Antara Sastrawan dan Kritikus Sastra
Pada suatu malam, secara tidak sengaja saya perjumpa dengan salah
satu rekan saya dulu. Pertemuan itu terjadi di warung kopi, tempat yang biasa
saya kunjungi sekedar untuk melepas penat selama berkumul sendirian di dalam
kos dengan tugas dan pekerjaan yang menumpuk. Pada waktu menjadi mahasiswa,
saya menghabiskan waktu di warung kopi bersama rekan-rekan saya yang merupakan
mahasiswa-mahasiswa aktivis yang senang berdiskusi. Di warung kopi, sudah biasa
kami membicarakan banyak hal tentang hidup, manusia dan dinamisasinya.
Pada kesempatan tersebut, barangkali karena memiliki kebiasaan yang
sama, yaitu berdiskusi di warung kopi, kami secara tidak sadar tenggelam dalam
acara diskusi ringan. Waktu itu, tiba-tiba kami membicarakan topik tentang Sastra.
Ini barangkali dipengaruhi karena saya adalah alumni jurusan sastra, dan dia
adalah alumni sekaligus pegiat sastra yang kini tengah menempuh magisternya di
salah satu perguruan tinggi terkemuka di Yogyakarta.
Dia bercerita banyak hal tentang sastra, kemudian dia sampai kepada
kebingungannya ketika menulis sebuah karya sastra. Dia membicarakan tentang
novel yang tengah dia garap, yaitu sebuah novel “kontroversial” menurutnya. Di
dalamnya dia melawan nilai-nilai masyoritas yang tengah berkembang dan menjadi
hal biasa dalam kehidupan sosial masyarakat kita dewasa ini.
Ada satu hal yang membuat saya tergelitik mendengar paparannya.
Terlepas dari isi novel yang tengah dia garap, yang ia klaim sebagai novel “penantang
arus” itu, saya tersekap dengan pernyataannya, “nanti novel saya ini akan
dikaji menggunakan teori postkolonial.”
Ketersekapan saya oleh pernyataan tersebut barangkali dipengaruhi
oleh “sifat berkarya” yang saya milki. Saya jadi bertanya, apakah tujuan
diciptakannya karya sastra tersebut hanya untuk dikritisi, dianalisis dengan
segudang teori sastra yang telah dihasilkan oleh para akdemisi?
Memang kenyataan bahwa teori sastra muncul karena perekembangan
pengetahuan tentulah merupakan keniscayaan, tetapi itu semua harusnya dilakukan
dalam tataran ilmiah maupun tugas akademik. Yang membuat saya heran disini,
betapa hegemoni teori telah terlampau jauh mengambil dalam mainset
seseorang lulusan fakultas sastra, sampai-sampai untuk berkarya dia sudah
memikirkan tentang teori yang akan digunakan oleh para analis nanti terhadap
karyanya. Hal demikian, di samping akan membuat karya sastra tersendat (tidak
akan cepat selesai), juga telah mendisorientasi fungsi sastra sebagai
nilai-nilai sosial. Sekali lagi, apakah karya sastra diciptakan hanya untuk
dianalisis?
Saya jadi teringat pernyataan Robert Escarpit dalam bukunya Literature
Sosiology, disana dia menyatakan “dulu karya sastra dimiliki masyarakat,
sekarang karya sastra diciptakan masyarakat.” pernyataan ini memberi gambaran
betapa karya sastra masa lalu, meskipun tidak diketahui penciptanya, namun
tetap dijadikan panduan dalam tingkah laku sehari-hari, dalam hal ini sastra
telah menjadi sumber nilai dalam masyarakat. Kenyataan berbeda terjadi dewasa
ini, dimana karya sastra telah banyak diciptakan oleh masyarakat kita, namun
tidak memilki fungsi sebagai penegak moral masyarakat, disinilah muncul istilah
sastra komoditas. Artinya, sastra hanya untuk kepentingan materi.
Jika para lulusan sastra maupun para pengkajinya memiliki pandangan
seperti salah seorang teman saya tadi, maka ada hipotesa yang muncul, “selama
ini, secara akademik jurusan-jurusan sastra yang ada di Indonesia ini, baik
yang sudah maju dan terkenal maupun yang baru dan masih berkembang, hanya akan
melahirkan kritikus atau analis sastra, bukan seorang sastrawan. Jika benar
demikian, maka kita telah kehilangan kesempatan untuk menjadikan karya sastra
lebih dari hanya sekedar dunia kata. Fungsi sastra hanya berkutat pada apa yang
disebut dengan kegiatan analisis.
Seharusnya, di samping mencetak kritikus, jurusan-jurusan sastra
seharusnya juga bisa mencetak seorang sastrawan. Mungkin ini terkesan
memformalkan terminologi sastrawan sebagai hal yang hanya bisa didapat melalui
bangku kuliah. Memang benar, sastrawan tidak hanya muncul melalui bangku
kuliah, namun atau bahkan lebih banyak dicetak oleh alam dengan tidak
mempedulikan latar belakang. Tapi kenyataan bahwa jurusan sastra yang sekarang
kita miliki hanya mecetak kritikus membuat saya berharap, kedepannya tidak
hanya kritikus, tapi juga seorang sastrawan.
Sebagai seorang alumni jurusan sastra, saya menaruh harapan saya
pada teman diskusi saya malam itu, dia yang kini tengah bergelut dengan
teori-teori sastra yang juga mungkin dia komparasikan dengan teori-teori
keilmuaan lain untuk mengembangkan sastra dengan sungguh-sungguh dan bijak.
Tapi saya harap, ketika dia mulai berkarya, sebaiknya teori-teori ditanggalkan
dahulu, agar karya sastra benar-benar lahir dari diri seorang sastrawan, yang
mana hal tersebut memanifestasi sosial dan latar budaya yang dimiliki.
Post a Comment for "Antara Sastrawan dan Kritikus Sastra"