Memupuk Inklsusifitas Beragama melalui Puasa
Salah satu problem sosial dan akademik yang masih
sering muncul dalam diskusi tentang studi agama adalah masih adanya sikap
ekslusif yang dimiliki para pemeluk agama yang pada gilirannya melahirkan
konflik-konflik berkepanjangan. Dibutuhkan
sikap inklusif untuk membangun konstruksi sosial yang lebih baik dan menghargai
perbedaan (agama). Nah, terkait hal ini, Ramadhan memiliki peran tersendiri
dalam membangun inklusifitas beragama (sikap menghargai agama lain). Tulisan ini akan memaparkan bagaimana puasa
ramadhan akan melahirkan sikap terbuka terhadap perbadaan-perbedaan yang ada.
Sejarah menuliskan, bahwa puasa adalah tradisi panjang
yang dimiliki umat manusia. Dalam al-Quran disebutkan bahwa kita berpuasa adalah
tuntutan sebagaimana orang-orang sebelum kita (2: 183). Ibnu katsir dalam
tafsirnya, memaparkan berbagai riwayat penting tentang puasa ini. Kesimpulan mendasar
yang bisa kita ambil dari paparannya adalah bahwa dalam hal puasa ramadhan,
seluruh umat-umat beragama (hanif) memiliki formasi yang sama, yakni
satu bulan penuh. Hal ini dibuktikan secara historis bahwa umat Islam pada
awalnya, sebelum ayat puasa diturunkan, mereka melakukan puasa pada tiga hari
setiap bulan (Ibnu Katsir,: 216). Allah kemudian menghapus cara puasa itu
dengan menurunkan ayat puasa untuk menyeragamkan mereka dengan umat-umat
terdahulu.
Lebih spesifik, Ibnu Katsir mengutip Iman Ahmad bin
Hanbal, menjelaskan tentang perihal turunnya kitab-kitab suci, bahwa semuanya diturunkan
pada bulan Ramadhan. Suhuf Ibrahim, Taurat, Zabur, Injil dan AL-Quran semuanya
diturunkan di bulan yang sama. Data historis ini penting untuk kita refleksikan
kembali dalam momen ramadhan kali ini, bahwa dalam tradisi puasa yang kita
lakukan ini, ada pesan tersirat yang perlu dikemukakan, yaitu membangun
semangat inklusifitas beragama.
Setidaknya ada tiga poin yang bisa kita jadikan
pijakan dalam membangun semangat inklusifitas beragama dalam konteks puasa Ramadhan.
Pertama, kenyataan Tuhan memperintahkan kita berpuasa sebagaimana
tradisi orang-orang beragama sebelum kita adalah suatu landasan toleransi yang
sangat kuat. Bahwa di tengah segala kekurangan agama-agama yang terdahulu, kita
tetap harus menghargai salah satu dari tradisi Tuhan di dalamnya, yakni Puasa! Sikap
menghargai ini dibuktikan dengan cara kita melakukan hal yang sama seperti yang
mereka lakukan. Bukankah sebelum ayat perintah puasa turun kita sudah memiliki
format puasa secara independen? (berpuasa tiga kali dalam setiap bulan). Fakta bahwa
kemudian Tuhan menghapus format puasa yang dibentuk umat Islam pada awalnya
digantikan dengan berpuasa sebulan penuh adalah isyarat indah tentang bagaimana
penghargaan itu ada.
Kedua, turunnya kitab-kitab suci terdahulu serta kitab
suci agama Islam di bulan suci Ramadhan adalah landasan esoteris tentang bahwa keberadaan
setiap agama layak untuk dihargai. Penghargaan ini tentu saja melalui sisi
kemanusiaan. Bukankah agama telah menjadi hak kemanusiaan yang paling mendasar
dan Al-Quran sendiri mengajarkan untuk jangan ada paksaan dalam beragama?
Ketiga, tujuan puasa yang disebutkan al-Quran berupa takwa
memiliki dimensi makna yang luas, salah satunya memiliki dimensi makna ‘menghargai
perbedaan’. Seperti yang terlihat dalam surat al-Hujarat ayat 13, takwa menjadi
statemen penutup Allah setelah menyebut kenyataan hidup bahwa kita diciptakan berbeda-beda
dari sisi kelompok, ras dan identitas. Artinya takwa memililki peran penting dalam
membangun semangat menghargai perbedaan. Dengan demikian dalam ayat tentang kewajiban berpuasa
(2:183) memiliki pesan tersirat salah satunya untuk menghargai perbedaan (bersikap
inklusif) baik beragama, berbangsa, dan berkehidupan sosial lainnya.
Dengan demikian, melalui momen puasa, kita perlu
memupuk semangat keberbedaan, bahwa setiap orang memiliki hak yang sama untuk
menjalankan identitas mereka, berbentuk apapun itu! selama tidak menciderai
kemanusiaan kita. Ketika kita mampu menjadikan Ramadhan sebagai ruang refleksi
untuk membangun sikap inklusif dalam beragama, maka berbagai problem sosial keagamaan
yang masih sering terjadi, bisa diminimalisir bahwa dikuburkan dalam-dalam.
Post a Comment for "Memupuk Inklsusifitas Beragama melalui Puasa"