Iman, Taqwa dan Mujahadah
PENDAHULUAN
Latar belakang
Eksistensi manusia di dunia tidak pernah terlepas dari proses
intraksi secara vertikal maupun horizontal. Hubungan harmoni antara manusia
merupakan kewajiban sebagaimana halnya intraksi dengan Tuhan diutamakan.
Keduanya harus seimbang. Hubungan manusia dengan tuhannya pastinya diawali
dengan kepercayaan kepada Tuhan. Dalam hal ini agama memiliki konsep iman yang
dengannya, seorang hamba bisa melakukan komunikasi dengan Tuhan mereka.
Dalam terminologi tasawuf, ada beberapa tahapan dalam rangka menuju
sang khalik. Diantara tahapan pertama yang mesti dilalui oleh seorang hamba
adalah iman, takwa dan mujahadah. Ketiga terminologi ini adalah tahapan-tahapan
untuk bisa menuju ilahi. Setelah seorang beriman, maka ia dituntut untuk
bertakwa, agar nantinya manusia bisa melewati maqam mujahadah yang memang
membutuhkan tekad yang kuat serta kesabaran seorang hamba.
Prosesi manusia sebagai mahluk sosial tidak semata-mata harus kabur
dengan konsep tasawuf di atas. Karena pada dasarnya, tasawuf adalah sebuah
konsep pengetahuan yang membimbing manusia menuju perbaikan intraksi vertikal
horizontal. Sehingga mempelajari tasawuf merupakan keniscayaan. Memang secara
konsep keilmuan, tasawuf berkutat pada tataran hubungan manusia dengan Tuhan.
Namun demikian dalam tataran implementasi, tasawuf memberikan kontribusi nyata
dalam perbaikan intraksi manusia, tidak hanya kepada Tuhan tapi juga kepada
sesama manusia. Artinya ada implikasi logis yang diciptakan tasawuf dalam
membentuk karakter manusia sosialis.
Dalam makalah ini, akan dipaparkan tentang iman, takwa dan
mujahadah. Pembahasan ini bertujuan untuk memberikan deskripsi tentang ketiga
terminologi tersebut serta keutamaan dan implikasinya. Kajian dititikberatkan
dalam paradigma tasawuf, Sehingga mampu menjadi rujukan para salik maupun para
pengkaji ilmu tasawuf dalam rangka meningkatkan pengetahuan maupun kualitas
diri. Semoga makalah ini bermanfaat bagi semuanya. Atas segala kekurangan, kami
mohon maaf yang sebesar-besarnya.
Rumusan masalah
1.
Bagaimana
konsep iman dalam ilmu tasawuf?
2.
Bagaimana
penjelasan konsep takwa?
3.
Bagaimana
penjelasan konsep mujahadah?
Tujuan
1.
Untuk
mengetahui konsep iman dalam ilmu tasawuf
2.
Untuk
mengetahui konsep takwa
3.
Untuk
mengetahui konsep mujahadah
PEMBAHASAN
A.
Iman
Iman secara etimologi berasal dari bahasa arab yang berarti
percaya. Iman merupakan hal yang dengannya seorang diakui keislamannya atau
eksistensi seseorang pada suatu agama. Terminologi iman dapat kita temukan pada
hampir semua agama[1].
Dalam agama islam, iman merupakan hal yang harus dimiliki oleh semua umat
islam. Secara terminologi, iman adalah membenarkan segala apa yang dibawa oleh
nabi muhammad SAW dari Allah SWT[2].
Definisi Iman berdasarkan hadist merupakan
tambatan hati yang diucapkan dan dilakukan merupakan satu kesatuan.
Iman memiliki prinsip dasar segala isi hati, ucapan dan perbuatan sama dalam
satu keyakinan, maka orang - orang beriman adalah mereka yang di dalam hatinya,
disetiap ucapannya dan segala tindakanya sama, dengan demikian orang beriman
dapat juga disebut sebagai orang yang jujur atau orang yang memiliki prinsip,
pandangan dan sikap hidup.
