Contoh Esai Ilmiah Pemenang Lomba Tingkat Nasional
Formasi Nalar Islam Nusantara
(Upaya Meneguhkan Paradigma Pengkajian Islam Berkeindonesiaan)
Pendahuluan
Telah banyak tokoh maupun sejarawan yang mengemukan bahwa Islam di
Indonesia itu unik. Beberapa hal yang bisa diungkapkan untuk mengafirmasi hal
itu diantaranya: secara historis Islam di indonesia masuk secara damai[1]
tidak seperti penyebaran Islam di Timur Tengah yakni melalui jalur pedang.
Kedua, secara geo-kultural indonesia memiliki wajah yang sangat beragam
sehingga perbedaan wajah Islampun merupakan hal yang niscaya. Ketiga indonesia
dewasa ini menjadi kiblat muslim dunia kaitannya dengan toleransi.[2]
Namun demikian kenyataan tentang Islam yang damai dan menjunjung
tinggi toleransi masih sering diciderai oleh tindakan-tindakan anarkisme yang
terjadi atas nama agama. Contoh kongkritnya, kasus Syiah di Sampang dan konflik
agama antara Islam-Kristen yang sempat mengemuka di Papua serta berbagai kasus
kekerasan serupa. Disamping itu, gencar pula gerakan-gerakan trans-nasional
yang berupaya mengganti sistem demokrasi Indonesia menjadi sistem yang lebih islami.
Dari kenyataan-kenyataan tersebut beberapa tahun terakhir tengah
gencar dilakukan kajian-kajian tentang Islam Nusantara sebagai suatu model
paradigma Islam yang lebih inklusif dalam upaya mempertahankan eksistensi
Negara Kesatuan Republik Indonesia. Wajah Islam yang lentur dan mampu bergerak
secara fleksibel sangat dibutuhkan dalam melihat Indonesia dengan kenyataan bhineka
tunggal Ika-nya. Telah banyak buku-buku yang berbicara tentang Islam Nusantara,
baik secara historis, ragam pemikiran serta tinjauan ontologis maupun
aksiologisnya.
Seperti misalnya tulisan Abdul karim tentang Islam Nusantara
yang mengakaji bagaimana historisitas perjalanan Islam masuk dan berkembang di
Indonesia serta nilai-nilai moral yang ada dalam tradisi berislam di Indonesia.[3] Buku
yang lain juga berbicara tentang fenomena Islam di Indonesia, seperti buku Islam
Indonesia yang berbicara tentang berbagai ritual keislaman yang ada di
dalamnya seperti pengaruh kolonialisme dalam perkembangan Islam, arus konversi
keyakinan serta ritual sufisme yang banyak ditemukan di daerah-daerah pelosok
di seluruh daerah yang tersebar di Indonesia.[4]
Pada prinsipnya buku-buku tersebut memiliki kecendrungan untuk menggambarkan
wajah Islam di Indonesia dan bagaimana seharusnya model pemikiran yang
dikembangkan.
Di sisi lain banyak pula tulisan-tulisan yang berbicara tentang
ragam pemikiran Islam Nusantara, misalnya tulisan Munawir Husni dkk. Dalam
bukunya Nalar Islam Keindonesiaan, dibicarakan secara komprehensif
tentang Islam di Indonesia perspektif organisasi keislaman yang berkembang
seperti NU, NW, Muhammadiyah, LDII, dan lain sebagainya.[5]
Buku tersebut pada prinsipnya memberikan peta pemikiran dari masing-masing
ormas Islam.
Dari berbagai tulisan tersebut belum banyak yang berbicara tentang Islam
Nusantara secara epistemologis. Namun demikian ada beberapa tulisan secara
tercecer dan dalam bidang yang berbeda-beda yang berbicara tentang fenomena di Indonesia
perspektif epistemologis. Dalam bidang pendidikan misalnya, Adurrahman Mas’ud yang
berbicara tentang Humanisme Religius sebagai paradigma pendidikan Islam.[6]
Fenomena yang menjadi landasan bangunan teori Mas’ud adalah fenomena sosial
yang ada di Indonesia. Dengan demikian konsep pendidikan berparadigma Islam
Indonesia telah disusun oleh beberapa orang seperti Abdurrahman Masud.
