Dinamitas Problematika Manusia ; Bercermin dari Kasus Florence
“Internet telah menjadi suatu komunitas sosial yang baru, hal
tersebut membuat kajian tentang antropologi semakin mengalami hambatan.”
Demikian yang dinyatakan Irwan Abdullah dalam bukunya Konstruksi dan
Reproduksi Kebudayaan (2007). Berkaitan dengan hal tersebut, belakangan ini
gencar diberitakan tentang Florence, seseorang yang dituntut pidana karena
melakukan celotehan di media sosial online yang dianggap menghina orang lain.
Nama Florence mencuat di media massa setelah melontarkan kata-kata
yang berbau penghinaan kepada masyarakat Jogja. Mungkin wanita itu tidak
menyadari akan dampak yang luar biasa dari celotehannya, yang menurut dia
mungkin sepele. Tidak tanggung-tanggun kasus tersebut kini bergulir di ranah
hukum dan dianggap sebagai tindak pidana kriminalitas.
Banyak yang menilai bahwa kasus Florence terlalu berlebihan jika
harus dibawa ke ranah hukum. Mereka berpendapat bahwa apa yang dilontarkannya
di media sosial Path adalah kebebasan berekspresi. Namun demikian sebagai
mereka tetap bersikukuh untuk mengadili Florence secara hukum, alasannya agar
menjadi pelajaran bagi masyarakat umum.
Melihat pro dan kontra tersebut, saya berfikir untuk melihat kasus
ini sebagai bagian dari pembelajaran sosial. Iya, ini adalah kasus kecelakaan
sosial yang melibatkan salah seorang mahasiswa dengan masyarakat jogja secara
khusus.
Secara etika, Florence tentu bersalah besar karena di samping menghina orang lain, secara tidak
langsung dia juga telah merendahkan martabat orang-orang yang telah
memberikannya jasa (yakni untuk tinggal di Jogja), mengingat dia adalah
mahasiswa salah satu perguaruan tinggi disana. Sehingga dengan demikian, sebenarnya
cukup sanksi sosial sebagai hukuman bagi dirinya.
Di sisi lain, pernyataan Florence sebenarnya bisa kita tinjau
secara positif, yakni dengan mengambil hikmah dari kejadian tersebut dan
dijadikan cermin untuk masyarakat lainnya. Dalam filsafat bahasa atau sering
disebut filsafat analitik, suatu pernyataan dinilai menggunakan paradigma “apa
makna suatu pernyataan,” bukan “apakah suatu pernyataan benar atau salah.” Jika
dikaitkan dengan celotehan Florence dalam akun media sosialnya, maka apakah
makna pernyataan itu? jadi tidak langsung menjust bahwa dia telah salah atau
sebagainya.
Lebih jauh, jika dikaji secara secara semiotis, keterangan Charles
Sunder Piece bisa digunakan untuk menganalisis kata-kata yang dilontarkan Florence.
Dalam teorinya (Semiotika Komunikasi), dia berpendapat bahwa dalam sebuah
pernyataan, harus dilihat beberpa komponen yang mempengaruhi dalam proses
interpretasi teks, yang pertama adalah penutur, kemudian yang kedua adalah
situasi dan yang ketiga adalah sasaran teks.
Florence dari segi penutur, secara psikologis, yang bersangkutan
ketika melontarkan kata-kata tersebut tentulah dalam keadaan emosi yang sangat
meluap serta perasaan malu yang sangat, sehingga kemungkinan kata-kata yang
sebenarnya tidak pantas dilontarkan menjadi keluar begitu saja. Maka dari itu, kemungkinan
besar dia melontarkan hal tersebut karena situasi, bukan watak pribadi. Ini
juga bisa diperkuat dengan data bahwa Florence adalah orang Batak. Dalam
tradisi Batak, pepatah “dimana bumi diinjak, disana langit dijunjung” sangat
dipegang erat. Dengan demikian, secara individu Florence juga memiliki hak
untuk dinilai secara manusiawi.