Para imam dan ulama telah mendefinisikan
istilah iman ini, antara lain, seperti diucapkan oleh Imam Ali bin Abi
Talib: "Iman itu ucapan dengan lidah dan kepercayaan yang benar dengan
hati dan perbuatan dengan anggota." Aisyah r.a. berkata:
"Iman kepada Allah itu mengakui dengan lisan dan membenarkan dengan hati
dan mengerjakan dengan anggota." Imam al-Ghazali menguraikan
makna iman: "Pengakuan dengan lidah (lisan) membenarkan pengakuan itu
dengan hati dan mengamalkannya dengan rukun-rukun (anggota-anggota)”[3].
Iman dalam pengertian sufi adalah sesuatu (Nur atau Cahaya Ilahi)
yang masuk ke dalam hati insan yang telah siap menerimanya (karena merasa butuh
kepada-Nya). Kesiapan itu ditandai dengan kehendak dan harapan bertemu
dengan-Nya (oleh karena itu, insan yang demikian disebut murid, yaitu orang
yang ingin bertemu Tuhannya.
Bagi sufi, Nur Ilahi ini haknya memang berada di dalam hati.
Sedangkan semua yang lain harus dikeluarkan dari dalam hati (makna tashfiyatul
qalbi) sehingga yang senantiasa diingat-ingat dan dihayati dalam rasa hati
hanyalah Keberadaan Zat Al-Ghaib Yang Mutlak Wujud-Nya saja. Nur Ilahi ini lalu
dirasakan membutir di dalam rasa hati menjadi butiran iman. Mereka yang telah
mencapai maqam ini biasa disebut Asysyaththar.
Dengan Nur Ilahi ini, hati seorang sufi menjadi seakan-akan
memandang kepada Wajah-Nya (tawajjuh), yaitu merasakan Keberadaan-Nya
secara jelas dan nyata dalam rasa hati, di dalam setiap amal dan perbuatannya
di mana saja, kapan saja, dan sedang dalam kondisi apa pun. Dengan cara inilah,
semua amal dan perbuatannya dapat terhubung erat dan menyatu dengan Tuhannya.
Dalam keadaan demikian, Tuhan selalu membuatnya melakukan perbuatan yang
dikehendaki-Nya[4].
Lompatan iman
Mereka, para sufi, mengalami pengalaman lompatan iman (yaitu
menyatunya ilmu tauhid, takwa, khusyu', ihsan dan ikhlas, dalam rasa hati)
dalam pelaksanaan aturan-aturan formal agama yang disampaikan lewat guru (mursyid)
kepadanya. Terutama sekali, lompatan iman ini terealisasi dalam hal menegakkan
salat untuk mengingat-ingat keberadaan Diri Ilahi (bukan mengingat-ingat arti
bacaan salat). Bahkan, bisa dikatakan, lebih kepada mengintai-intai keberadaan
Diri-Nya sehingga dirinya (si pelaku shalat) tidak lagi merasa melakukan salat,
karena perhatiannya sepenuhnya terserap kepada Diri-Nya. Hanya salat yang
demikian saja yang dipastikan dapat mencegah diri dari perbuatan yang keji dan
munkar (tanha 'anil fahsya wal munkar)[5].
B.
Takwa
Pengertian
Begitu banyak ayat-ayat Al-quran yang menjelaskan tentang keutamaan
takwa. Diantaranya, “sesungguhnya yang paling mulia dari kamu sekalian di sisi
Allah adalah orang yang paling bertaqwa”. (QS. Al-Hujarat 13). Menurut
kebanyakan ulama’ takwa adalah mengerjakan seluruh perintah Allah dan menjauhi
segala larangan-Nya. Menurut Nashr Abadzi, yang dimaksud dengan taqwa adalah
seoang hamba yang tidak takut kepada apapun kecuali hanya kepada Allah . Sahal
berkata, “Barang siapa yang menginginkan agar taqwanya benar, maka ia harus
meninggalkan semua perbuatan dosa.
Abu Sa’id al-Khudri berkata, “Seorang laki-laki datang kepada
RasuluLlah SAW seraya meminta nasihat, ‘Wahai Nabi Allah, wasiyatilah diriku ‘.