Memang ada tulisan yang peneliti temukan melalui penelusuran di
Internet yang mengkaji Islam di Indonesia secara epistemologis. Tulisan
tersebut secara sangat jelas berbicara tentang landasan epistemologis konsep Islam
Nusantara. dalam tulisannya yang berjudul Dasar Epistemologi Tentang Islam
Nusantara: Dari NU untuk Dunia, Ahmad Hilmy Hasan berbicara tentang dasar
epistemologis konseptualisasi Islam Nusantara.[7] Namun
demikian, secara sangat jelas tulisan tersebut melihat konsep Islam Nusantara
sebagai kajian yang terbatas pada wacana yang dikembangan oleh Nahdlatul Ulama
semata. Adapun tulisan ini ingin membincang Islam Nusantara sebagai wacana umum
yang seluruh organisasi Islam di Indonesia ini terlibat di dalamnya.
Dalam bidang agama, telah banyak pendekatan-pendekatan yang
dilakukan dalam upaya mengalternasi model masyarakat Indonesia dengan
menggunakan kaca mata Islam sebagai epistemologi perubahan. Apa yang dikenal
tentang integrasi-interkoneksi sebagai konsep yang dicetuskan oleh Amin
Abdullah sejatinya merupakan refleksi dari beragam pemikiran filsafat barat dan
timur yang terkoneksi dalam situasi keragaman sosial di Indonesia.[8]
Di samping itu, tulisan-tulisan ringan banyak pula yang menghiasi
model Islam Nusantara seperti beberapa tulisan Abdurrahman Wahid, Nurcholis
Madjid, Mustafa Bisri dan lain sebagainya. Secara aksiologis tulisan-tulisan
tersebut memiliki upaya mengkonstruksi bangunan pemikiran Islam ala Indonesia untuk transformasi
Islam yang lebih berimbang.
Keterangan di atas menunjukkan bahwa Islam Nusantara sebagai suatu
bidang kajian telah mendapatkan porsi yang besar dalam dialektika keilmuan di
negeri ini. Namun demikian tibutuhkan suatu bingkai epistemologis untuk
menguatkan karakter pendekatan Islam Nusantara. Kajian tersebut sangat penting
dilakukan di tengah upaya menjadikan Islam Nusantara sebagai inspirasi
peradaban dunia. Tulisan ini dengan demikian bertujuan untuk melihat formasi
nalar Islam Nusantara serta upaya membingkai formasi nalar tersebut dalam suatu
kajian yang sistematis. Secara tehnis telah banyak tercecer dalam pemikiran
beberapa tokoh di negeri ini formasi nalar Islam Nusantara. Dengan kata lain
tulisan ini akan menghadirkan karakter pendekatan ataupun metodologi yang
digunakan oleh para penulis Islam Nusantara untuk dipetakan sebagai formasi
nalar Islam Nusantara.
Sebagaimana Muhammad Abid Aljabiri yang mencetuskan bunyah ‘aql
al-Arab (Formasi Nalar Arab) dalam upaya memetakan nalar pemikiran bangsa
Arab, maka tulisan ini juga memiliki keinginan yang sama. Namun demikian pada
tataran tehnis ada perbedaan mendasar antara tujuan tulisan ini dengan tujuan
tulisan yang dibuat oleh Abed al-Jabiri. Jika Al-Jabiri menyusun buku Formasi
Nalar Arab-nya dengan bangunan teori yang berlandas pada fenomena pemikiran
Arab yakni dari tradisi perdebatan menuju tradisi komunikasi intelekutal,[9]
maka tulisan ini lebih ke dalam upaya penjagaan eksitensi pendekatan pengkajian
islam berparadigma Islam Nusantara. Hal ini untuk menegaskan posisi Islam
Nusantara dalam kajian keislaman yang mana belakangan ini mulai banyak kelompok
yang menyalahkan ataupun mencoba merusak bangunan paradigma tersebut.[10]
Kerangka konseptual
Sebelum membahas lebih jauh tentang fokus masalah tulisan ini,
penulis ingin menjelaskan sekilas tentang fondasi konseptual yang digunakan.
