Dekonstruksi Prilaku Koruptif Mahasiswa
Masih
tentang pelajaran di warung kopi. Beberapa hari yang lalu, saya bertemu dengan
seorang teman saya (kali ini di sengaja) di sebuah warung kopi. Dia adalah
salah satu mahasiswa sarjana satu di salah satu perguruan tinggi Islam di kota
Yogyakarta. Sebagaimana yang pernah saya ceritakan, di warung kopi kami tidak
pernah menentukan tema pembicaraan, semuanya mengalir begitu saja.
Pada
kesempatan itu, tanpa sengaja kami membincang perihal kabar mahasiswa. Saya
yang merupakan salah satu “mantan” mahasiswa ingin mengetahui dunia mereka saat
ini. Awalnya, dia mengajak saya membicarakan dosennya. Katanya, “dosen sudah
tidak lagi nampak profesional sebagai seorang pengajar, mereka lebih banyak
disibukkan dengan kegiatan di luar kota (apakah itu berupa proyek dan
sebagainya).” Kemudian dia juga menyayangkan teman-temannya yang kebanyakan
semakin jauh dari tradisi-tradisi akademik yang seharusnya mereka lakukan,
seperti membca buku, menulis, berdiskusi dan sebagainya.
Sampai
disitu, saya tidak terlalu heran, itu adalah fenomena klasik. Dulu waktu saya
jadi mahasiswa juga demikianlah keadaan yang saya temui. Setelah selesai
membahas hal tersebut, kami diam sejenak, sembari menikmati minuman yang kami
pesan.
Lama
terdiam, dia seolah menyimpan kebingungan. Ada sesuatu yang ingin dia
ungkapkan. Melihat hal tersebut, saya langsung menanyakan, “ada apa?”
Dia
tersenyum, kini dengan raut yang sedikit malu, “Cak, aku ingin kerja,
ingin mandiri, tidak mau menjadi beban orang tua lagi.”
Perhatian
saya sejenak terfokus pada pembicaraan orang di hadapan saya. Itu adalah kasus
yang dulu saya alami, tapi tak sempat mencurahkannya kepada siapapun. “oh
terus?”
Saya
tidak tahu apa kaitan yang ia nyatakan dengan apa yang dia ceritakan. Sebelum
meneruskan untuk menyampaikan perihal keinginannya, dia justru menceritakan
tentang teman-temannya. Dari sekian panjang cerita yang dia sampaikan, saya
dapat menyimpulkan beberapa kasus mahasiswa yang terjadi berkaitan dengan
urusan finansial.
Rata-rata
mahasiswa yang dia ketahui, selalu berbohong kepada orang tuanya dalam masalah
tugas-tugas akademik. Kebohongan-kebohongan itu biasanya mencakup nilai uang
yang harus dikeluarkan mahasiswa. Misalnya dalam tugas membuat makalah,
mahasiswa sering mengatakan ke orang tuanya, biaya pembuatannya sampai
seratusan ribu rupiah. Nah, inilah yang aneh, menurut saya makalah mahasiswa
sarjana satu itu tidak lebih dari sepuluh ribu (Rp. 10.000).
Rinciannya,
taruh saja biaya print out adalah 100 rupiah perlembar, dikalikan
sepuluh halaman menjadi seribu rupiah. Ditambah biaya jilid dua ribu rupiah
(ini harga dulu ketika saya menjadi mahasiswa). Hanya tiga ribu rupiah!!
Itu jika mahasiswanya benar-benar mengerjakan, tapi jika men-copas, maka
ada tambahan biaya internet Rp.3.000 perjam. Jadi maksimal harga makalah
mahasiswa adalah Rp.6.000.
Ini
tentulah biaya yang sangat sedikit dari seratus ribu yang diminta ke orang tua.
Bayangkan jika makalah setiap minggunya ada ditugaskan oleh dosen, maka akan
ada ratusan ribu uang yang “dikorupsikan” oleh seorang mahasiswa. Sampai
pembicaraan ini, saya pun sedikit tersindir, karena dulu awal-awal kuliah, saya
“terdoktrinasi” oleh teman-teman saya untuk melakukan hal demikian. Dengan
begitu, semakin nyata hepotesa bahwa mahasiswa rata-rata berlaku korup
selama menjalani tugas akademik.
Itulah
kemudian yang melatarbelakangi teman saya itu untuk mencari pekerjaan. Dia
tidak mau menjadi beban orang tua, tidak tega untuk berbohong dan berbohong
lagi. Ini tentulah hal yang luar biasa dan seharusnya di contoh oleh
mahasiswa-mahasiswa yang lainnya.
Saya
tidak ingin menyelesaikan tulisan ini dengan bagaimana akhir diskusi saya malam
itu, saya akan akhiri tulisan ini dengan beberapa analisis yang menyebabkan
mahasiswa bertindak demikian dan bagaimana seharusnya jalan keluar dari
fenomena tersebut.
