Kebingungan Masyarakat dalam Fatwa ‘Libur’ Jumat
Fatwa ulama’ yang kemudian dilegitimasi oleh pemerintah tentang penggantian
sholat jumat dengan sholat zuhur di rumah masing-masing memang merupakan
kebijakan yang memiliki tujuan yang mulia. Namun demikian, ada jarak yang
teramat melebar antar pemerintah maupun MUI selaku pelempar kebijakan dengan
masyarakat selaku penerima. Dalam berbagai fenomena yang saya amati, fatwa
libur jumat telah menjelma menjadi gave yang teramat menjurang antara
pemerintah dan rakyatnya, terutama masyarakat muslim.
Secara kaidah fiqhiyah, sudah tidak diragukan lagi bahwa fatwa tersebut telah
memenuhi standar pengolahan hukum yang sangat valid karena digagas oleh para
pakar hukum Islam yang mendunia, oleh karenanya saya tidak akan membincang
fatwa libur jumat dari perspektif hukum Islam, saya ingin melihat ini secara
fenomenologis.
Dalam tradisi yang bergerak, Islam tidak bisa diatur dalam satu prinsip
hukum yang seragam. Ini adalah kenyataan sosial yang tak terelakkan. Karenanya, Islam hadir dengan berbagai
alternatif kerangka hukum yang boleh diikuti oleh rakyatnya. Dalam tradisi
keislaman kita dewasa ini, mazhab yang empat bisa menjadi salah satu
representasi keberagaman hukum di tubuh Islam. Tidak ada yang boleh melakukan
pemaksaan hukum. Hal inilah yang sering kali ditunjukkan oleh Imam Syafii, Maliki,
Hambali, dan Hanafi dalam berbagai statemen mereka. artinya masyarakat memiliki
kebebasan untuk mengikuti berbagai aliran fiqih tersebut.
Nah, apa yang kita saksikan dewasa ini, seolah kebebasan bermazhab itu
menemukan hambatan di tengah legitimasi pemerintah atas fatwa hukum Islam yang
dikeluarkan oleh MUI. Kita sungguh percaya bahwa fatwa libur jumat memiliki
tujuan yang luhur yakni dalam rangka menjaga nyawa kita karena tengah terancam
di bawah bayang-bayang pandemik korona. Saya pun juga secara pribadi sepakat.
Namun demkian, tampaknya, ada hal lain yang dilupakan oleh MUI ataupun
pemerintah, bahwa mereka melupakan karakter masyarakat kita. Bagaimanapun,
masyarakat kita terutama di desa masih memiliki sikap keagamaan yang cendrung
ekslusif. Artinya mereka memiliki rasa fanatisme terhadap tradisi keagamaan
mereka. Hal ini bisa disimpulkan dari berbagai pernyataan dari masyarakat: “mengapa
masjid ditutup sementara pasar tidak?”, “mengapa orang berdoa dilarang, padahal
kita akan berdoa untuk kebaikan kita semua kepada yang maha segalanya?” “mengapa
kita tidak boleh solat jumat padahal di desa kami tidak ada yang terpapar penyakit
tersebut?” serta berbagai pernyataan lain yang memiliki unsur ketidakterimaan
mereka atas fatwa libur jumat.
Bagi beberapa kalangan, himbauan untuk libur sholat jumat bisa langsung
dipahami dalam rangka memutus mata rantai penyebaran virus korona, tetapi bagi
masyarakat awan yang tak melek informasi, yang dalam paradigma nya hanya tertanam
bagaimana cara beribadah yang baik, akan melahirkan pergolakan identitas yang awalnya
bersifat pribadi dan secara perlahan muncul sebagai keresahan komunal. Ditambah
lagi, ada tokoh-tokoh agama di kalangan masyarakat tertentu yang juga memiliki
pandangan hukum yang berbeda karena melihat situasi yang berkembang di desa
mereka. Karena pertimbangan tersebut, beberapa desa tidak mengikuti fatwa MUI
ataupun himbuan pemerintah. Mereka tetap melakukan sholat jumat.
Sikap beberapa masyarakat yang tetap melakukan sholat jumat ternyata
dianggap menentang ulama’-ulama’ MUI dan dilakukanlah tindakan-tindakan
represif dari petugas pemerintah untuk membubarkan segala bentuk keramaian
termasuk sholat jumat (sebagaimana pernyataan bupati Lombok Timur). Saya sampai
sempat mendengar ada jamaah yang diamankan polisi karena bersikeras untuk tetap
melakukan sholat jumat.
Fenomena diatas menunjukkan betapa sesungguhnya masyarakat kita masih belum
paham secara utuh perihal fatwa libur jumat yang sudah menjadi kebijakan
pemerintah pusat dan daerah. Dan pemerintah disisi lain cendrung otoriter atas
produk hukum yang mereka anggap sudah
final. Padahal jika kita berbicara hukum, meminjam Khaled Aboe Fadhl, “produk
hukum adalah produk penapsiran, karenanya tidak ada produk hukum yang otoriter”.
Pemerintah dalam hal ini telah mengambil otoritas hukum sebagai otoritas
subjektif untuk menekan masyarakat yang berbeda pandangan. Ketika sikap
otoriter digunakan, maka konflik tak terelakkan. Saya sangat nyata melihat
banyak kalangan yang menanggapi fatwa libur jumat dengan emosional dan kemarahan.
Mereka berkeyakinan bahwa tidak sholat jumat adalah suatu kejelekan (dosa). Mereka
tidak terlalu memahami tentang keabsahan fatwa.
Oleh karena itu, saya melihat bahwa kedepan dalam setiap fatwa yang digulirkan,
harus disertai dengan pembahasan yang lebih detil tidak hanya secara Fiqh,
namun secara sosial, kesehatan, budaya, dan sebagainya harus disinggung dan
dijadikan bacaan publik. Hal ini untuk menekan beberapa anggapan yang keliru
tentang fatwa yang tengah dikeluarkan. Kita berharap pandemi korona segera
berlalu, dan masyarakat kita semakin lebih mengetahui perlihal agama dan
kehidupan mereka.
Masyallah luar biasa, ijin share
ReplyDeleteMantappp,
ReplyDelete