Beliau menjawab, “Wajib atasmu bertaqwa kepada Allah karena sesungguhnya taqwa
merupakan kumpulan semua kebaikan. Wajib atasmu untuk berjuang karena berjuang
adalah ibadah/rahbaniyah orang islam. Dan wajib atasmu untuk selalu ingat
kepada Allah karena mengingat Dia adalah cahaya bagimu”[6]
Sedang menurut Thalq bin Habib, yang dimaksud taqwa adalah perilaku
taat kepada Allah di atas cahayanya. Diriwayatkan dari Hafs, ia berkata,”Taqwa
harus ditanamkan dalam perbuatan yang halal lagi murni, bukan pada yang lain.
Al Washiti mengatakan, “Yang diamksud taqwa adalah orang yang
selalu memelihara ketaqwaannya. Orang yang taqwa dapat diperumpamakan seperti
Ibnu Sirin. Ketika ia membeli 40 takar minyak samin, seseorang mengeluarkan
tikus dari timbangan tersebut. Inbu Sirin bertanya, ‘dari timbangan mana engkau
keluarkan tikus tersebut ? pemuda itu menjawab ‘aku tidak tahu’. Setelah itu
Ibnu Sirin menuangkan semua minyak ke tanah”. Dalam cerita lain Abu Yazid
pernah membeli minyak parfum di kota Hamdzan dan mendapatkan kelabihan. Ketika
ia pulang ke kota Bustam, dia melihat dua semut di dalam parfum tersebut.
Setelah itu ia kembali ke kota Hamdzan dan meletakkan dua semut itu ke tempat
penjual.
keutamaan
Sahal bin Abdullah berpendapat, tak ada seseorangpun yang dapat
menolong kecuali Allah, tak ada argumrntasi yang benar kecuali Rasulullah, tak
satupun dari modal persiapan kecuali taqwa dan tak satupun amal kebaikan
kecuali sabar”.
Menurut Al-Kattani, dunia diciptakan agar manusia menerima cobaan
dan akhirat diciptakan agar manusia bertaqwa. Al Jariri berkata, “Barang siapa
yang membiarkan keputusan antara manusia dan Allah Ta’ala tanpa dasar taqwa dan
pendekatan diri kepada Allah, maka dia tidak akan sampai kepadaNya.”
Nashr Abadzi berkata, “Barang siapa yang selalu bertaqwa, maka dia
tidak merasa keberatan meninggalkan dunia sebagaimana firman Allah Ta’ala, ‘dan
sesungguhnya kampung akhirat adalah lebih baik agi orang yang bertaqwa apakah
mereka tidak memikirkannya”’.(QS. Al-An’am 32)
Sebagian ulama berkata, “Barang siapa yang mampu mewujudkan taqwa,
maka hatinya akan dimudahkan oleh Allah untuk berpaling dari kemewahan dunia”.
Menurut Abu Bakar Muhammad Ar-Rudzabari yang dimaksud taqwa adalah meninggalkan
sesuatu yang dapat menjauhkan diri dari Allah Ta’ala. Menurut Dzunun Al-Mishri
yang dimaksud orang yang taqwa adalah orang ang tidak mengotori jiwa bathin
dengan interaksi sosial. Dalam kondisi yang demikian maka orang tersebut akan
mengadakan kontak dengan Allah dan dapat berkomunikasi dengan-Nya.
Seorang laki-laki yang bertaqwa dapat dijadikan standar apabila
memenuhi tiga hal. Pertama tawakal yang baik dalam hal yang tidak
mungkin diperoleh. Kedua, ridha yang baik dalam hal yang telah
diperoleh. Ketiga, sabar yang baik dalam hal yang telah lewat.
Abul Husain Al-Zunjani berkata, barang siapa yang memiliki modal
taqwa, maka berbagai ungkapan sifat jelek akan tertolak”.
Ibnu ‘Atha’ berkata, “taqwa terbagi menjadi dua yaitu taqwa lahir
dan taqwa bathin. Taqwa lahir adalah menjauhkan diri dari hal-hal yang
dilarang, sedangkan taqwa bathin adalah niat dan ikhlash”. Pembagian takwa di
ini sejalan dengan keterangan al-Ghazala tentang takwa. Dalam hal ini kita bisa
melihat paradigma al-ghazali tentang takwa dalam kitab Bidayatul Hidayah.
