Jancok dan jaring kultural
Istighfar Atas Kebodohan
Kadang kala kita sering terjebak dalam tradisi orang lain. Entah
karena mengikut-ngikut atau budaya latah yang dimiliki. Itu semua tak
jarang membentuk karakter pada diri seseorang. Banyak contoh untuk hal
tersebut, namun dalam tulisan ini, saya ingin membahas salah satu diantaranya.
Sejak berdomisili di kota ini, saya mendapatkan banyak hal baru. Suasana baru
dan teman baru. Semua itu membentuk sikap maupun pola pikir saya. Dari tradisi
hingga bahasa, banyak hal yang mewarnai hidup saya di kota dengan budaya baru
ini.
Jancok. Inilah salah
satu bahasa yang kemudian menarik perhatian saya. Sejak pertama kali
mendengarnya dan kemudian mendapatkan pemahaman yang negatif, saya membenci
kata tersebut. Apalagi bahasa tersebut sangat sering dan masyhur dilontarkan,
terutama kalangan aktivis (atau mungkin yang lainnya). Pemahaman lebih jauh
saya pahami ketika salah seorang budayawan dari Jember mendatangi kampus saya.
Seorang yang pendukungnya disebut “Jancokers”. Sempat meguwahkan pola pikir
orang tersebut namun dalam naluri saya, bahasa tetap sebagai sebuah perwakilan
dari karakter seseorang.
Bagaimanapun saya menilai bahwa kata jancok adalah sesuatu yang
negatif, tapi karena komunitas yang saya geluti (sejak saya memasuki beberapa
komunitas), saya menjadi terbiasa dengan istilah tersebut. Setelah terbiasa,
saya menjadi sering pula menuturkannya. Apalagi jika berkumpul dengan
teman-teman komunitas. Sehingga kemudian, saya menjadi orang yang baru dengan
karakter orang lain. Saya menjadi orang dengan mulut yang sedikit-sedikit
bertutur: jancok. Memanggil maupun dipanggil dengan
istilah tersebut menjadi biasa-biasa saja.
Kebiasaan ini berlangsung cukup lama, sehingga saya benar-benar
menjadi “pemilik” istilah tersebut. Tapi satu hal yang tak bisa dihilangkan,
tabiat saya sebagai seorang yang bukan dari budaya asli tempat ini. Jancok
hanyalah bahasa orang lain yang kemudian menjadi bagian yang terserap di
tingkah saya. Setiap kali kesadaran saya atas keburukan istilah tersebut
mencuat, selalu komunitas membentuk kembali paradigma yang “aneh” namun saya
iayakan secara ilmiah.
Katanya, istilah tersebut adalah panggilan keakraban sesama
komunitas. Makna denotatif yang ada di dalamnya dibuat-buat menjadi konotatif.
Sehingga penggunaan seolah hal yang lumrah, bahkan tidak biasa kiranya jika
tidak memanggil dengan istilah tersebut. Saya hanya bisa mangut-mangut dan
semakin sering menuturkan istilah tersebut (sekali lagi karena bentukan
komunitas).
Hingga suatu saat yang menghantam kepala saya tiba. Saat itu, rasa
marah kepada seseorang membuat saya menuturkan istilah itu dengan penuh
emosional. JANCOK!!!, dengan nada yang keras dan begitu meyakinkan. Seorang itu
lantas pergi membawa raut muka kecewa dan sepertinya juga marah kepada saya.
Saat itu, saya langsung terdiam. Cukup lama. Saya merenungkan apa
yang baru saja saya lakukan. Astaghfirullah... sepontan merasa sangat
bersalah atas apa yang baru saja saya lakukan. Istilah tersebut ternyata secara
proses yang tidak saya sadari menjadi bagian yang cukup dalam dari karakter
saya (yang semula hanya ikut-ikut dan mungkin main-main). Segera saya menyadari
bahwa istilah itu bukan milik saya. Dia hanya bahasa orang yang dibentuk dalam
paradigma saya melalui jaring kultural yang begitu rumit. Tapi disini saya
belajar, ternyata budaya latah memang tak patut untuk dipelihara, apalagi
dipraktekkan. Saya harus memiliki karakteristik sendiri, dengan bahasa, budaya
dan ras yang saya miliki (bukan pinjaman maupun pemberian).
Sejak saat itu, saya meninggalkan istilah itu dari kehidupan saya.
Tak pernah lagi ingin menggunakannya. Dia telah menculik saya dari identitas
saya yang sesungguhnya. Terserah orang-orang ingin memaknakan istilah itu
sebagai apa. Itu adalah bagian dari bahasa mereka, bukan bahasa saya. bagi saya,
istilah itu adalah lambang kebobrokan.
Mungkin saya hanya salah satu dari orang luar yang sempat terjebak
di jaring kultural daerah ini, dan alhamdulillah berhasil kembali ke
posisi sebenarnya. Tapi di sana, masih banyak orang-orang dari berbagai daerah
di nusantara ini yang seharusnya mempertahankan identitas budaya daerah mereka,
terperangkap dalam jaring kultural daerah ini yang terhampar dalam
komunitas-komunitas.
Barangkali itulah salah satu kebodohan yang tak perlu dipelihara.
Kebodohan yang sering dianggap kecerdasan karena analisa ilmiah yang
“dipaksakan” oleh sebagaian orang. Sebagai seorang yang merasa terjebak dengan
istilah itu, saya mengajak kepada semua orang (terutama kepada mereka yang
bukan “pemilik” bahasa itu dan terperangkap dalam jaring kultural tradisi
komunitas) untuk kembali ke identitas bahasa mereka sendiri, karena bahasa itu
akan menentukan karakter seseorang.
_Menuju Gerbang Hijrah_
Jum’at, 27 Dzulhijjah 1434 H.
Post a Comment for "Jancok dan jaring kultural"