Pertama tentang nalar, penulis secara total mengikuti apa yang dikonsepsikan
oleh Al-Jabiri. Menurutnya kata nalar memiliki konsekuensi tersendiri yang
berbeda dengan kata pemikiran, ataupun ideologi. Aljabiri menegaskan bahwa
nalar memiliki unsur budaya (nalar dominan).[11] Sebagaimana
Levi-strauss, Al-jabiri juga membedakan antara nalar aktif dan nalar
dominan. Nalar aktif ditunjukkan kepada bentuk nalar yang umum dimiliki
setiap manusia dan nalar dominan adalah nalar yang terbentuk pada periode
tertentu dengan latar budaya maupun perangkat sosial lainnya yang ada di balik
realitas.[12]
Artinya penggunaan kata “nalar” dalam kajian ini ingin melihat model epistemologi Islam Nusantara dengan latar
kultural para pemikirnya.
Konsep tersebut sejalan dengan pengertian Islam Nusantara yang
dikemukakan oleh Azyumardi Azra, bahwa Islam Nusantara adalah “Islam distingtif
sebagai hasil interkasi, kontekstualisasi, idigenisasi dan vernakularisasi Islam
universal dengan realitas sosial, budaya dan agama di Indonesia.”[13] Dengan
demikian nalar Islam Nusantara yang dimaksudkan disini adalah pola pendekatan
dalam mengkaji Islam di Indonesia dengan berdasarkan kepada tradisi
sosio-kultural yang ada (nalar dominan).
Pola pengkajian Islam di Indonesia
Secara historis, perlu kiranya untuk dipaparkan tentang pola pengkajian
Islam di Indonesia dari waktu ke waktu guna mendapatkan ilustrasi yang mapan
dalam upaya menjelaskan tentang format nalar Islam Nusantara. sebagaimana
dikatakan oleh para sejarawan bahwa Islam masuk di Indonesia pada abad ke 14
yang ditandai dengan adanya prasasti yang ditemukan di masjid Demak.[14]
Pada awalnya Islam masuk dibawa oleh para pedagang dari Arab,
Gujarat dan Persia.[15]
Para ahli sejarah sepakat bahwa Islam masuk di Indonesia secara damai dan tanpa
perang. Beberapa hal yang menyebabkan masuknya Islam secara damai tersebut
adalah pertama, karena para penyebar Islam waktu itu ke Indonesia bukan
dalam rangka menyebarkan Islam tetapi dalam rangka berdagang.[16]
Dengan demikian Islam masuk bukan dengan misi mengislamkan yang berarti bahwa
proses kultural lebih berperan dari pada proses teologis agama Islam sendiri.
Kedua, paham Islam
yang masuk lebih berbau sufisme dari pada ajaran Islam yang rumit.[17]
Kenyataan tersebut sangat berpengaruh terhadap proses masuknya Islam menjadi
keyakinan banyak orang di negeri ini. Ajaran tasawuf dipandang lebih kongkrit
dan tidak memberatkan dan fleksibel untuk diterapkan di masyarakat yang background
budayanya sangat beragam seperti Indonesia.
Ketiga, para penyebar Islam di Indonesia memiliki pola pikir yang
inklusif seperti para Walisongo. Hal tersebut sangat berperan dalam mewujudkan
komunukasi ideologi yang damai dan tanpa kekerasan.
Adapun berbicara tentang pola pengkajian Islam yang berkembang
sangat ditentukan oleh periode sejarah tertentu. Pada masa awal Islam, kajian
keislaman lebih bersifat otodidak dan dilakukan di surau-surau kecil. Kebanyak
terkait dengan persoalan tauhid, fikih dan tasawuf.[18]
Pada masa awal ini Islam masih banyak berbaur dengan adat kebiasaan budaya
masyarakat pada waktu itu. Maka sangat memungkinkan bahwa wajah Islam memiliki
pola yang akulturatif antara ajaran Islam dan kebiasaan masyarakat Indonesia
pada waktu itu.
