Renungan Ramadhan (2): Membakar Dosa, Menegakkan Takwa
Mengapa disebut Ramadhan? Menurut Ibnu Jarir
Ath-Thobari ramadhan sebagaimana dijelaskan oleh para pakar bahasa Arab berasal
dari kata kerja romadho (رمض) yang
berarti ‘memanaskan’, ‘memanggang’. Sementara itu Ibnu Manzur dalam Lisanul
Arab memberikan dua alternatif makna yakni dari sisi kata benda (mashdar)
bermakna: syiddatul harr ‘sangat panas’. Adapun dari sisi kata kerja
bermakna haddada ‘membatasi’. Dari
pemaknaan etimologi itu dapat dikatakan bahwa ramadhan memiliki makna
memanaskan dan membatasi. Kita ambil saja dua pemaknaan ini untuk menguraikan salah
satu rahasia dari bulan Ramadhan.
Jika kita menggunakan ramadhan sebagai bermakna
memanaskan, maka apa yang dipanaskan (dibakar)? Banyak ulama’ termasuk sahabat
mengatakan bahwa disebut ramadhan karena bulan itu adalah bulan pemanggangan
dosa. Itulah mengapa bulan Ramadhan juga disebut bulan penuh ampunan (maghfiroh).
Dengan demikian salah satu esensi penting Ramadhan hadir di tengah-tengah
manusia adalah menyiapkan mereka wadah untuk membakar dosa dan kesalahan
mereka. Maklum kita ketahui, bahwa 10 pertama bulan ramadhan berisi maghfiror
Allah, oleh karena itu jangan sampai esensi ini lupa untuk kita tunaikan,
terutama di awal-awal ramadhan ini.
Masalah yang banyak menyeruak di awal-awal ramadhan
(menurut yang saya amati), seringkali panasnya perut dan dahaganya tenggorokan
membuat kita lupa pada esensi yang satu ini. Kita seringkali mampu menahan
lapar dan haus, tetapi tak jarang gagal dalam mengendalikan emosi untuk sejenak
merutinkan istighfar (permohonan ampun) dalam nafas puasa kita. Sering terdengar
keluh dari mulut kita yang bau karena tidak makan seharian ‘kapan magrib?’ ‘mengapa
waktu begitu lama berjalan?’ atau berbagai hal lain yang sejatinya menciderai
hakekat berpuasa kita.
Bulan pembakaran dosa ini pada prinsipnya
sangat penting untuk membersihakn ruhani kita. Tetapi sungguh aneh sering kali
momen ramadhan menjadi ajang pembatasan makanan semata, dan lupa pada perbaikan
hal-hal yang sifatnya rohani. Quraish Shihab menyebut bahwa Ramadhan adalah momen
bagi rohani kita untuk mendapatkan perbaikan gizi. Iya, bukan tubuh kita saja
yang perlu perbaikan gizi, rohani kita juga harus mendapatkan hal yang sama. Berpuasa
adalah jalan yang disediakan oleh untuk melakukan hal itu.
Kembali kepada makna leksikal ramadhan, bahwa
makan memanggang dan membatasi harus benar-benar kita pahami sebagai bagian
integral dalam diri kita sebagai orang yang melakukan puasa ramadhan. Ingat,
selain sebagai wadah pembakaran dosa, ramadhan juga merupakan bulan untuk
membatasi. Apa yang dibatasi? Kehendak nafsu kita: makan, minum, hubungan
seksual, pelampiasan psikologis atas kebencian kepada orang lain melalui gibah,
berkata yang buruk baik di kehidupan nyata maupun dunia maya. Itulah diantara
banyak hal yang perlu dibatasi, dan bahkan dimusnahkan dari diri ini.
Pembatasan ini perlu digarisbawahi bukan hanya
pada siang hari bulan Ramadhan, tetapi juga sepanjang waktu dari bulan
tersebut, baik siang ataupun malam. Jangan sampai kita letih menahan segala
yang dilarang pada siang tapi terjerembab dengan hal itu pada malam harinya.
Semoga Ramadhan kali ini kita mampu membakar
seluruh dosa-dosa dan membatasi gerak nafsu kita agar kita benar-benar keluar
dari bulan ini dengan sertifikat yang telah Allah siapkan: ‘menjadi yang bertakwa’.
Post a Comment for "Renungan Ramadhan (2): Membakar Dosa, Menegakkan Takwa "