Berangkat
dari kisah di atas, fenomena koruptif di kalangan mahasiswa ternyata (atau sebenarnya?)
sudah tidak bisa dihindari lagi. Ini adalah persoalan akar rumput, yang
tatarannya bukan lagi konstitusi, tapi budaya dan kepribadian diri. Maka tidak
heran jika negeri ini selalu bingung dengan penyelesaian masalah korupsi. Yah,
mungkin karena kita lupa bahwa Indonesia secara tidak sengaja telah menanamkan
benih koruptif saat generasi penerusnya melakoni studi di masa muda.
Dalam
hal ini, ada benarnya pendapat seorang guru besar (yang saya lupa namanya)
bahwa korupsi di Indonesia adalah sebuah budaya. Iya, budaya akar rumput inilah
yang mungkin dimaksudkan. Dan ini tentulah bukan hal yang sederhana, tapi
membutuhkan solusi yang cukup rumit berupa “dekonstruksi kultural.”
Sebelum
kita menentukan kesimpulan dan jalan yang harus kita lalui untuk mencoba
menyelesaikan persoalan di atas, saya ingin mengatakan bahwa sebenarnya, budaya
koruptif tersebut bukanlah kebudayaan warisan (original culture), tapi
dia lebih sebagai sebuah sub-kultur yang merupakan anak kebuadayaan (reproduksi
kebudayaan) yang “tak diinginkan.”
Dalam
teori sosial, kita mengenal terminologi Transaksionisme Simbolik. Teori
yang berangkat dari filsafat pragmatisnya Hegel ini menyatakan bahwa kehidupan
seseorang tidak berjalan kronologis, tapi sangat dipengaruhi oleh
transaksi-transaksi sosial. Dalam hal ini, prilaku koruptif yang muncul di
kalangan mahasiswa sangat dimungkinkan terjadi karena pergesekan sosial.
Sebagaimana saya katakan, bahwa dahulu saya sempat melakukan fenomena seperti
di atas dan itu dipengaruhi oleh teman-teman sekamar saya.
Dari
pemahaman di atas, sekarang kita sampai pada pertanyaan, bagaimana mengakhiri
itu semua? (dalam bahasa mahasiswanya “mendekonstruksinya”)
Hal
paling penting yang harus dilakukan adalah membentuk mental(itas)
mandiri pada diri mahasiswa. Artinya, seorang mahasiswa, disamping dididik
menurut fokus jurusan mereka, juga harus dibekali materi interpreneur
yang akan membentuknya menjadi seorang usahawan. Dalam hal ini peran orang tua
juga sangat diperlukan. Salah satu bentuk kontribusi orang tua yang diharapkan
adalah dengan berlaku selektif dalam memberikan biaya akademik sang anak.
Kedua,
kampus sebisa mungkin menyediakan lapangan pekerjaan yang sifatnya part time
bagi mahasiswa. Salah satu contoh kongkritnya adalah memberikan waktu les-lesan
kepada mereka. Ini tentunya akan sangat berdampak positif, di samping
memberikan kesempatan untuk mendapatkan uang sendiri, juga bisa menjadi
lapangan praktik untuk keilmuan mereka (khususnya yang jurusan pendidikan). Dalam
hal ini mungkin kerjasama kampus dengan lembaga-lembaga pendidikan sangat diperlukan.
Adapun bagi mahasiswa non pendidikan, kampus juga tetap bisa menyediakan
lapangan usaha dengan cara menyediakan pinjaman modal usaha bagi mahasiswa yang
ingin berwirausaha. Ini tentulah akan mendapat sambutan yang sangat positif
mengingat beberapa teman-teman saya dahulu sangat senang melakukan wirausaha,
meskipun dengan modal pas-pasan.
Selanjutnya,
untuk menghilangkan prilaku koruptif mahasiswa di atas, mereka harus memilki
kepedulian dan rasa kasihan kepada orang tua mereka. Jika rasa kasihan ini ada,
apa mungkin seseorang mahasiswa tega meminta uang dengan alasan untuk kebutuhan
akademik padahal tidak demikian? Akhirnya semoga kita bisa belajar untuk
menjadi calon-calon pemipin bangsa yang terlepas dari perilaku koruptif
meskipun dari hal terkecil. Sesungguhnya hal kecil itulah yang menentukan
seseorang akan menjadi baik ataukah buruk di masa yang akan datang.
Adapaun
jika, kita pernah sempat melakukan “dosa” tersebut saat menjadi mahasiswa, kita
beristighfar untuk itu, dan marilah kita berusaha bersama-sama untuk
menanamkan jiwa kemandirian pada diri kita dan pada adik-adik kita juga
usaha-usaha lain yang mendukung hal tersebut guna mendekonstruksi prilaku
koruptif di kalangan mahasiswa.
Post a Comment for "Dekonstruksi Prilaku Koruptif Mahasiswa"