Media, Etika (Bahasa) dan Kebebasan Berpendapat
Belakangan waktu ini tengah trend diperbincangkan tentang Yulian
Paonganan (Ongen)yang ditangkap polisi karena diduga melakukan tindak kriminal
yaitu pornografi. Dia diduga bersalah karena berkicau di Twitter. Dengan
menggunakan hastag dia menulis: “papadoyanlonte” dan “mamamintapaha.”
Pernyataan itu membuat orang tersebut berurusan dengan polisi karena dianggap
melanggar pornografi. Namun demikian tindakan polisi menangkap Ongen dinilai
oleh beberapa pihak salah alamat, karena sejatinya Ongen tidak pernah melakukan
tindakan pornografi. Salah seorang guru besar linguistik kemudian membela:“pernyataan
Ongen di Twitteritu bukanlah porgnografi.”
Saya melihat bahwa perbedaan antara pihak yang membela Ongen dan
yang memperkarakannya ada pada makna kalimat dan gambar. Perbedaan makna
kicauan tersebut terjadi karena adanya dikotomi semiotik pada
interpretasinya. Yakni dengan menginterpretasikan gambar sendiri dan kalimat
berhastag itu sendiri. Seharusnya kicauan Ongen harus dilihat sebagai
lambang yang utuh.
Bayangkan jika foto siapa saja dipajang dan dituliskan di bawahnya
atau pada salah satu sisinya suatu pernyataan, maka tentu saja akan dipahami
bahwa kalimat tersebut menjelaskan gambar yang ada. Hal ini sudah umum dalam Ilmu
Grafitymaupun Semiotika Kartun(Dewa, 2010). Kaitannya dengan kasus
Ongen jelas bahwa dia mengupload gambar dan membuat hastag
papadoyanlonte. Secara semiotik kata tersebut tentu saja akan mengarah ke
gambar, tidak mungkin ke yang lainnya.
Selain secara Semiotik, Jika menelesik konsep dalam Linguistik,
secara umum setiap kata ataupun kalimat memiliki dua unsur yang tidak bisa
dipisahkan yaitu penanda dan petanda
(Saussure, 1986) penanda adalah substansi tuturan (makna immateri) dan petanda
adalah bentuk konkrit tuturan (makna materi). Kedua hal tersebut menjadi bagian
penting dalam menentukan suatu makna. Berdasarkan konsep ini apa yang ditulis
Ongen dalam kicauannya merupakan kalimat yang memiliki referen jelas
yakni menunjuk kepada gambar yang disertakan dalam kicauan itu. Dengan demikian
kasus Ongen jikalah tidak bisa dilanjutkan karena ketidaksesuaian pasal maka
boleh saja dihentikan, tapi proses sosial berupa pelanggaran etik saya rasa
harus tetap berlangsung.
Artinya, persoalan Ongen ini sejatinya harus dilihat secara
komprehensif termasuk memberikan ruang sosial berupa pandangan etika.
Bagaimanapun media menjadi begitu canggih untuk bereksistensi dan bahasa yang
bisa digunakan dengan bagaimanapun untuk berekspresi, tetapi kita tetaplah
manusia yang menjunjung nilai-nilai kemanusiaan dalam berorientasi.
Memang tidak bisa dipungkiri, kasus “pelanggaran” di media sudah
sering terjadi, masih segar dalam ingatanseorang mahasiswi yang menjadi bulan-bulanan
media sosial karena disebut menghina warga Yogyakarta melalui akun Path-nya,
demikian pula dengan sebuah majalah yang diduga melecehkan Jokowi serta
berbagai kasus serupa lainnya. Kenyataan ini membuat kita berpersepsi bahwa
media telah mencetak manusia menjadi hipokrit. Dengan kata lain seseorang yang
berdiri di belakang akun medianya seolah merasa bebas untuk mengutarakan
apapun yang ada dalam pikirannya, termasuk kekesalannya, sehingga sering kali
diwarnai dengan pernyataan maupun gambar yang negatif. Suatu tindakan kritik
yang dibangun dari sakit hati sangat rawan terhadap pelecehan ataupun
pencideraan nama baik orang yang dikritik.
Saya tidak tahu lebih jauh tentang orang-orang yang berada di balik
akun-akun hatters, tapi beberapa di antara mereka banyak yang memiliki background
intelektual yang bagus. Seharusnya intelektualitas digandengkan dengan etika untuk
membuat hidup lebih berkualitas. Menjadi kritikus sosial bukan berarti bebas
untuk mengeluarkan kata-kata yang bisa melukai hati orang lain.
Dalam membatasi kebebasan berpendapat di media dewasa ini, tidaklah
mungkin membatasinya hanya melalui konstitusi, mengingat eksistensi manusia di
dunia maya lebih luas dan dengan jangkauan yang tidak terbatas. Undang-Undang tetang
kejahatan media sejauh ini tidak bisa maksimal karena hukum pun sangat
dipengaruhi oleh orang-orang yang berkepentingan di dalamnya. Mereka bisa
menjadi penginterpretasi Undang-Undang yang handal sehingga segalanya bisa saja
dilakukan, merubah yang bersalah menjadi benar dan yang benar menjadi
sebaliknya. Dengan demikian dibutuhkan peran etika di samping Undang-Undang untuk
menegakkan hukum.
Menjadikan etika sebagai pembatas dalam kebebesan berpendapat
masyarakat sekarang ini merupakan jalan yang tepat, mengingat sifat etika yang
berada di dalam hati sebagai penggerak naluri untuk melakukan hal yang tidak
bertentangan dengan moralitas. Sebagaimana Immanuel Kant, etika sejatinya telah
ada pada setiap diri manusia. Dengannya mereka bisa melakukan perbuatan yang
baik dan menghindari perbuatan yang buruk.
Dari pada melihat kasus ini sebagai kasus hukum yang beberapa orang
menilai memiliki muatan politis, lebih bijak jika melihat ini sebagai
pencideraan etik untuk kita bisa bercermin darinya. Negara kita butuh kritik
yang membangun dan dengan cara yang juga sesuai karakter bangsa ini. Apapun
bentuk kebebesan berpendapat, seharusnya etika jangan pernah dihilangkan.
Semoga para pihak yang bertikai tentang Ongen memiliki jalan keluar yang bijak
untuk melihat kasus ini di samping sebagai persoalan hukum juga sebagai cermin
sosial.
Post a Comment for "Media, Etika (Bahasa) dan Kebebasan Berpendapat"