Darurat Pendidikan Parenting di Pulau Lombok
Salah satu pekerjaan rumah yang tidak pernah tuntas sejak bertahun-tahun yang lalu di Lombok secara umum adalah problem pernikahan dini. Keresahan berbagai pihak tentang pernikahan dini bukan didasari alasan usia pasangan pernikahan semata, tetapi efek yang ditimbulkan berupa persoalan sosial, ekonomi, budaya dan relasi gender. Selain itu, pernikahan dini juga akan berpengaruh terhadap kualitas ibu yang akan menjadi guru pertama anak-anaknya.
Dalam tulisan ini saya akan memaparkan bagaimana aspek pengasuhan anak menjadi
problem serius yang berkembang dewasa ini terutama di desa Lendang Nangka, Kabupaten Lombok Timur. Tulisan
ini adalah hasil observasi saya selama beberapa tahun terakhir di desa ini.
Sebelumnya beberapa tahun lalu, penulis pernah menjadi asisten peneliti
untuk mengkaji fenomena pernikahan dini di pulau Lombok yang salah satu
sampelnya diambil di desa Lendang Nangka. Dari pengalaman tersebut penulis
terus mengembangkannya sejak mulai menetap di desa ini.
Kita pasti meyakini kualitas ibu akan menentukan kualitas anak. Jika pernikahan
dini yang telah memaksa perempuan menjadi ibu (tanpa persiapan yang matang),
maka kualitas anak-anak yang akan dilahirkanpun dikhawatirkan tidak akan
maksimal.
Inilah kegelisahan saya, dan mungkin juga berbagai pihak yang peduli
tentang hal ini. Kehawatiran tersebut kemudian terbukti dari beberapa temuan
yang penulis saksikan. Dalam keluarga yang dikepalai oleh ayah dan ibu yang
minim pengetahuan, pengasuhan anak akan menjadi momok yang menakutkan, baik
bagi pasangan muda itu sendiri, maupun para pihak yang peduli terhadap
keberlangsungan kualitas generasi yang akan datang.
Dari pengamatan saya, ada beberapa hal problematis yang layak diungkapkan
sebagai renungan kita bersama. Pertama, adanya pewarisan karakter keras
kepada anak-anak baik secara verbal maupun tindakan. Hal ini bisa kita lihat
dari ibu-ibu muda yang cendrung menggunakan teriakan dan bentakan dalam merespon
tindakan anak yang dinilai diluar kehendak ibunya. Teriakan dan bentakan ini
kemudian secara tidak langsung akan ditiru oleh si anak.
Kasus ini bahaya bukan hanya sebatas peniruan verbal, tetapi jauh dari itu.
Ilmu pengetahuan telah mengajarkan kita bahwa bentakan terhadap anak akan
mengacaukan kualitas otak seorang anak. Bahkan dalam berbagai riset, ada jutaan
sel otak yang dibunuh oleh sebuah bentakan!
Kedua, ibu-ibu muda yang secara psikologis belum mapan seringkali terlihat tidak
siap dengan berbagai problema dalam rumah tangga. Misalnya, ketika ada masalah yang
dinilai cukup berat, segera akan melakukan demonstrasi kekecewaan yang dibeber
di medi sosial mereka. hal ini akan memicu terjadi percekcokan lebih jauh antar
sepasang suami istri itu. Pada gilirannnya, kenyataan ini akan membuka pintu untuk
orang ketiga mengambil peran antagonis guna semakin memperparah luka di tubuh
keluarga itu. Keluarga yang pecah pada gilirannya akan berdampak terhadap tidak
maksimalnya pengasuhan anak.
Ketiga, lemahnya pengetahuan ibu-ibu tentang efek smartphone terhadap kualitas
anak telah melahirkan sikap arogansi orang
tua dengan memberikan HP kepada anak meskipun sejatinya bukan saatnya. Karena alasan
tidak ada waktu, sering kali anak dijejali dengan HP sehingga hal tersebut
membuat anak mengalami ketergantungan terhadap benda yang beberapa ahli di
dunia medis internasional telah menggolongkannya sebagai kokain.
