarianisme pemerintah begitu dominan dalam
pengambilan setiap kebijakan. Rakyat tak lagi memiliki suara dalam rangka
kemajuan-kemajuan yang dicita-citakan. Seolah masyarakat hanya diberikan paket
yang di dalamnya janji-janji kesejahteraan yang dirancang melalui regulasi
dewan perwakilan mereka. Di saat yang sama, pemerintah tetap berpacu dengan
berdalih, pembangunan.
Sebagai negara berkembang, indonesia kini
melewati jalur yang semakin menanjak dan mulus. Prestasi demi prestasi telah
ditorehkan bangsa ini. Kemajuan demi kemajuan tersebut dicapai di segala bidang
kehidupan. (konon) terutama ekonomi. Perekonomian Indonesia tengah mulai
diperhitungkan dunia internasional. Salah satu penyebabnya adalah keberhasilan
Indonesia tidak ikut terkena jaring krisis yang tengah mendera Negara-negara
maju di Eropa maupun Amerika.
Tolak ukur pencapaian standar internasional
pun telah banyak yang menilai Indonesia cukup baik dalam manajemen ekonominya.
Namun demikian, realitas dari sudut pandang rakyat sendiri masih menilai Negara
telah gagal melakukan reformasi ekonomi yang telah dimulai 15 tahun yang lalu. Survey
yang dilakukan salah satu media cetak beberapa hari yang lalu memaparkan hal
tersebut (Kompas).
Dalam implementasi kebijakan-kebijakan yang
dirancang (khususnya dalam bidang ekonomi), sepertinya masih jauh panggang dari
api. Kebijakan pensejahteraan masyarakat hanya didapatkan oleh golongan
tertentu yang notabennya sudah termasuk dalam usaha makro. Adapun usaha-usaha
kecil, sepertinya hanya berjalan ditempat di tengah hegemoni
korporasi-korporasi maju. Ini mengindikasikan bahwa regulasi pemerintah masih
berat sebelah. Hanya menjangkau mereka yang dekat dengan penguasa. Sebagai
contoh, dalam proses tender yang dilakukan pemerintah, selalu dimenangkan oleh
perusahaan-perusahaan yang sudah besar dan terkesan itu-itu saja.
“Negara adalah ketika orang-orang berkumpul
untuk membentuk suatu komunitas dan mereka semua menjadi penguasa dalam
komunitas mereka”. demikian pernyataan Jhon Locke, salah seorang filsuf masa
pencerahan Eropa. Jika melihat Indonesia, Negara ini telah keluar dari terminologi
negara di atas. Nama apa yang pantas untuk komunitas yang hanya mementingkan
sebagian golongan saja?
Di sini kita tidak mempermasalahkan
penamaan Negara, namun bagaimana orientasi kenegaraan telah membias dalam laju
menggapai masa depan. Pergerakan menuju kemajuan tidak melibatkan masyarakat
seutuhnya (dan ini akan berakibat fatal). Apakah masa depan hanya milik
sebagian orang saja? Secara eksplisit, Negara telah menjawab pertanyaan
tersebut dengan “iya” yang meyakinkan.
Sebagai konsekuensi implementasi regulasi yang timpang, terbentuklah persaingan-persaingan yang tidak sehat di dalam masyarakat. Pengusaha-pengusaha besar menghegemoni dan terkadang menindas pengusaha-pengusaha kecil. Sehingga sering ditemukan, usaha-usaha mikro tidak memiliki umur yang panjang. Atau jika pun bisa eksis, berjalan dengan langkah yang tertatih-tatih. Negara dalam hal ini, tetap melaju dengan gontai seiring pujian negar-negara dunia akan keberhasilan Indonesia.
Telah banyak diberikan kepada Indonesia penghargaan-penghargaan
dari dunia internasional. Dan salah satu yang sering dibanggakan SBY adalah
penghargaan atas keberhasilan dalam bidang ekonomi. Namun apresiasi tersebut dipertanyakan
ketika rakyat masih saja menjerit dalam jerat kemiskinan.