Dalam kitab tersebut, beliau memaparkan bahwa bidayatul hidayah itu adalah zhohiratut
taqwa (ketakwaan zahir) dan akhirnya adalah bathinatut taqwa
(ketakwaan bathin)[7].
C.
Mujahadah
Mujahadah secara bahasa berarti sungguh-sungguh, berjuang. Artinya,
terminologi ini menunjuk kepada kewajiban orang muslim untuk berjuang dalam
agamanya, baik secara lahir maupun bathin. Namun demikian, mujahadah dalam terminologi
tasawuf lebih condong dalam perjuangan batin, yakni bagaimana berjuang dalam
peperangan melawan hawa nafsu. Mengenai pengertian mujahadah, akan dibahas
dibawah ini.
Ta’rif (definisi) mujahadah menurut arti bahasa, syar’i, dan
istilah ahli hakikat sebagaimana dimuat dalam kitab Jami’ul Ushul Fil-Auliya,
hal 221[8] :
أَمَّاالْمُجَاهَدَةُ فَهيَ فِي
اللُّغَةِ الْمُحَارَبَةُ وَفِي الشَّرْعِ مُحَارَبَةُ أَعْدَآءِ اللهِ
, وَفِي اصْطـِلاَحِ أَهْلِ الْحَـقِـيْقَة مُحَــارَبَةُ النَّفـْسِ
الأَمَّارَةِ بِالسُّوْءِ وَتَحْمِيْلُهَا مَا شَقَّ عَلَيْـهَا ممَّا هُوَ
مَطْلـُوْبٌ شَرْعًا . وَقَالَ بَعْضُـهُمْ : الْمُـجَاهَدَةُ مُخَالَـفَةُ
النَّفْسِ , وَقَالَ بَعْضُهُمْ : المـُجَاهَدَةُ مَنْعُ النَّفْس عَنِ
الْمَـأْلُوْ فَاتِ
“Arti mujahadah menurut bahasa adalah perang, menurut aturan syara’
adalah perang melawan musuh-musuh Alloh, dan menurut istilah ahli hakikat
adalah memerangi nafsu amarah bis-suu’ dan memberi beban kepadanya
untuk melakukan sesuatu yang berat baginya yang sesuai dengan aturan syara’
(agama). Sebagian Ulama mengatakan : "Mujahadah adalah tidak
menuruti kehendak nafsu”, dan ada lagi yang mengatakan: “Mujahadah adalah
menahan nafsu dari kesenangannya”.
Dasar-dasar mujahadah
a.
Firman
Alloh Ta’ala QS. 5 - Al Maaidah : 35 :
يَا أَيُّهَا
الَّذِينَ آَمَنُوا اتَّقُوا اللهَ وَابْتَغُوْآ إِلَيْهِ الْوَسِيلَةَ
وَجَاهِدُوا فِي سَبِيلِهِ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ ( المائدة-35(
“Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Alloh
dan carilah jalan yang mendekatkan diri kepada-Nya dan berjihadlah pada jalan-NYA
agar supaya kamu sekalian mendapat keberuntungan.
b.
Firman
Alloh Ta’ala : QS. 29 Al Ankabut: 69
وَالَّذِينَ
جَاهَدُوا فِينَا لَنَهْدِيَنَّهُمْ سُبُلَنَا وَإِنَّ اللهَ لَمَعَ
الْمُحْسِنِينَ (العنكبوت : 69 (
“Dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridoan) Kami,
benar-benar akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami. Dan
sesungguhnya Allah benar-benar beserta orang-orang yang berbuat baik”. Q.S. 29
Al-Ankabut : 69.
c.
Hadits
Nabi :
رَجَعْنَا
مِنَ الْجِهَادِ اْلأَصْغَرِ اِلَى الجِهَادِ اْلأَكْبَرِ , قَالُوْا يَارَسُوْلَ
اللهِ وَمَا الْجِهَادُ اْلأَ كْبَرِ ؟ قَالَ : جِهَادُ
النَّفْسِ )رواه البيهقى عن جابر(
“Kita baru kembali dari perang kecil akan menghadapi perang
besar. Para Shahabat bertanya : wahai Rosulalloh gerangan apakah
perang besar itu ? Rosululloh menjawab: “Perang melawan Nafsu”.
d.