Pada masa selanjutnya, kajian Islam lebih bersifat puritanisme,
yaitu usaha pemurnian ajaran Islam. Hal ini terjadi setelah adanya para pemuda
dari Indonesia yang dikirim ke Timur Tengah untuk belajar Ilmu agama. Namun
demikian aktifitas pemurnian tersebut sering kali berujung kepada konflik
sosial karena kajian keislaman yang dilakukan oleh para akademisi tersebut
bersifat apologetik dan menyalahkan tradisi Islam yang berkembang sebelumnya.
Seperti ketika Adnan Nasir yang dikirim ke Mesir untuk belajar Islam oleh raja
Solo kemudian setelah kembali ke Indonesia, dia disuruh mempresentasikan ajaran
Islam yang dipelajarinya disana. Setelah mendengar paparan Adnan, Raja Solo
justru menolak model Islam yang dibawa oleh Adnan dan lebih memilih model Islam
yang diajarkan sebelumnya oleh Sunan Kalijaga.[19]
Setelah melewati masa tersebut, pengkajian Islam kemudian masuk
periode modern yang ditandai dengan angkatan-angkatan liberal dari para
akademisi yang merupakan lulusan universitas dari Barat. Mereka mengajarkan
Islam yang modern namun tidak menyalahkan tradisi sebelumnya. Salah satu tokoh
yang bisa disebutkan dalam angkatan ini adalah Nurcholis Madjid.[20] Sejalan
dengan Nurcholis, setelahnya muncul tokoh-tokoh semacamnya seperti Abdurrahman
Wahid yang akrab disapa Gusdur. Dapat disimpulkan pola kajian pada masa periode
ini sangat inklusif dengan mengedepankan toleransi dan menjaga
keberagaman.
Setelah menelaah corak pengkajian Islam di Indonesia diatas, maka
nampak bahwa kajian Islam sangat dinamis dan dipengaruhi oleh kemajuan ilmu
pengetahuan. Meminjam pandangan Amin Abdullah, pengkajian dalam ilmu keislam
memiliki tiga corak, yaitu Ulumuddin, Ilmu Kalam (Islamic Thougt) dan Dirasah
Islamiah (Islamic Studies).[21]
Ulumuddin ditunjukkan kepada kajian keislaman yang masih bersifat apologi atau
justifikasi kelompok tanpa menggunakan rasionalitas, kemudian ilmu kalam
ditunjukkan kepada kajian keislaman yang menggunakan rasionalitas namun tetap
dalam tataran justifikasi ideologi. Adapun dirasah islamiah lebih mengkaji
islam secara objektif dengan melepas atribut keislaman sehingga kajian tidak
bersifat apologetik.
Selain Amin, ada juga pemikir lainnya yang mengkaji islam
perspektif humanisme. Dalam bukunya, Islam Dinamis Islam Harmonis, Machasin
menegaskan bahwa pengkajian Islam harus terbuka pada kemajuan dan realitas
sosial baik itu budaya, adat istiadat serta struktur-struktur keyakinan yang
ada di dalamnya.[22]
Pada prinsipnya Islam dinamis harmonis memiliki visi membangun model beragama Islam
yang inklusif sehingga tidak gampang menyalahkan (memberangus) kelompok lain.