Beberapa fenomena di atas penting menjadi
refleksi Negara dalam evaluasi kebijakan ekonominya. Kita tidak membutuhkan
penghargaan, tapi bagaimana regulasi memihak kepada rakyat dengan prinsip
pemerataan. Dalam proses pemerataan ini, Negara diharapkan tidak memperlakukan
rakyat manja. Manja disini dimaksudkan atas kebijakan-kebijakan pemerintah yang
sifatnya instan dan berimplikasi membuat masyarakat malas. Seperti program
bantuan langsung tunai (BLT), kebijakan tersebut secara psikologis akan
membentuk mentalitas manja dan malas bekerja. Untuk itu, dibutuhkan
kebijakan-kebijakan pemerintah yang berbasis kreatifitas. Konsep pemeberdayaan
masyarakat sebagai contoh salah satunya.
Dalam bukunya Membangun Indonesia Emas,
Gunawan Sumodiningrat (2005) menekankan konsep pemberdayaan ini. Bagi Gunawan,
kebijakan pemberdayaan masyarakat lebih efektif untuk pembangunan jangka
panjang. Karena dalam konsep pemberdayaan masyarakat, kebijakan pemerintah
hanya menyentuh tataran tehnis 10 % adapun sisanya dipasrahkan kepada masyarakat
dengan pengawasan dan bimbingan seorang yang profesional. Implikasinya, konsep
pemberdayaan masyarakat akan membentuk masyarakat yang madani yakni yang rajin
bekerja dan bersemangat. Selanjutnya implikasi tersebut akan berdampak pada
penekanan angka kemiskinan secara tidak langsung. Pemberdayaan masyarakat juga
bisa sebagai langkah deotoritarianisme pemerintah dalam kebijakan-kebijakannya.
Di samping itu, dibutuhkan sikap simbiosis
mutualisme antara penguasaha maju dengan pengusaha yang masih merangkak.
Catatan, hal ini harus diawali dengan regulasi yang sehat dari pemerintah.
Salah satu cara untuk mebentuk hubungan baik antara kedua golongan tersebut,
dibutuhkan kesalehan berusaha, terutama bagi pengusaha makro.
Kesalehan berusaha telah diwacanakan oleh
beberapa ekonom amerika masa kini. Kekhawatiran dan keprihatinan terhadapan
kemajuan ekonomi yang timpang lah yang latarbelakangi hal tersebut. Kesalehan berusaha
dimaknai sebagai suatu sikap spiritual yang dimiliki oleh seorang pengusaha
agar mampu berbagi dengan pengusaha-pengusaha lain yang masih berkembang
dibawahnya. Substansi wacana ini sama, pemerataan.
Sikap di atas akan membawa kepada
kepedulian horizontal dan merasa terpanggil untuk merangkul pengusaha mikro
yang bergerak dibawahnya. Dengan demikian ketimpangan ekonomi bisa
diminimalisir, karena sejauh ini, Indonesia secara vertical individual,
ekonominya telah bisa bersaing dengan pengusaha-pengusaha luar negeri bahkan di
Negara-negara maju sekalipun.
Pekerjaan rumah bangsa Indonesia sekarang
adalah pemerataan kesejahteraan ekonomi. Usaha yang keras melalui regulasi
maupun aplikasi harus dipadukan untuk mewujudkannya. Aspirasi dari rakyat
sepatutunya dipertimbangkan guna kebaikan bersama. Pengusaha-pengusaha makro
dan mikro harus disinergikan dalam rangka membentuk perekonomian yang sehat
luar dalam. Sehat dalam pemerintahan nasional serta sehat dalam intraksi
internasional. Hal itulah yang akan membentuk negara Indonesia sebagai Negara
yang benar-benar berharga. Tidak sebatas penghargaan belaka.
Post a Comment for "Menggugat Kedaulatan Ekonomi Bangsa"