Hadits
Nabi :
الْمُجَاهِدُ مَنْ جَاهَدَ نَفْسَهُ فِي
اللهِ عَزَّ وَجَلَّ. )رَوَاهُ التّرْمِذِى وَالطَّبْرَانى وَابْنُ
حِبَّانَ وَالْحَاكِمُ عَنْ فَضَالَةَ بن عُبَيْدٍ ، حسن صحيح(
Orang yang berjihad (bermujahadah) adalah orang yang memerangi
nafsunya dalam (pendekatan dirinya kepada) Alloh. (HR At-Tirmidzi, At-Thabrani,
Ibnu Hibban dan Al-Hakim, dari Fadlolah bin ‘Ubaid).
Mujahadah dalam paradigma tasawuf merupakan salah satu tahapan
menuju ilahi. Mujahadah ditandai dengan usaha keras si murid dalam
mensucikan batinnya dari kepentingan-kepentingan dunia. Sehingga dengan
demikian, mujahadah membutuhkan keteguhan jiwa, kesabaran, sebagaimana
dikatakan Muhammad bin Ibrahim mengutip pernyataan imam al-Ghazali: yang
terpenting dari mujahadah adalah tekad yang kuat, karena untuk melawan syahwat
harus dengan kesungguhan dan kesabaran[9]. Dalam
kitab Ihya’ Ulumuddin, imam al-Ghazali memposisikan mujahadah sebagai
kunci hidayah[10].
الْمُجَاهَدَةُ مِفْتَاحُ الْهِدَايَةِ لاَمِفْتَاحَ
لَهَا سِوَاهَا
Mujahadah
adalah kunci (pintu) hidayah, tidak ada kunci hidayah selain mujahadah.
Keutamaan mujahadah
Dari
Abu Sa’id Al-Khudri diceritakan bahwa ia berkata, “Rasulullah SAW pernah
ditanya tentang seutamanya jihad, maka dijawab, ‘Kalimatu haqqin ‘inda
sulthaani jaa’ir”. Yang artinya, ‘kalimat yang adil yang disampaikan
kepada penguasa yang lalim’”.
Tanpa
terasa kedua mata Abu sa’id mengeluarkan air mata.
Syaikh
Abul Qasim Al-Qusyaairi berkata, “Saya pernah mendengar Ustadz Abu ‘Ali
Addaqaaq berkata,”Barang siapa
menghiasi lahiriahnya dengan mujahadah, maka Allah
akan memperbaiki bathiniahnya dengan musyahadah. Ketahuilah
bahwa seseoang yang dalam awal perjalanannya tidak
mengalami mujahadah maka dia tiak akan mendapatkan lilin yang menerangi
jalannya”. Dengan demikian, mujahadah adalah kunci untuk menuju muasyahadah.
Syaikh
Abul Qasim Al-Qusyairi pernah mendengar Ustadz Abu ‘Ali Addaqaaq semoga Allah
merahmatinya berkata,”Barang siapa dalam permulaannya tidak pernah berdiri,
maka pada akhirnya dia tidak akan pernah duduk”. Beliau juga pernah
mengatakan bahwa gerak membawa barokah atau gerak adalah barokah itu sendiri.
Gerak lahir menurut beliau mengharuskan timbulnya barokah rahasia.
Menurut
Hasan Al-Qazzaz menerangkan bahwa masalah mujahadah ini,, dibangaun atas
tiga hal, -hendaknya tidak makan kecuali benar-benar membutuhkan / lapar,
-tidak tidur kecuali bnar-benar mengantuk, -dan tidak berbicara kecuali
benar-benar terdesak (mengharuskan).