Jika kita lihat dalam konteks kajian yang lebih luas, sebenarnya
model kajian yang memberikan porsi realitas dalam mengkomunikasi teks suci
dengan fenomena diilhami dari beberapa
pemikir timur seperti Fazlur Rahman, Abed Al-Jabiri, Nasr Hamed Abu Zayd, dan
lain sebagainya. Fazlur Rahman misalnya mengajukan suatu bentuk kajian dengan
melakukan pendekatan hulu-hilir (“gerakan ganda”). Dalam konsep
tersebut, mengkaji ayat misalnya harus bersumber dari historisitasnya kemudian
berakhir di realitas sesungguhnya yaitu saat kajian itu dilakukan.[23]
Memang dalam kajian Islam yang paling tua pun telah ada konsep semacam itu,
yaitu pada konsep asbabun nuzul. Model pemaknaan ayat suci seperti
diatas sejatinya telah terinternalisasi dalam semboyan terkenal masyarakat Nahdlatul Ulama’ yaitu almuhafazah
ala qodim as-sholih wal akhdzu bil jadidil ashlah. Yang berati ‘memelihara
teradisi lama yang baik dan mengambil tradisi baru untuk hal yang lebih baik.’
Jika melihat para pemikir di atas khususnya pada masa modern, dapat
dikatakan bahwa mereka memiliki esensi pemikiran yang sama meskipun berasal
dari kelompok organisasi Islam yang berbeda-beda. Dengan demikian kenyataan
tersebut menjadi bukti bahwa ada kecendrungan secara epistemologis untuk
membangun suatu paradigma keilmuan Islam yang lebih berorientasi keindonesiaan
dengan asas toleransi dan humanisme di dalamnya tanpa melihat kepentingan
golongan.
Formasi nalar Islam Nusantara
Berangkat dari sejarah Islam dan model berpikir para tokoh Islam
Indonesia diatas, maka bisa dipaparkan bahwa formasi nalar Islam Nusantara
bergerak dalam trilogi yang dikembangkan oleh Abed Aljabiri, yaitu bayani,
irfani, dan burhani. Sebagaimana Aljabiri, bayani ditunjukkan kepada
epistemologi pemerolehan pengetahuan melalui sumber tekstual atau kitab suci. Irfani
ditunjukkan kepada epistemologi pemerolehan pengetahuan secara intuisi dan burhani
adalah pemerolehan pengetahuan secara rasionalisasi atau berfikir. Berangkat
dari terminologi Aljibiri tersebut, maka formasi Nalar Islam Nusantara memiliki
ketiga struktur tersebut namun dengan posisi yang tumpang tindih.
Misalnya, pada awal masuknya Islam di Indonesia, pola pikir
keislaman masyarakat dibentuk oleh keterangan langsung para penyebar Islam yang
tentunya hal ini berbau bayani. Namun disisi lain karena pada saat yang
sama pengajaran Islam juga terdapat materi tasawuf, maka sering kali masyarakat
juga mendapatkan ilmu-ilmu kanuragan yang secara epistemologis didapatkan
melalui intuisi atau irfani.
Nalar tersebut kemudian berkembang seiring pengalaman hidup yang
ada dalam konstruk sosial mereka. Mengingat tradisi-tradisi lama yang sudah
ada, sering kali mereka memiliki keinginan untuk tetap mempertahankan tradisi
nenek moyang. Artinya dalam hal ini pemikiran Islam masuk dalam suasana
negosiasi identitas yakni antara identitas ibu masyarakat dengan identitas
bawaan dari agama baru mereka (Islam). Seperti misalnya yang dilakukan oleh Raja
Solo sebagaimana keterangan di atas. Hal tersebut sejalan dengan yang ditulis
Ricklefs bahwa para kelompok tradisional Jawa tidak mau menerima ide reformis
karena mereka telah menemukan model Islam yang lebih sesuai dengan identitas
mereka pada penyebar Islam sebelumnya.[24]
Kenyataan semacam ini maklum terjadi dalam suatu aktivitas negosiasi identitas.[25]

Gambar: Persinggungan
trilogi epistemologi pengetahuan
Formasi nalar tersebut terus mengalami transformasi menurut
perkembangan keilmuan dan informasi pada saat itu. Pada masa modern,
transformasi tersebut memiliki bentuk yang beraneka ragam, bahkan aktifitas
puritanisme pun hadir dalam wajah modernitas. Proses permurnian Islam tidak
hanya sebatas dakwah di masjid-masjid, tetapi melalui buku-buku (ilmiah dan
sastra) serta universitas-universitas. Formasi nalar Islam Nusantara
selanjutnya semakin berkembang terutama oleh dua sayap besar dalam bidang
keislaman yaitu Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah. Dari kedua kelompok tersebut
lahir banyak pemikir Islam dalam upaya pemurnian maupun transformasi Islam yang
lebih berkemajuan.
