Demokrasi dan Politik Tupai
Acara besar demokrasi bangsa indonesia sebentar lagi tiba (Pilpres),
para kontestan politik telah siap bertarung mati-matian. Banyak warna yang
terlihat dalam acara besar demokrasi kita kali ini, salah satunya adalah
fenomena lopat-lompat jabatan. Semua memang berhak, karena ini adalah
demokrasi, tapi bagaimana jika kebebasan demokrasi telah menyalahi naluri dan psikologis
rakyat?
Kita memang tidak mungkin lupa pada prinsip dasar demokrasi kita,
bahwa demokrasi adalah aturan untuk kita saling hidup bersama yang mana prinsip
dari, oleh dan untuk rakyat begitu kuat di dalamnya. Dengan prinsip ini, semua
orang berhak untuk berpartisipasi dalam proses demokrasi tanah air. Inilah
kemudian yang menjadi alasan kuat kenapa seorang gubernur yang baru beberapa
tahun menjabat ikut terjun dalam panggung politik bulan juli nanti.
Memang kebebasan berekspresi dan mengeksplorasi diri seperti tidak
ada batasnya dalam prinsip demokrasi, namun perlu diingat bahwa demokrasi bukan
hanya tentang memenuhi hak diri, tapi bagaimana menangani persoalan masyarakat
secara adil dan merata. Tentu tidak salah jika seorang dengan posisi apapun,
ingin ikut terjun dalam panggung demokrasi dengan meninggalkan posisi politik
yang sebelumnya, tapi apakah masyarakat telah siap dengan hal itu? Inilah yang
menjadi pertanyaan besar, demokrasi apakah sebagai panggung politik saja, yang di dalamnya hanya berbicara kepentingan
pribadi atau golongan?
Menarik membincang argumentasi seorang pengajar filsafat politik UI
Donny Gahral Adian, dia mengatakan bahwa politik bukan musim, dia adalah
kejadian yang hidup dalam keseharian yang berdetak, dia tersembunyi di balik
map seorang aktivis sosial yang memperjuangkan hak para petani, di dalamnya
hak-hak masyarakat dipertaruhkan (Kompas). Dengan demikian tidaklah pantas jika
momen pemilu hanya dijadikan momen untuk menunjukkan kapabilitas ataupun
elektabilitas yang menjulang, tapi merupakan ajang untuk benar-benar
mempersiapkan diri untuk memperjuangkan hak-hak rakyat.
Majunya gubernur DKI jakarta sebagai salah satu kontestan politik
2014 merupakan salah satu contoh kebebasan demokrasi yang tak beretika, ini
karena yang dipertaruhkan adalah rakyat. Di sini bukan hanya hak perorangan
sebagai yang memiliki hak dalam sistem demokrasi, tapi tanggung jawab moral
yang telah digariskan oleh proses demokrasi sebelumnya (Pemilu Kada).
Sejalan dengan argumen di atas, seorang budayawan, Ridwan Saidi
juga menolak pencapresan gubernur DKI jakarta, dia menilai tindakan tersebut
sebagai langkah pembohongan terhadap masyarakat, melanggar janji yang
sebelumnya pernah diikrarkan. Iya, kita semua tahu bahwa Jokowi pernah berjanji
untuk menuntaskan 5 tahun kepemimpinannya di daerah ibu kota.
Memang patut disayangkan keputusan sang gubernur. Seseorang yang
sebelumnya sudah begitu dielu-elukan oleh masyarakatnya, kini sedikit
tercoreng. Hal tersebut terlihat dari banyaknya golongan yang dengan
terang-terangan menolak pencapresannya, melalui demonstrasi di jalanan maupun
dunia maya, meskipun memang tidak bisa dipungkiri masih banyak golongan yang
mendukungnya.
Dari sisi kapasitas kepemimpinan, tidak ada yang perlu diragukan
atas sosok Joko Widodo, semua orang sudah mengenal figur dan ketokohannya,
namun kembali lagi, akan menjadi bumerang jika langkah untuk meninggalkan
jabatan gubernur dilakukan untuk kursi presiden. Menurut saya, elektabilitas
jokowi saat ini akan tergerus karena langkah kontroversial tersebut, meski saat
ini beberapa survei masih menjagokannya.
