Mencegah Efek Domino Penangkapan Akil Mochtar
Seteleh tertangkapnya Akil Mochtar beberapa hari yang lalu di rumah
dinasnya, kini negeri kita tengah dihadapkan dengan persoalan konstitusional.
Tentunya ini terkait karena posisi Akil sebagai kepala di salah satu lembaga
tertinggi negara ini memiliki peran vital yang keputusannya dianggap final dan
absolut. Berbagai persoalan bangsa sudah banyak yang diputuskan melalui lembaga
tersebut, termasuk persoalan pemilihan umum diberbagai daerah di indonesia. Banyak
sekali kasus-kasus yang tidak selesai di KPU kemudian diketok MK. Sehingga
dengan demikian, pasca penetapan tersangka Akil, kita akan dikejutkan dengan
patologi baru berupa persoalan-persoalan yang pernah diputuskan MK. Inilah
kemudian yang kita sebut dengan efek domino.
Terjeratnya Akil sebagai salah satu tersangka suap memang
mengundang keperihatin berbagai kalangan. Kadang kala keperihatinan tersebut
positif dan kadang pula berbentuk negatif. Persoalan yang paling menonjol untuk
disoroti adalah bukan pada nominal korupsi, tapi pada posisi Akil sendiri yang
sangat vital, yakni sebagai ketua mahkamah konstitusi (MK). Tentunya disini ada
paradigma moralitas yang digunakan masyarakat dalam menilai kasus ini, yang
kemudian mengundang beragam komentar maupun persepsi. Beberapa kalangan
masyarakat meminta Akil dihukum seberat-beratnya, ini semua wajar. Dan tidak
berlebihan kiranya jika ketua MK sebelumnya melontarkan opsi hukuman mati untuk
Akil.
Disamping posisi Akil yang terjerat kasus suap, kasus narkoba juga
kini menguntit dirinya. Ini karena ditemukannya beberapa pil ekstasi di ruang
kerjanya. Hal tersebut membuat kasus Akil semakin memiriskan dan menambah
pesimisme masyarakat atas kebersihan lembaga negara. Kini, kita semua dibawa
pada persoalan pelik, yang mana mahkamah konstitusi sebagai salah satu penegak
demokrasi telah pincang dalam profesionalitasnya. Persoalan lebih besar akan
muncul jika membaca implikasi yang ditimbulkan. Dimana kita ketahui bahwa
beberapa kasus pilkada di daerah, banyak yang berakhir di MK. Dengan demikian,
putusan MK sejak kepemimpinan Akil, akan mengundang persepsi-persepsi negatif.
Dalam hal ini adalah “negosiasi transaksional”.
Terhitung sejak kepemimpinan Akil, ada banyak kasus Pilkada di
seluruh wilayah indonesia yang diselesaikan di MK. Kadangkala ketokan yang
diberikan MK sarat kontradiksi dengan hasil yang dikeluarkan KPU. Misalnya saja
pada pilkada kabupaten Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat (NTB). Pasangan SUFI
(Sukiman dan Lutfi) yang mengajukan banding ke Mahkamah Konstitusi atas
kemenangan ALKHOIR (Ali dan Khoir)
berujung pada pemenangan pasangan yang kedua. Hasil tersebut mengundang protes
dari berbagai kalangan masyarakat, hal itu dikarenakan ada banyak bukti atas
kecurangan yang dilakukan pasangan kedua tadi, namun begitu ganjil ketika MK
justru menetapkan kemenangan untuk mereka.
Kini setelah kasus Akil terungkap, maka tidak menutup kemungkinan
kasus di Lombok tadi akan kembali mencuat ke muka dan akan berujung pada
konflik sosial masyarakat, sebagaimana yang terjadi pada awal persoalan itu
muncul. Akan semakin memiriskan jika hal yang sama akan terjadi pada
daerah-daerah lain yang pemilihan umumnya diputuskan MK. Inilah yang saya sebut
“efek domino”, yang mana kasus ini akan bergulir seperti bola salju dan merusak
bangunan-bangunan demokrasi yang sudah berdiri sebelumnya. Dengan demikian,
dibutuhkan solusi kongkrit untuk hal tersebut.
Langkah presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam rangka menyelamatkan
MK patut diapresiasi. Namun demikian, kita tidak hanya membutuhkan solusi
wacana, namun adalah langkah kongkrit untuk menyikapi ini. Realisasi Perpu (terlepas
dari pro kontranya) untuk otoritas MK perlu segera dieksekusi. Saya tidak
menilai bahwa kita sudah terlalu berlebihan memberikan otoritas kepada MK,
hanya saja ada yang keliru dengan orang-orang yang menggerakkan otoritas
disana. Revitalisasi kader yang duduk di kursi MK harus segera digencarkan.
Proses seleksi secara kapasitas intelektual maupun moral harus menjadi
prasyarat yang penting.
Bukan berarti dengan semua ini MK harus dinilai negatif secara
keseluruhan, tapi harus segera melakukan evaluasi untuk perbaikan lembaga. Ini
demi bangsa indonesia. Tidak berlebihan pula jika dalam headline berita di
media massa menulis “runtuhnya benteng keadilan” untuk topik yang satu ini,
karena realita memang demikian. Lembaga independen negara tersebut harus
benar-benar menjadi benteng kokoh demokrasi dengan menjunjung objektifitas
dalam setiap keputusan. Satu pelajaran berharga bagi MK kahususnya dan bangsa
indonesia umumnya, bahwa kita harus sadar dengan posisi kita masing-masing,
apalagi yang berposisi di kursi atas sana, yang pada tangan dan lidah mereka
rakyat bergantung. Kemana lagi akan mengadu, jika ibu telah terbiasa membunuh
anak-anak?
Efek domino atas terjeratnya Akil dalam jaring skandal suap ini
harus segera dihentikan. Pengusutan atas semua perkara (khususnya Pilkada)
segera dilakukan pemerintah. Ini untuk benar-benar meluruskan filsafat
demokrasi kita. Apalah artinya kita berdemokrasi jika keputusan dalam tubuh
kita dihasilkan melalui negosiasi transaksional. Apalah artinya kita memiliki
konstitusi, jika aturan-aturannya penuh dengan tendensi kepentingan-kepentingan
pribadi.
Di samping itu, untuk menghentikan efek domino tersebut,
implementasi lima langkah yang ditawarkan oleh Presiden dalam rangka
menyelamatkan MK segera dilakukan. Mengadili Akil Mochtar dengan seberat-beratnya
merupakan hal yang harus ditunaikan. Perosalan ini bukanlah persoalan kasus
suap biasa, tapi ini mencakup identitas bangsa sebagai negara demokrasi juga
moralitas MK sebagai lembaga tertinggi. Kita berharap kasus MK ini membuat
bangsa indonesia belajar dan mengevaluasi diri. Efek domino yang ditimbulkan
semoga cepat terselesaikan dan tidak menimbulkan patologi sosial baru yang
lebih luas. Semoga!
*telah dimuat di koran cetak Malang Post, edisi kamis, 10 Oktober 2013
Post a Comment for "Mencegah Efek Domino Penangkapan Akil Mochtar"