Berbicara kedua organisasi Islam terbesar di Indonesia tersebut,
dalam mengulas tentang Nalar Islam Nusantara, maka tidak bisa dipisahkan dengan
ideologi kebangsaan yang diusung keduanya yaitu Pancasila. Selain secara
historis dimana rumusan isi Pancasila dipelopori oleh founding father
kedua organisasi tersebut, juga karena secara konstitusonal kedua organisasi itu
telah menjadikan pancasila sebagai asas tunggal yaitu Nu pada muktamar yang ke
27 dan Muhammadiyah pada muktamar yang ke 47. Kedua muktamar itu memiliki titik
persamaan yaitu menerima Pancasila sebagai satu-satunya asas.[26]
Dengan melihat sejarah dan dinamika paradigma para pemikir Islam di
Indonesia diatas, maka dapat disimpulkan bahwa formasi nalar Islam Nusantara mencakup
trilogi yang dikembangkan Aljabiri namun bersifat dinamis dan bersinggungan.
Artinya nalar Islam Nusantara bersifat akomodatif yang resiprokal antara agama,
budaya dan akal. Ini sejalan dengan nilai-nilai dalam Pancasila. Dengan kata
lain nalar Islam Nusantara bersifat negosiatif terhadap berbagai latar
kebudayaan yang ada di dalam negara kesatuan republik Indonesia dengan
mengedepankan toleransi, humanisme dan keberagaman dalam menyimpulkan suatu
keputusan teologis.
Mengingat nalar Islam Nusantara sebagai warisan epistemologis yang
tak ternilai harganya, maka penting untuk membingkai formasi nalar Islam
Nusantara dengan paradigma-paradigma sosial-keagamaan yang inklusif. Dapat
dituliskan paradigma-paradigma tersebut adalah, Pertama, toleransi.
Aspek ini menjadi sangat penting mengingat posisi bangsa Indonesia yang penuh
keragaman. Terlebih lagi belakangan waktu banyak kita saksikan fenomena
sekterianisme mulai mencuat kembali seperti kerusuhan di Sampang, Jawa Timur
dan sebagainya.
Kedua, humanisme. Paham ini sangat penting dimiliki oleh
setiap orang guna mebangun interaksi kemanusiaan yang lebih berimbang dan tidak
terjebak dalam perselisihan ataupun anarkisme. Dalam paradigma Islam Nusantara,
humanisme menjadi kontrol dalam upaya menghargai kelompok lain yang
berseberangan mengingat posisi masing-masing dalam konteks kemanusiaan.
Selanjutnya yang tak kalah pentingnya adalah paradigma esoteris. Setiap
warga negara muslim dalam upaya membangun paradigma Islam Nusantara harus
memiliki pandangan esoteris yaitu suatu pandangan yang lebih melihat
titik-titik persamaan dari pada perbedaan. Model paradigma semacam ini sangat
dibutuhkan dalam konteks keragaman paham keagamaan ataupun keragaman agama itu
sendiri.[27]
Selain ketiga hal tersebut, penting pula menguatkan jaringan antar
intelektualis Islam Nusantara. Dalam hal ini sayap-sayap besar Islam yang ada
di Indonesia harus memiliki konektivitas untuk merumuskan formasi nalar yang
sesuai dengan keadaan masyarakat Indonesia secara umum. Komunikasi jaringan
intelektual antar organisasi Islam di Indonesia sangat dibutuhkan dalam upaya
membangun formasi nalar Islam Nusantara. Sejauh ini wacana Islam Nusantara masih
cendrung hanya didengungkan oleh organisasi Nahdlatul Ulama’. Kenyataan
tersebut tentu saja akan menciderai esensi Islam Nusantara itu sendiri dimana
konsep tersebut dicetuskan untuk Indonesia secara umum bukan untuk NU secara
khusus.
