Memilih Untuk Indonesia
Pemilihan
presiden telah lalu, kini kita menunggu hasil, siapa yang akan memipin bangsa
ini lima tahun ke depan. Dari sisa-sisa pesta kemarin, saya masih memikirkan
beberapa pristiwa sebelum tanggal 9 juli. Tentang masa-masa kampanye yang penuh
warna, mulai dari kampanye yang putih sampai yang hitam serta efuria masyarakat,
dari yang pasi sampai yang berlebihan. Banyak orang yang menggunakan cara-cara
yang tidak etis seperti memfitnah dan sebagainya, ada pula dengan memberikan
data yang benar. Namun demikian kini kita tidak lagi terpaku pada apa yang
mereka bicarakan kemarin, namun pada apa yang akan kita hasilkan setelah ini,
siapapun yang menjadi presiden pastilah dia merupakan pilihan rakyat indonesia.
Boleh saja
hasil quick cont dijadikan euforia untuk membanggakan calon yang
diusung, ataupun untuk menambah olok-olokan kepada lawan, tapi keputusan
tetaplah pada panitia yang memegang otoritas dalam pemilihan umum. Pada tanggal
22 juli nanti, semua telinga harus siap mendengar, mata mereka harus siap
melihat (atau mengalirkan air mata?) Dan yang terpenting hati masing-masing
harus siap menerima, agar negeri ini tidak menjadi korban atas hasrat demokrasi
yang dibawa secara subjektif.
Saya teringat
beberapa pristiwa lain selain kampanye yang terjadi pada hari-hari sebelum
pemilihan umum kemarin. Salah satunya adalah beberapa pendapat kiyai yang
menjadi tolak ukur dalam suatu komunitas tertentu. Jika tidak salah, 3 hari
sebelum hari pemilihan, saya membaca sebuah postingan di facebook yang
mengungkapkan tentang hasil istikhoroh seorang kiyai yang cukup masyhur
di kalangan organisasi yang cukup besar di negeri ini. Dalam tulisan itu
disebutkan hasil istikhoroh sang kiyai, nomer satu itu baik dan nomer dua itu
buruk.
Saya tidak mau
terjebak dalam fanatisme golongan maupun semangat demokrasi yang kolot.
Mengikuti seseorang dalam melakukan pilihan adalah mungkin menciderai prinsip
berdemokrasi, maka dari itu saya disini ingin membahas hal tersebut sebagai
kajian sosial yang mencoba membaca arah kedepan dari beberapa gerak dan manuver
politik yang terjadi di musim pemilu ini. Bagi saya pribadi siapapun yang
menang tidak menjadi soal, apakah dia orang yang saya pilih maupun bukan, toh
negeri ini tetap akan diperjuangkan.
Satu hal yang
kini menjadi bahan kajian saya adalah membicarakan beberapa hasil istikharoh
tokoh-tokoh masyarakat yang sering menjadi dongkrak suara dalam pemilu. Dan
karena masa pencoblosan sudah berlalu, jadi saya tidak perlu membicarakan
efektifitas “ramalan” itu, karena tentu itu tidak akan memberikan dampak
apapun. Yang menjadi pertanyaan saya sekarang, bagaimana jadinya jika yang
menjadi presiden nanti adalah orang yang menurut sang kiyai dalam hasil
istikhorohnya itu buruk?
Tentu tidak
jadi masalah jika yang jadi presiden adalah nomer urut yang dinyatakan baik
dalam istikhoroh sang kiyai, karena tentulah masyarakat bisa melepas harapan
mereka dengan lapang. Tapi bagaimana jadinya jika yang menjadi presiden adalah
orang yang tidak baik menurut hasil istikhoroh?
Dalam hal ini,
saya meminta dengan hormat dan penuh takzhim kepada kiyai yang
bersangkutan untuk mendoakan ulang agar presiden tersebut baik dan bisa
melaksanakan amanah dengan baik, karena sesungguhnya hasil pemilihan umum ini
bukan pada istikhoroh para kiyai, tapi di tangan masyarakat sendiri. apakah
jika calon presiden yang dicap buruk menjadi pemimpin kemudian akan benar-benar
memberikan bencana? Siapa yang tahu, seseungguhnya Tuhan pasti memiliki cara
sendiri untuk mengatur kehidupan ini.
Saya pribadi
kasihan dengan calon presiden nomer urut dua, dia selalu mendapatkan penilaian
yang buruk dan diolok-olok sepanjang masa kampanye. Terlebih dia secara
ideologi dicap sebagai orang non islam. Sebelumnya, agar saya tidak dikatakan fanatik
mendukung calon presiden tertentu, saya katakan bahwa saya pribadi memilih
calon presiden nomer urut satu pada tanggal 9 juli kemarin, tapi sekali lagi,
ini bukan soal membela pilihan kita, saya sedang mengajak bangsa ini untuk
menjaga diri dari dampak negtif pemilihan umum.
“Sesungguhnya
negeri kita kini tengah rawan. Selain klaim kemenangan dari kedua belah pihak
yang sangat berpotensi menyulut api permusuhan, juga tentang ancaman masa depan
yang tidak baik bagi negeri ini jika dipimpin oleh bukan orang yang dipilih
oleh para kiyai,” demikian kata salah seorang teman saya membincang situasi
politik belakangan kemarin. Pertanyaannya adalah apakah pilihan para kiyai
selalu baik untuk bangsa ini? Ingat, presiden dipilih bukan oleh para kiyai
tapi oleh seluruh rakyat indonesia. Dan
saya tegaskan, indonesia adalah harga mati, siapapun yang menjadi pemimpin maka
tanggung jawab untuk menjalankan roda bangsa ini harus dipikul dengan baik.
Bagaimana pun
salah satu calon dipandang buruk untuk memimpin bangsa ini, ketika pemilihan
umum menunjuk dia sebagai pemenang, maka seluruh bangsa ini harus menghargai
itu, tidak peduli dengan pandangan siapapun. Ini bangsa indonesia bukan agama
indonesia atau agama apalah namanya.
Beberapa orang
mengatakan di selogan-selogan maupun secara lisan: Indonesia milik Allah!
Jika memang benar demikian, kenapa tidak kita biarkan saja Allah mengaturnya
dengan cara-Nya sendiri, melalui tangan siapa saja yang Dia hendaki? bukankah
Allah memberikan kekuasaan kepada siapapun yang Dia hendaki? sejatinya
kebenaran itu hanya di tangan-Nya. Siapapun yang memimpin bangsa ini dia harus
berani mengorbankan jiwa dan raganya! Hidup indonesia.
Post a Comment for "Memilih Untuk Indonesia"