Menakar Nalar Fiqih Masyarakat Kita
Fatwa hukum yang dikeluarkan MUI beberapa waktu yang lalu tentang
penghentian sementara sholat Jumat dan diganti dengan sholat zuhur di rumah
masing-masing sejatinya memiliki akar pembahasan yang sudah valid dengan asas
manfaat yang sangat kuat. Namun demikian mengorbitnya fatwa tersebut di
masyarakat faktanya menyisakan sekelumit persoalan yang cukup serius sekaligus menarik
untuk didiskusikan.
Menurut analisa saya (observasi terhadap masyarakat Lombok), sikap
masyarakat terhadap fatwa libur jumat
telah memperlihatkan kualitas nalar fiqih masyarakat kita. Banyak dari
masyarakat kita (terutama di pedesaan) yang memiliki sikap menolak terhadap
fatwa tersebut. Penolakan itu tidak hanya secara verbal, tetapi bahkan dibeberapa
desa berbentuk tindakan, yakni dengan tetap melakukan jumatan. Dalam paradigma
mareka, meninggalkan sholat jum’at adalah suatu yang tidak benar (berdosa).
Bentuk penolakan masyarakat terhadap fatwa tersebut terlihat dari salah
satu khotib Jumat yang ditangkap karena dalam khutbahnya berisi argumentasi yang
mengatakan bahwa mengikuti fatwa ulama MUI dan pemerintah tentang tidak
melaksanakan sholat jumat adalah tindakan di luar iman (kafir) (Suara NTB,
8 April 2020). Serta di berbagai desa, masih sering terlontar tentang bagaimana
sejatinya jumatan adalah kewajiban yang tidak bisa ditinggalkan bahkan dengan
fatwa ulama’ dan atau aturan umara’.
Berbagai celetukan, tindakan dan protes dari berbagai pihak terhadap suatu
yang mereka sebut sebagai “perampasan hak ideologis” mereka dalam melakukan
sholat jumat adalah salah satu indikator peting betapa nalar fiqih masyarakat
kita masih sangat lemah. Kenyataan ini diperparah dengan tindakan masyarakat
kita yang cendrung banal dalam menyikapi fatwa tersebut. Sempat terdengar
beberapa masyarakat desa yang berangkat jumatan dengan membawa parang untuk
digunakan sebagai senjata jika ternyata ada polisi yang membubarkan aktifitas
jumatan.
Mereka kemudian dengan percaya diri mengatakan, “pemerintah telah mendorong
kita menjadi kafir”, “kita hanya takut kepada Allah dan tidak kepada wabah”,
“meninggalkan sholat jumat tiga kali menjadi kafir.” Serta berbagai celetukan
serupa yang membanjiri baik di telinga maupun di kanal media.
Jika mengikuti peta epistemologi Aljabiri (2009), masyarakat kita
menggunakan nalar fiqih hanya secara bayani (tekstual) dengan hanya fokus pada
hasil olahan hukum. Dalam hal ini masyarakat melakukan finalisasi terhadap
produk hukum yang sudah lama menjadi tradisi mereka. Hal inilah yang kemudian
mengakar sangat kuat dalam nalar teologis mereka, yang pada gilirannya tidak
mampu memahami proses hukum lain yang menghasilkan produk hukum yang berbeda
dari yang mereka yakini sebelumnya.
Dengan demikian, proses impelementasi hukum Islam di rerata masyarakat kita
cendrung pada tampilan konsep (tekstual) dan tidak menyentuh pada aspek burhani
(pengolahannya) yang dalam hal ini adalah ushul fiqh-nya. Hal inilah yang barangkali membuat masyarakat
kita cendrung statis dalam melihat hukum atau produk fiqih.
Lantas bagaimana menyikapi hal ini? Disinilah saya bersyukur terhadap
fenemena yang belakangan menghampiri kita, biar bagaimanapun fenomena wabah ini
telah mendorong kita untuk mengkaji literasi hukum kita lebih dalam. Terkait
dengan hal ini, para sarjana hukum Islam perlu lebih giat mensosialisasikan
fiqih tidak hanya secara hasil olahannya, tetapi juga proses pengolahan
hukumnya. Secara statistik, masyarakat yang melek hukum (fiqih dan ushul fiqh)
di Indonesia ini memang sudah banyak. Tetapi jika dibandingkan dengan jumlah
keseluruhan masyarakat muslim dewasa ini di Indonesia khususnya, seolah
tumpukan ahli itu masih sangat sedikit.
Jika dihitung secara sederhana, ahli Fiqih yang kita miliki saat ini masih
sangat minim. Hal ini dengan mengikuti asumsi bahwa dari 4 juta santri hanya
sepuluh persen yang mampu menjadi kader ulama atau guru agama (Republika.com).
Kenyataan ini tentu menjadi hal ironis di negeri mayoritas muslim ini. Kita
butuh sarjana hukum Islam maupun alumni pondok pesantren yang lebih banyak lagi
untuk mengkampanyekan nalar fiqih yang lebih terbuka dan tidak statis. Ketika
masyarakat telah mampu mengenal nalar fiqih yang dinamis, maka berbagai
persoalan hukum fiqih di masa depan dapat diselesaikan dengan cepat dan tidak
menimbulkan masalah lain di luar fiqih.
Dalam hal ini penting bagi MUI sebagai lembaga fatwa dan pemerintah sebagai
pihak yang berkepentingan untuk menggunakan fatwa tersebut sebagai kebijakan yang
sifatnya mengikat, untuk melakukan pendidikan fiqih sejak dini, misalnya
melalui pendidikan sekolah setingkat MTs dan MA, dimana di dalamnya
diperkenalkan nalar fiqih yang inklusif agar mereka bisa memahami suatu proses
hukum fiqih dan bagaimana kita bersikap dengan hasil pengolahan hukum itu. Selain
itu para dai juga perlu untuk memberikan ceramah yang berwawasan fiqih
inklusif. Kita berharap masyarakat kita semakin dewasa dalam melihat fenomena
yang berkembang sekarang ini guna keberhasilan kita melawan wabah ini serta
terus memupuk persatuan dan kesatuan beragama dan bernegara.
Post a Comment for "Menakar Nalar Fiqih Masyarakat Kita"