Dari sisi situasi, keadaan tentulah sangat mempengaruhi apa yang
dilontarkan seseorang. Pernyataan Florence jika dilihat dari kronologi yang
menyebabkan lontaran kalimat yang tidak senonoh itu adalah karena reaksi dari
sikap masyarakat yang meneriaki dirinya ketika menyerobot antrian di SPBU.
Tentunya reaksi tidak pernah muncul tanpa suatu perbuatan yang memicunya.
Ketiga, masyarakat jogja sebagai sasaran, seharusnya bisa
menjadikan kata-kata tersebut sebagai autocritic terhadap diri mereka.
Artinya meskipun pernyataan Florence sangat melukai hati warga Jogja tapi jika
dipandang secara general dan hati lapang, disana ada kesempatan untuk
mengintrospeksi diri. Misalnya, ketika Florence mengatakan bahwa warga joga itu
tolol, tidak berbudaya, hal tersebut bisa langsung direfleksikan pada diri,
benarkah demikian? Jika memang tidak demikian, kenapa harus sakit hati?
“biarpun anjing menggonggong, kafilah berlalu.”
Sejauh ini masyarakat Jogja memang sudah terkenal sebagai
masyarakat yang memiliki nilai budaya yang tinggi, sangat toleran terhadap
siapapun yang datang mengungjungi kota mereka, baik mereka yang dari dalam
maupun luar negeri. Kenyataan ini sebenarnya sudah menjadi cunter otomatis
terhadap apa yang dilontarkan Florence, tidak perlu berlebihan menilai apalagi
sampai dibawa ke ranah hukum.
Kasus Florence adalah kasus sosial yang bisa kita petik hikmahnya,
diantaranya: menjaga tutur kata. Iya karena “mulutmu harimaumu,” kita harus bisa
menguasi lisan kita untuk tidak mengeluarkan kata-kata yang tidak senonoh.
Sebagaimana yang dikatakan Kahlil Gibran, “Letakkanlah lidahmu di belakaang
jiwamu (kebijaksanaan)”, maka dari itu kita harus bijak dalam bertutur.
Kedua, kasus tersebut bisa menjadi pelajaran bagi seluruh pengguna
media sosial untuk membatasi kebebasan berekspresi mereka dengan etika. Di
tengah kemajuan teknologi ini, seharusnya niali-nilai moral harus tetap kita
junjung tinggi.
Selanjutnya, kasus tersebut juga bisa menjadi evaluasi bagi para
pendidik, dimana kita ketahui bahwa Florence adalah salah seorang peserta
didik, maka penting untuk para dosen agar tidak lupa membekali peserta didik
mereka dengan etika, baik etika yang menyangkut profesi mahasiswa maupun yang
berkaitan dengan kehidupan sosial masyarakat mereka.
Dunia internet kini sudah menjadi bagian yang tidak terpisahkan
dari kehidupan manusia, memandangnya tidak bisa lagi dengan sebelah mata, kasus
ini membuat kita harus mengkaji lebih jauh tentang dunia sosial manusia
(termasuk sosial media online) sebagaimana kutipan pada paragraf awal tulisan
ini.
Kedepannya semoga kasus-kasus seperti ini jangan sampai terulang
lagi, kita sudah sering mendengar kasus-kasus yang berawal dari celotehan di
media masa seperti Prita, Abbas dan lainnya, maka penting sekali untuk menjaga
diri dalam memanfaatkan kemajuan teknologi ini agar terhindar dari menyakiti
orang lain yang sering kali berujung pada kasus pidana. Bercermin dari kasus Florence
berarti belajar untuk menata lisan, mengintrospeksi diri dan memanfaatkan
teknologi dengan cara yang lebih baik dan bijak.
Post a Comment for "Dinamitas Problematika Manusia ; Bercermin dari Kasus Florence"