Desakralisasi Psikologi
Terima
kasih atas segala hal yang tidak akan pernah aku lupakan sepanjang hidupku.
Jika suatu saat nanti aku mampu memberikan yang lebih dari seharusnya, semoga
itu bisa menjadikanku orang yang tidak lupa akan hakekat perjalanan kehidupan
manusia. Aku sering berpikir bahwasannya air mata tidak pernah mengalir menuju
muara yang semu, selalu ada keindahan yang dijanjikan oleh waktu. Bagaimanapun
caranya dibentangkan oleh yang menentukan segalanya.
Aku
tidak pernah memaksa siapapun untuk mengerti perasaanku, juga untuk menghormati
dan menjaga jiwaku agar selalau tenang. Semua orang berhak atasku,
membahagiakanku atau bahkan menyakitiku. Tapi itu semua bukan alasan untuk
manusia mengatakan bahwa setiap jiwa berhak untuk menjaga perasaannya sendiri
dan menyakiti orang lain. karena jika alasan seseorang menyakiti insan yang
lain untuk membebaskan keinginan psikologisnya, sungguh dia tidak akan pernah
mendapatkan kedamaian yang sesungguhnya. Ku berdoa semoga orang yang demikian
bisa belajar banyak dari jiwanya sendiri.
Sakralitas
psikologi memang menjadi lumrah di dunia pikir manusia. Dia seperti singgahsana
yang begitu tinggi dan pantas untuk diperjuangkan meski melalui jalur darah.
Inilah yang membuat manusia seringkali mengizinkan dirinya untuk merampas hak
orang lain atas nama psikologis. Kita tentu sering mendengar seseorang yang
membunuh manusia, dan karena untuk kepentingan pengadilan, tersangka tak jarang
melalui tes psikologis. Tujuannya adalah untuk menyelidiki bagaima tingkat
kesadaran seseorang dalam berbuat yang tidak baik terhadap saudaranya.
Mirisnya, terkadang seorang tersangka menjadi tidak dihukum karena dipandang
mengalami gangguan psikologis.
Kasus
teranyar mengenai motif psikologis sering kali dijadikan alasan untuk seseorang
bebas dari pengadilan adalah kasus penculik bayi Valencia. Saat ini tersangka
yang sudah jelas-jelas melakukan perbuatan keji itu, sedang menjalani
pemeriksaan psikologis disebabkan beberapa tingkah abnormal yang ia lakukan
setelah ditetapkan menjadi tersangka. Kuat dugaan bahwa pelaku sengaja
menunjukkan sikap gangguan psikologis karena ingin terbebas dari pisau hukum.
Inilah
realitas keilmuan yang masih dipelihara oleh masing-masing manusia, entah
karena ingin menghargai keinginan mereka sendiri atau hanya semata sebagai kedok
untuk melumrahkan diri dalam menyakiti manusia yang lain? Semua orang bisa saja
beralasan apapun untuk berbuat yang menentramkan bagi jiwanya, tapi harus
diingat bahwa kebebasan apapun yang dimiliki manusia (kebebasan psikologis)
pasti memiliki batas yang menjadi hak orang lain di dalamnya.
Alasan
psikologis memang sering sekali menjadi alasan yang sangat kuat untuk
mengizinkan seseorang berbuat menyakitkan bagi orang lain atau bahkan yang
menyakitkan untuk dirinya sendiri. betapa sering kita mendengar pasien yang
diintruksikan untuk berhenti merokok oleh dokter, tidak mau menuruti perintah
tersebut karena merasa kepuasan psikologisnya terhalangi. Pernyataannya seperti
ini, “bagaiamana saya bisa menekan keinginan saya yang tak jarang berujung
depresi?” ujung-ujungnya alasan bahwa kematian pasti terjadi selalu menjadi
senjata pamungkas untuk tetap mempertahankan tradisi rokok yang mendarah daging
di dalamnya.
Motif
psikologis juga sering kali terjadi dalam percintaan. Kadang kala seseorang
mencintai seseorang yang padahal dia sudah mengetahui dan menyadari bahwa orang
yang dia cintai sudah menjadi miliki orang lain, bahkan tak jarang orang yang
menjadi kekasih hati dari orang yang ia cintai itu adalah sahabat sendiri.
ketika ditanya kenapa ia tetap melanjutkan perasaannya yang sangat rawan akan
menyakiti hati sang sahabat? Dia akan menjawab, “bagaimana saya akan menghalagi
diri saya dari hal yang saya senangi?”
Memang
seseorang berkewajiban untuk selalu menjaga jiwanya agar selalu tenang, tapi
perlu diingat menghargai dan menjaga jiwa orang lain juga merupakan tanggung
jawab sebagai manusia terlebih bagi seseorang yang sudah begitu mengerti jiwa
manusia. Bayangkan, jika semua manusia saling melepaskan diri dalam kebebasan
psikologis mereka. Tak peduli dengan perasaan orang lain, tidak peduli dengan
sakit hati yang mungkin dialami oleh orang-orang di sekitarnya, tentu tatanan
kehidupan akan rancu, kacau. Maka dengan demikian, setiap orang tentunya harus
memiliki kesadaran psikologis untuk tidak hanya mengerti dan menjaga hati
sendiri tapi juga ketentraman hati orang lain.
Post a Comment for "Desakralisasi Psikologi"