Syaikh
Al-Qusyairi berkata, Saya pernah mendengar Ibrahim bin Adham
berkata, “Seseorang idak akan mendapatkan derajat orang-orang salih hingga
mampu mengatasi enam rintangan, 1. menutup pintu nikmat dan membuka pintu
kesulitan. 2. menutup pintu kemuliaan dan membuka pintu kehinaan. 3. mentup
pintu istirahat dan membuka pintu perjuangan. 4. menutup pintu tidur dan
membuka pintu terjaga. 5. mentup pintu kekayaan dan membuka pintu kefakiran. 6.
menutup pintu angan-angan dan membuka pintu persiapan menjelang kematian”[11].
Seorang yang telah berhasil melewati tahapan mujahadah, maka dia
akan digelari mujahidun atau mujahidat. Yakni jiwa-jiwa yang telah kokoh dalam
kesungguhan mereka memperjuangkan ajaran-Nya dengan mencurahkan pengorbanan
berupa harta benda, jiwa, tenaga, pikiran, waktu dan fisik demi mengharapkan
keridhaan, kecintaan, dan perjumpaan-Nya serta kerahmatan bagi seluruh alam
semesta raya. Implikasinya, jiwa ini akan senantiasa mendorong kepada
menegakkan kebenaran, kesalihan dan kerahmatan-Nya baik dalam diri sendiri
maupun orang lain dan lingkungannya[12].
PENUTUP
Kesimpulan
1.
Iman
dalam pengertian sufi adalah sesuatu (Nur atau Cahaya Ilahi) yang masuk ke
dalam hati insan yang telah siap menerimanya (karena merasa butuh kepada-Nya).
Kesiapan itu ditandai dengan kehendak dan harapan bertemu dengan-Nya (oleh
karena itu, insan yang demikian disebut murid, yaitu orang yang berkehendak
bertemu Tuhannya.
2.
Takwa
adalah sikap kehati-hatian seorang hamba agar terhindar dari perbuatan yang
dilarang oleh agama, serta selalu tunduk pada perintah Allah yang dibawa
melalui rasul-Nya yang mulia.
3.
Adapun
mujahadah, adalah tahapan dalam konsep tasawuf yang harus dilalui oleh seorang
sufi. Mujahadah ditandai dengan tekad kuat si murid untuk menuju Ilahi tanpa
mau mengalah terhadap jebakan-jebakan nafsu yang membawa kepada keburukan.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Ghazali.
Ihya’ Ulumuddin (Juz I). __________ al-Haromain
Al-Ghazali.
Bidayatul Hidayah. 2010. Jakarta: Dar al-Kutub al-Islamiah
Abdurrahim Manaf. Kitabu as-Sya’adah, fi Tauhidil Ilahiyah._______
Jakarta: Maktabah Sya’diah Putra.
Bakran, Hamdani. Psikologi Kenabian, Memahami Eksistensi Jiwa
(Seri 2). 2006. Yogyakarta: Daristy
Muhammad
bin Ibrahim. Syarhul Hikam (Juz II).______ Surabaya. Al-Hidayah
http://netlog.wordpress.com
[2] Abdurrahim Manaf.
Kitabu as-Saadah.fi at-Tauhidil Ilahiyah. Maktabah Sya’diah Putra,
Jakarta. Tanpa tahun. Hal. 4
[3] Loc. Cit.
[4] http://netlog.wordpress.com/category/iman-dalam-pandangan-tasawuf/ akses tanggal 21 september 2013
[5] Ibid
[6] Risalah
Qusyaoriah (terjemahan), www.risalahqusyairiah.wordpress.com. Akses tanggal
22 september 2013
[7] Al-Ghazali. Bidayatul
Hidayah. 2010. Jakarta: Dar al-Kutub al-Islamiah. Hal. 13-14
[9] Muhammad bin
ibrahim. Syarhul Hikam (al-Hidayah. Surabaya) hal. 56
[10] Al-Ghazali. Ihya’
Ulumuddin (juz I) hal. 39
[11] Risalah Qusyairiah
(terjemahan), www.risalahqusyairiah.wordpress.com. Akses tanggal
22 september 2013
[12] Hamdani
Bakran. Psikologi Kenabian, Memahami Eksistensi Jiwa. 2006. Yogyakarta:
Daristy. Hal. 58
Post a Comment for "Iman, Taqwa dan Mujahadah"