Puasa Untuk Membangun Mentalitas Kebercukupan
Secara bahasa puasa berasal dari kata Arab yaitu shaum yang berarti
menahan. Dalam hal ini bisa dimaknakan menahan sebagai menahan diri dari lapar
dan haus, menahan diri dari berbuat buruk, menahan diri dari keinginan
menggauli istri pada siang hari. secara umum puasa adalah menahan diri untuk
tidak berlebih-lebihan pada sesuatu. Misalnya dalam hal makan yang biasanya
kita makan tiga kali sehari, dalam puasa kita hanya makan dua kali yakni pada
berbuka dan sahur. Namun demikian, berbeda dengan yang kita saksikan
akhir-akhir ini, fenomena melonjaknya harga bahan pokok selalu menjadi fenomena
umum menjelang bulan puasa.
Orang-orang berebut membeli bahan pokok untuk kepentingan bulan
ramadhan. Anehnya, menu-menu yang dihidangkan pada bulan ramadhan entah mengapa
selalu adalah menu-menu yang spesial. Menu-menu yang pada hari biasa jarang
ditemukan pada keluarga-keluarga menengah bawah. Mereka seolah memiliki
kewajiban untuk menghadirkan masakan yang enak dalam menjalani bulan puasa.
Keadaan pasar yang demikian pada gilirannya menjadi masalah
ekonomi, politik dan sosial. Secara ekonomi hal tersebut mendorong terjadinya
kenaikan berbagai kebutuhan bahan pokok. Kemudian dari sisi politik menuntut
untuk diberlakukan peraturan pemerintah yang mengatur pasar dan membuka kran
impor. Adapun secara sosial euforia menyambut ramadhan dengan gaya hidup yang
berkelas menyisakan persoalan sosial berupa semakin tercuatnya jarak antara
yang mampu dan tidak mampu dalam konteks konsumerisme ramadhan.
Telah terjadi semacam reduksi makna ramadhan, dari yang seharusnya
bersifat spiritual menjadi ritual yang sangat materialistis konsumeristis.
Makna ramadhan yang pada dasarnya berarti “menahan” menjadi sebaliknya, yaitu
memuaskan keinginan diri, mewujudkan kebutuhan nonprimer seperti pemaksaan
kehendak, berbelanja lebih dari budget biasanya, hingga rela berhutang
untuk mewujudkan ramadhan yang “berkelas”.
Ramadhan dengan demikian tidak lagi membuat pelakunya menjadi lebih
produktif tetapi justru menjadi lebih konsumtif. Para pelaku puasa dalam
menyambut ramadhan bukan justru disibukkan dengan mempersiapkan fisik atau
spiritualitas diri tetapi justru mengumpulkan bahan-bahan pokok untuk
kepentingan perut semata.
Ada dua kemungkinan, mengapa masyarakat akhir-akhir ini seolah
begitu bersemangat untuk mempersiapkan bahan pokok yang lebih berkelas di
setiap memasuki bulan ramadhan. Pertama adalah karena eksvansi pasar.
Yaitu komodifikasi bulan ramadhan dalam berbagai iklan di media massa yang
seolah menggambarkan bahwa tradisi berpuasa harus menghadirkan produknya guna
kesempurnaan ibadah puasa. Dalam kacamata hermeneutik, citra yang dibuat media
ini sangat memungkinkan menjadi dasar dari bangunan paradigma masyarakat
tentang hakikat puasa itu.
Kedua, masyarakat
memiliki paradigma balas dendam saat menjalani berbuka puasa. Artinya pelaku
puasa menjadikan momen berbuka adalah ajang untuk melampiaskan keroncongnya
perut dan dahaganya tenggorokan. Akhirnya terjadilah sikap ingin memuaskan diri
dengan menghadirkan menu-menu yang tidak biasanya (lebih mahal). Kenyataan ini
juga semakin mengakar ketika sudah menjadi rutinitas kolektif masyarakat. Dengan
kata lain paradigma tersebut mendeterminasi sikap masyarakat yang lain (yang
sebelumnya mungkin belum terkontaminasi) untuk mengikuti gaya tersebut.
Jika kita melihat kembali kepada makna puasa yang sesungguhnya,
maka dua hal yang disebutkan di muka sangatlah jauh dari esensi ramadhan yang
sesunggunya. Ramdhan pada dasarnya hadir untuk membangun mentalitas yang tidak berlebihan
dan menumbuhkan spiritualitas diri dengan pengkajian nilai-nilai keagamaan di
dalamnya. Apa yang disebutkan Rasulullah dalam haditsnya tentang kewajiban
untuk berbahagia setiap memasuki bulan ramadhan bukanlah bereuforia dalam
hal-hal yang bersifat materi, tetapi justru mempersiapkan mentalitas dan
ketentraman batin untuk menghadapinya.
Ramadhan bukanlah momen untuk meliarkan keinginan bergerak bebas
dan memuaskannya pada momen berbuka puasa. Bukan lahan iklan yang dipaksa
direduksi maknanya untuk kepentingan pasar. Ramdhan memiliki makna yang justru
berkebalikan dengannya. Dia adalah momen untuk membangun spiritualitas diri,
membangun kepekaan sosial, mewujudkan tatanan yang lebih baik melalui
pengendalian diri serta ajang untuk membangun mentalitas yang berkecukupan.
terima kasih gan atas infony...
ReplyDeletevimax asli
viagra
viagra asli
klg
obat kuat
vimax