VIRALISME, UPAYA MEMASUNG NALAR DAN PENGETAHUAN KITA
Salah satu cara beberapa kalangan menjual berita adalah dengan melahirkan
fenomena viralitas di media massa. Entah mengapa suatu yang viral
(diviralkan) selalu menjadi buruan berbagai kalangan, mulai dari jurnalisme yang
berorientasi materi, hingga para pengkonsumsi informasi yang sangat gampang
dijual dan diarahkan atensinya. Mungkin saja peran berbagai media massa yang
menyiapkan mekanisme hastag atau tagar menjadi salah satu yang
menopang hal tersebut, tapi daya nalar dan hasrat intelektual kita secara
mendasar juga mengambil andil di dalamnya.
Saya menilai viralitas telah menjelma viralisme, yaitu suatu aliran yang
melihat segala informasi viral sebagai hal yang sangat penting bagi mereka.
Banyak kalangan yang bisa digolongkan dalam aliran ini, dari kalangan pembaca
maupun produsen berita.
Viralisme mungkin sekilas tidak berbahaya, karena hal itu hanyalah sikap
bermedia yang gampang terpancing dengan sebuah fenomena baru. Tapi di hadapan
nalar dan pengetahuan, viralisme adalah racun yang perlahan mematikan keduanya.
Mengapa begitu? Era cyber, sebagaimana sudah disepakati oleh banyak pemikir,
merupakan era membelundaknya informasi, atau dengan bahasa yang lebih
mengerikan ‘tsunami informasi’.
Logikanya, membeludaknya informasi, seharusnya membuat kita lebih menangkap
banyak informasi. Dengan tangkapan informasi yang banyak itu, seyogyanya kita
mampu memberikan hasil pemikirian yang juga lebih kaya (jika mengacu pada
aliran filasafat empirisme).
Kenyataan tersebut justru berbanding terbalik dengan adanya viralisme.
Sikap tersebut telah membuat potensi tangkapan informasi kita menjadi
tersaring. Kita diarahkan hanya untuk membaca suatu yang viral, padahal ada
jutaan informasi lain yang mungkin lebih penting untuk kita tahu dan pahami.
Dampak dari tersaringnya pengetahuan melalui gelombang viralisme itu setidaknya
ada dua hal yang sangat mendasar.
Pertama, viralisme telah memasung nalar dan pengetahuan kita secara
kuantitas. Maksudnya, daya serap informasi yang seharusnya bisa lebih maksimal,
dimatikan oleh sikap tersebut, akhirnya kita hanya bisa mengingat segelintir
isu dan melupakan isu lain (yang mungkin lebih penting untuk diketahui). Misalnya
saja, jika kita ingat-ingat, di Indonesia, isu yang paling mencolok bisa
dihitung jari, kalau tidak masalah politik ya masalah agama. Hanya dua hal itu
yang menjadi dua lingkaran isu di negeri ini.
Pada tahun-tahun politik, kita dihadirkan dengan berbagai isu, semuanya
bermuara pada kepentingan politik. Setelah tahun politik selesai, kita kembali
dijejelkan dengan isu agama, tentang khilafah, pancasila, non-muslim, dan
berbagai hal lain yang seharusnya sudah selesai bertahun-tahun yang lalu. Padahal
ada banyak isu lain yang tak kalah menarik dan penting dari masalah politik dan
agama itu: lingkungan, teknologi, budaya, dan lain sebagainya.
Bisa dikatakan viralisme membuat nalar dan pengetahuan kita jalan di
tempat. Kita dipaksa untuk tetap menguras tenaga dan pemikrian dalam lingkaran isu
yang telah menjadi desainan sekelompok orang atau lembaga tertentu.
Kedua, viralisme menciderai nalar dan pengetahuan kita
secara kualitas, yakni tentang informasi yang bermanfaat atau tidak bagi kita.
Dalam pabrik viralisme, semua yang diviralkan seolah harus dikonsumsi oleh
publik (penting ataupun tidak bagi pembaca). Adanya fenomena tranding di
Youtube ataupun Twitter menjadi salah satu penandanya. Dengan demikian, sistem
teknologi telah menjadi salah satu faktor penting yang melahirkan viralisme.
Orang pada gilirannya mengejar viralitas itu baik dengan motif ekonomi,
psikologi, politik, agama dan lainnya. Dalam hal ini viralisme secara diam-diam
merekrut warganet sebagai pengikutnya, bisa jadi anda termasuk di dalamnya,
atau pun juga saya.
Luarbiasa, alhamdulillah dapat pengetahuan.
ReplyDeleteMasih banyak info penting lainnya yg harus di ketahui juga