Negosiasi Post-Paradigm
Belakangan marak diperbincangkan tentang Banser NU yang dianggap kehilangan
toleransinya karena sempat mengusir acara pengajian salah seorang tokoh dari
kelompok Islam. Kejadian itu sontak memunculkan isu bahwa di Indonesia ini
telah terjadi standar ganda dalam menyatakan apa yang disebut toleransi. Jalan
panjang keberagamaan yang telah diusung bangasa ini seolah nampak lelah dan
perlahan menuju episode paling mengerikan dari perjalanannya. toleransi menjadi
semakin rumit untuk dijelaskan.
Toleransi menjadi kebutuhan yang sangat mendasar dalam sebuah masyarakat
yang beragam. Terlebih dalam konteks berbicara manusia secara global. Di dunia
tentulah diwarnai dengan berbagai keyakinan, identitas serta pola pikir, yang
mana hal tersebut memiliki kecendrungan memicu api konflik.
Masalah kemudian muncul ketika
toleransi harus memiliki referensi sebagaimana yang dikonsepsikan oleh sebagian
orang. Jika demikian, maka toleransi pasti akan mengalami kehilangan ruhnya.
Seperti halnya kita berbicara tentang orang-orang fundamental. Beberapa kelompok sering kali mengatakan
bahwa kelompok tertentu merupakan kelompok fundamental sehingga sering kali
mengambil jalan keras dalam menyelesaikan masalah. Sementara itu mereka melihat
bahwa aliran mereka yang kemudian mereka sebut sebagai moderatisme sebagai
satu-satunya jalan yang ideal adalah cara hidup yang paling baik.
Sejatinya apapun, ketika terjadi klaim kebenaran secara sepihak, maka akan
menghilangkan esensi kebenaran yang ditawarkan. Kelompok-kelompok yang mengaku
diri moderat, disaat yang sama bisa jadi merupakan kelompok garis keras ketika sikap moderatnya
telah menjadi isme yang memicu pemberangusan terhadap kelompok lain yang
dianggap bertentangan. Oleh karena itu penting untuk dilakukan auto-kritik
dalam hal ini.
Sebagai bentuk auto-kritik itu saya ingin membuka paradigma kita tentang
apa yang kita sebut ‘berparadigma’. Setiap kelompok tentunya memilki paradigma,
yaitu model berpikir, atau kaca mata berpikir dalam melihat sesuatu. Jika kaum
fundamental dideskripsikan sebagai kaum yang memiliki paradigma garis keras,
maka kaum moderat dideskripsikan sebagai kaum yang memilki pola pikir ‘jalan
tengah’. Sampai disini apakah pemaknaan paradigma ini sudah final? Menurut saya
jika secara teoritis, kita bisa saja mengkonsepsikan demikian, tapi jika
berbicara praktisnya maka sering kali kaum fundamental dan moderat menjadi
tumpang tindih dalam aplikasinya.
Sering saya menemukan aktivis NU (yang katanya moderat) lepas kendali jika
sudah berbicara ideologinya. Karena fanatismenya, terkadang mereka menjadi
seperti kelompok fundamental, melakukan anarkisme, kampanye kekerasan verbal di
media dan berbagai contoh lain yang menunjukkan paradoksitas orang-orang yang
mengaku moderat. Hal semacam ini seringkali saya sebut sebagai auto-fundamentalisme.
Yaitu sikap yang tanpa sadar telah membuat kelompok moderat besikap fundamen.
Paradigma dengan demikian, tidak pernah bersifat final. Keberadaannya
sangat dipengaruhi oleh situasi dan keadaan. Itulah kemudian mengapa Thomas Kun
mengkonsepsikan adanya fenomena ‘pergeseran paradigma’. Paradigma yang sudah
tidak relevan akan hilang dimangsa waktu. Saat itu terjadi, paradigma baru akan
lahir mengisi ruang kosong yang ditinggalkan paradigma sebelumnya. Dengan
demikian paradigma itu seharusnya bersifat elastis. Mampu bergerak kemana saja,
diamna saja, dan dalam waktu yang bagaimanapun, sehingga fungsi berparadigma
bisa lebih efektif dan nampak.
Untuk bisa memahami sekian banyak paradigma yang berkembang dalam diri
manusia, penting untuk mempelajari berbagai paradigma yang mereka kembangkan.
Hal ini penting agar kita tidak terjebak dalam pemaknaan kita terhadap
paradigma secara subjektif. Terkait hal itu, saya rasa kita harus menggunakan
nalar post-paradigma agar mampu memainkan peran sebagai orang-orang yang
mengaku berada di jalan tengah. Funadamentalisme bisa jadi adalah sikap moderat
yang dibakar, dan sebaliknya moderatisme
bisa jadi merupakan fundamentalisme yang dibekukan. Maka dari itu, jika
moderatisme adalah paham untuk menjadikan paradigma, identitas dan keyakinan
diinjak-injak, maka fundamentalisme bisa jadi adalah perlawanan. Kenyataan
semacam ini saya sebut sebagai “negosiasi post-paradigm”
Konsep tentang post-paradigma ini bercermin dari konsep negosiasi
post-theistik yang dikembangkan oleh para pemikir pasca-comtian. Sebagaimana
maklum diketahui, bahwa Comte menegaskan bahwa model bepikir manusia terskema
dalam tiga hal: yaitu mitos, teologi dan positvisme (filsafat). Bagi Comte,
kemajuan peradaban manusia hanya akan terjadi ketika pola pikir manusia telah
sampai pada ranah positivisme. Namun demikian sejarah telah mencatat, bahkan
dengan kemajuan peradaban yang dicapai manusia hingga saat ini masih banyak
yang terjebak dalam pola pikir mitos dan teologis. Hal ini mengisyaratkan bahwa
bahkan dalam tataran ideologi yang paling mendasar sekalipun, negosiasi masih
terus berlangsung dalam diri seseorang.
Contoh kongkrit untuk hal ini bisa kita lihat pada salah seorang tokoh
intelektual bangsa ini yang tergabung
dalam ICMI (Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia) dengan begitu yakin dan
mati-matian membela seorang tokoh kontroversial bernama Taat Pribadi yang konon
dikatakan mampu menggandakan uang. Dalam kasus ini terjadi negosiasi
post-theistik oleh tokoh tersebut. Di satu sisi dia telah sampai pada pola
pikir filsafat, tetapi disisi lain dia masih terperangkap dalam pola pikir
mitos (penggandaan uang).
Gambaran tentang negosiasi post-theistik ini sejatinya terjadi juga dalam
hal berparadigma. Sehingga pertanyaan yang diajukan ketika seseorang mengaku
memiliki paradigma adalah “apa setelah berparadigma?” karena berparadigma bukan
tentang mengklaim diri menjadi orang paling baik dan suci, tetapi adalah cara
agar semua manusia menjadi manusia seutuhnya.
Post a Comment for "Negosiasi Post-Paradigm"