Selain itu, dibutuhkan pula sumbangsih pemikiran para pemikir organisasi
keislaman lainnya yang berkembang di negeri ini untuk ikut meramaikan wacana
keislaman berparadigma Islam Nusantara. Sejatinya tidak sedikit
organisasi-organisasi Islam yang bisa diajak untuk lebih mematangkan konsep
tersebut, salah satunya organisasi Nahdlatul Wathan yang menjadi ideologi
mayoritas masyarakat NTB atau bahkan Indonesia bagian Timur.
Dengan adanya jaringan intelektual (diskusi, dialog) dalam upaya
mewujudkan formasi nalar yang sesuai dengan kebutuhan bangsa Indonesia, maka Islam
Nusantara akan mendapatkan posisi termatangnya hingga mampu menjadi penggerak
dalam mewujudkan masyarakat toleran di negeri ini. Posisi tersebut pada
gilirannya akan menjadi inspirasi bagi peradaban dunia untuk membangun
kehidupan yang lebih damai tanpa kekerasan khususnya dalam kehidupan beragama.
Penutup
Dapat disimpulkan bahwa formasi nalar Islam Nusantara bersifat
akomodatif terhadap berbagai model tradisi dan kebudayaan yang ada di
Indonesia. Oleh karena itu formasi nalar Islam Nusantara sekurang-kurangnya
dapat diklasifikasikan dengan adanya aspek toleransi, humanisme dan esoterisitas
di dalamnya. Selain itu dibutuhkan perangkat eksternal berupa jaringan
intelektual para tokoh pembesar organisasi untuk senantiasa melakukan diskusi
maupun dialog tentang Islam Nusantara. Dengan adanya formasi nalar Islam
Nusantara, maka pengkajian Islam berparadigma keindonesiaan akan lebih mudah
dan sistematis sehingga mampu memberikan solusi terhadap persoalan beragama
seperti terorisme dan ekslusifitas golongan.
Daftar pustaka
Abdullah,
Taufik. Indonesia dalam Arus Sejarah. Jakarta: Kementrian Pendidikan dan
Kebudayaan, 2012
Abdullah, M.
Amin. Islamic Studies di Perguruan Tinggi Pendekatan Integratif-Interkonektif.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2012
Al-Jabiri, Muhammad Abed. Formasi Nalar Arab. Terj.
Yogyakarta: IRCISod, 2003
Husni, Munawir, dkk. Nalar Islam Keindonesiaan. Pancor: IAIH
Publishing, 2014
Ittihadiyah,
Himayatul. Islam Indonesia dalam Studi
Sejarah dan Budaya (Teori dan Terapan). Yogyakarta: PKSBi UIN Sunan
Kalijaga, 2011
Karim, Abdul. Islam Nusantara. Yogyakarta: Gama Media, 2013
Machasin. Islam
Dinamis Islam Harmonis. Yogyakarta: LkiS Group, 2012
Mansur. Peradaban
Islam dalam Lintasan Sejarah. Yogyakarta: Global Pustaka Utama, 2004
Rahmat,
Imaduddin (ed). Islam Pribumi: Mendialogkan Agama Membaca Realitas.
Jakarta: Penerbit Erlangga, 2003
Riclefs, Merle.
C. Religus Reforms and Polarization In Java dalam Isim Review:
Migrants, Minorities and The Mainstream. International Institut for The
Study of Islam In The Modern World, 2008
Rahman, Fazlur.
Islam and Modernity: Transformastion on an Intellectual Tradition.
Chicago: Chicago University Press, 1982
Tempo. Asas
Tunggal NU dan Muhammadiyah. Edisi tanggal 9 Agustus 2015
Ting-Toomy,
Stellah. Communicating Across Culture. New York: Guilord Press, 1991
Tjandrasasmita,
Uka. Arkeologi Islam Nusantara. Jakarta: Gramedia, 2009.
