JURNALISME SELANGKANGAN, NASIB ETIKA MEDIA DI ERA MILENIAL
Aktivitas jurnalisme dari waktu ke waktu menunjukkan grafik yang terus
meninggi. Kemajuan teknologi dan informasi turut mengambil andil dalam
mendorong laju jurnalisme. Berbagai motif atau kepentingan dibalik jurnalisme
media bisa terlihat dari kontennya. Salah satu aktivitas jurnalistik yang
menjamur di media massa adalah situs-situs media daring. Berbagai informasi
dapat kita akses melalui portal-portal tersebut. Namun sayangnya, ada hal lain
yang memprihatinkan dari aktivitas jurnalisme di media massa belakangan ini,
yaitu kecendrungan lahirnya jurnalisme selangkangan.
Jurnalisme selangkangan direferensikan kepada fenomena berberapa jurnalis
yang hobi mengangkat berita seputar hal-hal yang berbau selangkangan:
pemerkosaan, isu trans gender, perbuatan asusila di sekolah, PNS mesum,
pasangan muda mudi mesum, dan berbagai hal lain yang tak jauh dari
selangkangan. Bukan materi berita yang menjadi alasan penolakan saya, sudut
pandang penyajian beritalah yang membuat saya miris melihatnya. Misalnya, dalam
menyajikan berita pemerkosaan, sudut pandang berita hanya fokus pada kejadian:
berapa kali dilakukan, bagaimana kronologi, dan apa yang dirasakan. Sudut
pandang lain yang sejatinya perlu dihadirkan justru tidak terlihat, seperti:
konstruksi gender, kesadaran hukum, hak asasi manusia dan lainnya.
Beberapa berita yang mengarah ke hal-hal berbau selangkangan misalnya: Dua
Pelajar Kepergok Mesum di Kantor Wali Kota (Tribun News), Pelajar SMA Kepergok
Mesum di Toilet Sekolah, Video Mesum PNS dengan Guru Honorer (Liputan 6),
serta berbagai judul serupa. Awalnya saya pikir bahwa judul tersebut untuk
menarik minat pembaca, namun setelah saya membaca berita tersebut, saya
bergumam, “berita sampah.” Bagaimana mungkin portal-portal berita yang sudah
terkenal juga tak mau ketinggalan mengangkat isu selangkangan?
Saya kemudian menelusuri apa yang menjadi faktor lahirnya lokomotif baru
dalam jurnalisme di negeri ini. Saya berkesimpulan bahwa faktor paling dominan
adalah motif ekonomi. Para penyaji berita sangat ingin beritanya dibaca, selain
untuk menyebar informasi, juga untuk menambah pundi rupiah dari klik berita
dengan slot iklan tertentu (ini mungkin yang lebih dominan). Adanya sistem
teknologi yang terintegrasi dengan dunia periklanan, dalam konteks yang berbeda
menyentuh persoalan di luar ranah berita (informasi) yakni materi (finansial).
Kenyataan tersebut telah memaksa para penyaji berita untuk fokus pada
kemenarikan berita, bukan pada kualitasnya.
Satu sisi, perhatian saya tertuju pada jurnalis media, mereka telah meninggalkan
kode etik serta asas jurnalisme yang telah disepakati oleh para jurnalis
generasi terdahulu. Dalam kode etik jurnalistik, berita-berita cabul diberikan
lampu merah untuk ditulis oleh wartawan. (konsep berita cabul tentu saja bukan
dalam hal materi berita, tetapi penyajian). Kemudian, dalam asas jurnalisme,
salah satu asas penting yang perlu dipegang oleh jurnalis adalah asas
moralitas. Dalam asas tersebut pantang bagi wartawan untuk menghadirkan berita
yang cendrung hanya untuk menghakimi secara subjektif dan senang-senangan
semata. Berita harus memiliki muatan edukasi dan perbaikan.
Disisi lain, saya melihat para pembaca berita. Takkan ada api kalau tidak
ada kayu bakar. Jurnalisme selangkangan tentu tidak akan ada kalau tidak ada
pembaca selangkangan. Para pembaca selangkangan inilah yang secara tidak
langsung mendorong para jurnalis selangkangan untuk terus memproduksi berita
selangkangan. Memang tidak bisa
dipungkiri masyarakat kita di negeri ini masih sangat rakus dalam mengkonsumsi
hal-hal berbau selangkangan. Hal ini terlihat dari grafik pengunjung situs
porno di Indonesia terus meningkat. Kecendrungan pornografis inilah yang
mungkin terus mendorong pertumbuhan berita-berita syur dan cabul.
Dalam konteks ini jurnalisme selangkangan telah jauh meninggalkan kode etik
jurnalistik, “bahwa seorang wartawan tidak boleh menyajikan berita yang cabul
dan bernuansa pornografi”. Banyaknya pembaca selangkangan ini bisa diperdiksi
dari berbagai fenomena yang viral di media sosial. Salah satu isu yang sering
viral adalah isu-isu selangkangan. Viralitas lagi-lagi mengambil peran dalam
mengokohkan gerbong murahan jurnalisme ini.
Lantas, bagaimana nasib etika jurnalisme di era milenial ini? Saya melihat bahwa etika jurnalisme sudah
menjelma monumen sejarah. Keberadaannya hanya sebuah data sejarah yang tak
memiliki nyawa di era bermedia saat ini. Moralitas atau etika sepertinya tidak
terlalu penting dalam suatu berita. Di era milenial, berita lebih cendrung
dinilai dari viralitas dan kehebohannya, bukan pada nilai dan manfaatnya. Hal
ini deperparah dengan begitu bebasnya dunia internet. Setiap orang bisa menjadi
jurnalis. Semua bisa menjadi sumber berita. Oleh sebab itu sangat sulit untuk
mengukur etika jurnalisme di arus deras informasi dewasa ini. Para jurnalis
hanya berlomba-lomba dalam menyajikan berita viral bukan berita yang memiliki
nilai edukasi dan bermoral.
Kendati jurnalisme kita dewasa ini berada dalam kubangan isu selangkangan
yang murahan itu, tetapi kabar baiknya, masih ada beberapa media daring yang
tetap mengusung idealisme, konsisten menjaga kode etik jurnalis. Mereka adalah
para jurnalis independen dengan media independen yang menuliskan berita untuk
mengedukasi masyarakat bukan hanya untuk menghibur dan membicarakan hal yang
tidak penting. Pada mereka kita titipkan moralitas sebagai nilai penting untuk
dihadirkan dalam setiap berita yang dituliskan.
Kita berharap media-media yang masih memegang kewarasan mampu untuk tetap
tumbuh dan berkembang. Tentunya dengan hadirnya pembaca-pembaca yang lebih
cerdas memilih berita, bukan pembaca selangkangan dengan otak murahan!
slot gopay, agen slot gopay, situs slot gopay, bandar slot gopay, slot deposit gopay
ReplyDelete