HAM Versus HAM
Beberapa
hari yang lalu, pemerintah Indonesia secara resmi telah mengesahkan hukuman
kebiri untuk pelaku kejahatan seksual pada anak. Keputusan tersebut sontak
mengundang pro dan kontra dari berbagai kalangan. Paradoksnya, baik yang pro
maupun yang kontra sama-sama mengatasnamakan hak asasi manusia. Kenyataan ini
membuat kita bertanya, apa sesungguhnya Hak Asasi Manusia (HAM) itu? disini
telah terjadi diversitas pemaknaan HAM yang membuat tatanan sosial menjadi
rancu.
Sebelumnya,
kelompok yang mendukung disahkannya Undang-Undang berupa hukuman kebiri untuk
pelaku kejahatan seksual berpandangan pentingnya hukuman berat bagi pelaku pelanggaran
hak asasi kemanusiaan. Dalam hal ini ada banyak kasus yang bisa disebutkan,
misalnya kasus Yuyun yang diperkosa dan dibunuh oleh beberapa anak muda. Kemudian
seorang perempuan belia yang diperkosa oleh delapan pemuda di kota Surabaya,
serta berbagai kasus serupa yang membuat miris hati.
Berbagai
kasus kekerasan seksual membuat pemerintah didesak untuk merevisi undang-undang
perlindungan anak dan meningkatkan hukuman bagi pelaku kejahatan seksual. Hal
ini direspon pemerintah dengan diterbitkannya Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang (Perpu) yang berisi salah satunya tentang hukuman kebiri bagi
pelaku kejahatan seksual anak. Namun disisi lain beberapa kelompok yang juga
mengatasnamakan hak asasi manusia menolak disahkannya peraturan tersebut. Mereka
mengemukakan rasionalisasi bahwa kebiri bukanlah solusi.
Itu bahkan melanggar hak asasi manusia berupa penghilangan hasrat seksual.
Menanggapi
wacana ini, penting untuk kita menelusuri kembali beberapa konsep tentang hak
asasi manusia. Dalam Undang-Undang Negara Kesatuan Republik Indonesia pasal
tentang Hak Asasi Manusia (pasal 28 A)berbunyi: setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan
kehidupannya. Pasal selanjutnya menerangkan tentang jenis kebebasan yang
dimiliki masing-masing orang yang berkaitan dengan hak asasi mereka berupa:
pernikahan, beragama, hak di hadapan hukum dan sebagainya.
Keberadaan
pasal-pasal tentang HAM dalam Undang-Undang negara kita sepertinya belum mampu
mengalternasi model HAM yang bisa disepakati oleh masyarakat umum. Adanya pro
dan kontra penetapan hukum kebiri yang berakar dari pemaknaan yang beragam
tentang HAM menjadi salah satu indikatornya.
Untuk
mendapatkan gambaran yang lebih komprehensif, mari kita lihat pandangan beberapa
filsuf moral tentang HAM. Dalam bukunya, The Rules of Moral Fhilosofi,
James memetakan pola tindakan manusia. Dari pemetaan tersebut bisa dimunculkan
pemaknaan hak asasi manusia. Immanuel Kant, menilai hak asasi sebagai qodrat
yang sudah ada dalam diri seseorang. HAM dalam terminologi ini bersifat
teologis. Dari pendapat tersebut HAM sepertinya hanyalah masalah individu yang
tidak terikat dengan orang lain maupun lingkungannya.
Berseberangan
dengan pandangan tersebut, kaum Utilitarianismenilai bahwa hak asasi
manusia itu tidak ada, yang ada hanya hak orang lain. Aliran filsafat ini
menilai bahwa eksistensi kehidupan seseorang di dunia ini hanyalah dalam rangka
memberikan manfaat kepada orang lain, tidak peduli dengan dirinya sendiri. Lawan
dari kelompok ini adalah Egoisme Psikologisyang mengatakan bahwa
kehidupan di dunia ini hanya tentang memuaskan kebutuhan diri sendiri dan tidak
peduli dengan orang lain.
Kedua
padangan terakhir juga sepertinya tidak cocok untuk memaknakan HAM dalam
konteks saat ini. Untuk itu mari kita lihat bagaimana pandangan kelompok
intelektual yang mencetuskan konsepKontrak Sosial(social contrac) dalam memandang moralitas. Bagi kelompok ini setiap
orang hidup dalam aturan yang tak tertulis yang ada dalam setiap komunitas
mereka. Seorang warga Indonesia misalnya, secara langsung ketika dia mengatakan
diri berkewarganegaraan Indonesia, tunduk pada setiap aturan yang ada di
dalamnya.
Pengertian
terakhir ini cukup mengalternasi model hak asasi manusia yang mungkin bisa
dikhendaki bersama. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa hak asasi manusia
sejatinya adalah milik setiap orang yang bergantung pada aturan dan kesepakan
sosial yang berlaku dalam komunitas orang tersebut. Beranjak dari konsep ini,
kita bisa menentukan sikapdari pro dan kontra terkait pengesahan hukuman kebiri.Oleh
karena itu, untuk menentukan sikap hendaknya menelusuri alasan di balik
kejahatan yang dilakukan oleh penerima hukuman tersebut.
Menurut
saya paradigma kontrak sosial cukup menjadi landasan kuat untuk memberlakukan
hukuman kebiri bagi para pelaku kejahatan seksual dengan alasan yang bahkan
cukup kompleks dan kuat, yaitu: mereka secara sosial telah melanggar kontrak
yakni kontrak bernegara yang menjunjung tinggi moralitas kemanusiaan.
Pelanggaran ini juga termasuk dalam pelanggaran konstitusional dimana pasal 28J
menyatakan bahwa setiap orang wajib
menghormati hak asasi manusia orang lain dalam tertib kehidupan bermasyarakat,
berbangsa dan bernegara.Disamping pelanggaran tersebut, kejahatan yang
paling tidak bisa dimaafkan dari pelaku kejahatan seksual adalah pembunuhan
mental yang secara tidak langsung dilakukannya secara bersamaan terhadap korban
kejahatan seksual.
Yang
paling penting dalam pemaknaan kita tentang HAM adalah tidak memandang secara
parsial pada individu tapi dalam kacamata individu sebagai anggota masyarakat
sosial. Dalam kacamata sosial, individu di samping memiliki hak juga memiliki
kewajiban-kewajiban yang harus ditunaikan terhadap sesamanya.
terima kasih gan atas infony...
ReplyDeletevimax asli
viagra
viagra asli
klg
obat kuat
vimax