[1] Taufik
Abdullah dkk. Indonesia dalam Arus
Sejarah Jilid III (Jakarta: Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan RI, 2012)
hlm. 15
[2] Kompas. Uskup
Agung: Indonesia Jadi Contoh Dunia Soal Toleransi Antaragama. Via
nasional.kompas.com. akses tanggal 1 April 2016
[3] Abdul Karim. Islam
Nusantara. (Yogyakarta: Penerbit Gama Media, 2013)
[4] Himmayatul
Ittihadiyah, dkk. Islam Indonesia dalam Studi Sejarah, Sosial, dan Budaya
(Teori dan Penerapan). (Yogyakarta: PKSBi UIN Sunan Kalijaga, 2011)
[5] Munawwir Husni,
dkk. Nalar Islam Keindonesiaan. (Pancor: IAIH Publishing, 2014)
[6] Abdurrahman
Mas’ud. Menggagas Format Pendidikan Nondikotomik (Humanisme Religius Sebagai
Paradigma Pendidikan Islam ).
[7] Ahmad Hilmy
Hasan. Dasar Epistemologi Tentang Islam Nusantara: dari NU untuk Dunia.
(dalam situs: https//hilmyelhasan95.wordpress.com) akses tanggal 31 Maret 2016
[8] Inayah
Rohmaniyah. Pendekatan dalam Pengkajian Islam. Materi kuliah Pascasarjana
UIN Sunan Kalijaga. (tahun pelajaran 2014-2015).
[9] Abed
Al-Jabiri. Formasi Nalar Arab. Terjemahan Imam Khoiri. (Yogyakarta:
IRCISoD, 2003) hlm, 9
[10] Imaduddin
Rahmat. “Islam Pribumi, Islam indonesia”. dalam Islam Pribumi: Medialogkan
Agama Membaca Realitas. (Jakarta: Penerbit Erlangga, 2003) hlm, XVi
[11] Abed Aljabiri.
Formasi Nalar Arab. Hlm, 25-30
[12] Abed Aljabiri.
Hlm, 33
[13] Azyumardi Azra
dalam Ahmad Hilmy Hasan. Dasar Epistemologi tentang Islam Nusantara... Ibid.
[14] Abdul Karim. Islam
Nusantara.... hlm, 29
[15] Ricklefs dalam
Karim. Hlm, 62
[16] Abdul Karim.
Hlm, 31
[17] Taufik
Abdullah dkk. Indonesia dalam Arus sejarah Jilid III. Hlm, 20
[18] Merle. C. Ricklefs.
“Religius Reform and Polarization In Java” dalam Isim Review: Migrants, Minorities
and The Mainstream. (International Institut for The Study of Islam In The
Modern World, 2008) hlm, 35
[19] Karim. Islam
Nusantara. hlm, 46-47
[20] Mansur. Peradaban
Islam dalam Lintasan Sejarah. (Yogyakarta: Global Pustaka Utama, 2004) hlm,
128
[21] Amin Abdullah.
Islamic Studies di Perguruan Tinggi, Pendekatan Integratif-Interkonektif.
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2012) hlm, 72-74
[22] Machasin. Islam
Dinamis Islam Harmonis. Hlm, 13
[23] Fazlur Rahman.
Islam and Modernity: Transformation On an Intellectual Tradition. (Chicago:
Chicago University Press, 1982) hlm, 5-7
[24] Merle. C. Riclefs.
Religius Reform and Polarization in Java. Hlm, 34
[25] Stella
Ting-Toomy. Communicating Across Culture. (New York: Guilford Press,
1991) hlm, 10
[26] Lihat majalah Tempo
dalam artikel berita yang berjudul Asas Tunggal NU dan Muhammadiyah.
(Tempo, edisi 9 Agustus 2015) hlm, 12
[27] Syafaatun Almirzanah.
Sacred Text in Interfaith of Religions. Seminar. Diadakan di UIN Sunan
Kalijaga Yogyakarta, 14 Agustus 2014
*Tulisan ini pernah memenangkan Lomba Esai Nasional yang diadakan oleh PBNU pada tahun 2016
Post a Comment for "Contoh Esai Ilmiah Pemenang Lomba Tingkat Nasional "