Kehawatiran kita atas penggunaan HP bagi anak-anak ini bukan pada hal
kecanduannya semata, tetapi pada efek samping yang ditimbulkan. Betapa sesungguhnya
radiasi yang dikeluarkan HP bagi anak-anak sangat membahayakan! Dan yang tidak
kalah penting kecanduan terhadap HP membuat anak-anak tidak lagi menyenangi
buku (belajar). Sesuatu yang seharusnya lebih penting bagi anak seusia mereka.
Selain itu, memang rendahnya pendidikan orang tua baik secara formal maupun
non-formal turut memberikan andil dalam membentuk kualitas pengasuhan anak.
Ada banyak poin lain yang sebenarnya menjadi catatan saya, tetapi empat poin
penting diatas diantara yang paling urgen menurut saya untuk dikaji dan
direfleksikan lebih jauh. Dari poin-poin itu, dapat disimpulkan bahwa desa Lendang
Nagka sedang mengalami “darurat pendidikan parenting”. Sebagai sebuah
tawaran langkah untuk menyikapi berbagai temuan problematis itu, saya
mengajukan beberapa saran untuk kita diskusikan bersama-sama.
Pertama, penting untuk mengevaluasi usia awal pernikahan. Hal ini karena
kematangan psikologis seringkali bergantung pada kematangan biologis. Oleh karena
itu, anak-anak kita seharusnya bisa diedukasi sejak dini bahwa pernikahan
adalah sesuatu yang harus dilakukan dengan persiapan, bukan asal-asalan. Pernikahan
bukan hanya persoalan seksual tetapi
lebih luas dari itu, ada tanggung jawab besar di dalamnya. Hal ini perlu
menjadi isu yang dikembangkan pemerintah desa. Dalam hal ini lembaga yang
bergerak dalam isu gender seperti Kaukus misalnya, perlu mendemonstrasikan hal
ini lebih jauh.
Kedua, pemerintah desa perlu mengadakan pelatihan parenting secara
berkala untuk meningkatkan kualitas ibu-ibu tersebut. Hal ini bisa dilakukan
dengan mengundang berbagai narasumber yang memiliki kepakaran dalam bidangnya. Juga
tidak ketinggalan, upaya mendemonstrasikan kehidupan keluarga yang sadar akan
pentingnya cara pengasuhan anak yang benar bisa dilakukan dengan bekerjasama
dengan tokoh agama dalam hal ini para tuan guru atau ustaz yang mumpuni dan
sudah dilegitimasi secara sosial. Hal tersebut sangat penting karena secara psikologis
masyarakat kita masih lebih condong untuk mengikuti petuah tuan guru dari pada
argumentasi seorang akademisi, yang bahkan mungkin sudah sekelas guru besar.
Kita butuh materi-materi pengajian yang lebih kontekstual, termasuk dengan
mengakat isu parenting ini. Oleh karena itu, terkait dengan hal ini pemerintah
desa bisa melakukan sinergi dengan para tuan guru atau ustaz untuk menanamkan materi
ini pada setiap ceramah mereka.
Ketiga, ibu-ibu juga pasangannya, harus memiliki
kesadaran untuk mendalami ilmu pengetahuan seputar bagaimana pengasuhan anak. Dalam
agama sudah sangat banyak ayat ataupun hadits yang berbicara tentang parenting,
dalam buku-buku bacaan lalin, juga tidak kalah banyak. Tinggal bagaimana kesadaran
diri untuk membuka konsep-konsep itu. Mungkin dalam hal ini, pemerintah desa
bisa kembali mengambil peran dengan menyediakan bacaan-bacaan seputar pendidikan
pengasuhan anak dengan menghidupkan kembali perpustakaan desa. Dana desa
sepertinya sangat tepat untuk dialokasikan ke dalam poin ini.
Post a Comment for "Darurat Pendidikan Parenting di Pulau Lombok"