Dalam tulisan ini, saya menggunakan istilah politik tupai untuk
menggambarkan tingkah politikus yang sering lompat-lompat jabatan. Sebagaimana kita
ketahui tupai adalah binatang yang rutinitasnya melompat dari satu tempat ke
tempat lain, untuk mencari makan atau suasana lainnya. Politik tupai dimaknakan
sebagai langkah arogan seorang politikus yang melakukan tindakan tanpa
memperhatikan situasi sosialnya. Dalam hal ini seluruh pejabat yang ingin
tampil dalam panggung pemilu 2014 (bukan hanya Jokowi).
Politik tupai tentunya akan berbahaya untuk keberlangsungan hidup
rakyat secara majemuk, karena dari sisi psikologis, komunitas atau masyarakat
akan memiliki hubungan batin dengan pemimpin mereka. Jika seorang pemimpin yang
telah memiliki hubungan batin yang kuat dengan masyarakatnya kemudian
meninggakan kepemimpinannya untuk bertarung di kursi politik yang lain, maka
tentu ini akan memunculkan kekecewaan masyarakat yang dipimpinnya. Tidak
menutup kemungkinan hal tersebut bisa berujung anarkisme.
Di samping itu, politik tupai juga akan memberikan dampak negatif
terhadap program kepemerintahan yang telah dirancang oleh seorang pemimpin. Ini
karena tentunya satu orang pemimpin memiliki konsep yang berbeda dengan konsep
pemimpin yang lainnya. Apakah rakyat harus dikorbankan untuk kepentingan
politik pribadi atau golongan?
Jangan karena tuntutan partai, seorang politikus mempermaikan
amanat rakyat, tapi karena memang tuntutan rakyatlah seorang politisi
bertindak. Sangat disayangkan jika majunya Jokowi menjadi calon presiden hanya
bentuk kepatuhan pada ketua umum partainya. Kita mengkhawatirkan Jakarta yang
sempat bercahaya akan kembali meredup karena ditinggalkan oleh empunya. Semoga
panggung politik 2014 ini adalah panggung untuk menemukan pemimpin-pemimpin
yang benar-benar berjuang untuk negara bukan sebatas panggung pemuas hak
demokrasi dan permainan para politikus tupai.
Lantas bagaimana untuk memutus lingkaran setan politik tupai? Yang
pertama tentunya adalah kesadaran para calon pemimpin bangsa untuk bersikap
total dan tidak hanya melangkah menurut intruksi Parpolnya. Untuk membentuk hal
ini salah satu caranya adalah dengan memantapkan kaderisasi partai yang mana di
dalamnya ditanamkan nilai-nilai leadership yang benar-benar mengabdi
untuk rakyat.
Selanjutnya, cara yang bisa dilakukan untuk memotong langkah
politik tupai adalah dengan mengatur konstitusi yang membahas tentang
pencalonan seseorang yang akan duduk di kursi eksekutif maupun legislatif. Poin
terpenting yang mesti diusung di dalamnya adalah tidak boleh seseorang
mencalonkan diri ketika dia sedang menjabat pada satu posisi yang sama maupun
berbeda (dalam lingkup pejabat negara). Hal ini penting untuk tidak membuat
pesta demokrasi seolah sebagai acara main-main semata. Masih segar dalam
ingatan ketika gubernur salah satu daerah di negeri ini ikut dalam kontestasi
politik pemilihan gubernur Jakarta (2012), setelah dinyatakan kalah, dia
kembali ke jabatan sebelumnya tanpa dosa. Ini tentu merupakan prilaku
inkonsistensi terhadap jabatan yang diemban.
Jika kebiasaan lompat-lompat jabatan terus saja dibiarkan, dengan alasan
apapun, termasuk dengan dalih hak demokrasi, maka selamanya kita tidak akan
bisa berdemokrasi dengan utuh, karena sesungguhnya demokrasi bukan musim. Bukan
permainan belaka, tapi merupakan cawan dari harapan-harapan masyarakat untuk
menatap masa depan yang lebih cerah.
Post a Comment for "Demokrasi dan Politik Tupai"