Pendidikan Politik Untuk Masyarakat*
Pemilihan umum telah ramai dilaksanakan di
daerah-daerah yang tersebar di seluruh pelosok negeri. Momen pemilihan umum
yang juga sering diistilahkan sebagai pesta rakyat memiliki nilai-nilai
demokrasi yang menjadi system bangsa ini. Namun tatkala demokrasi tak lagi
melambangkan kedamaian dan toleransi, pertanyaan demi pertanyaan muncul.
Kiranya apa yang diinginkan bangsa Indonesia melalui demokrasi jika yang
dihasilkan justru anarkisme yang berujung konflik horizontal kemasyarakatan?
Berkaca pada pemilu kepala daerah di kabupaten Lombok Timur
Nusa Tenggara Barat. Beberapa jam setelah proses perhitungan cepat (quick
count) selesai dilakukan, kalaim kemenangan muncul dari dua peserta
pemilihan yang hampir memiliki prosentase suara yang sama. Sehingga orasi
kemenangan dilakukuan oleh kedua kubu tersebut. Kompoi kendaraan pada sore
keesokan hari pasca pemilihan juga Nampak di jalanan. Anehnya, klaim itu begitu
kuat dan sama-sama berkeyakinan menang. Dari permasalahan sederhana itu muncul
pertanyaan, bukankah hasil pemilu sebenarnya merupakan tugas KPU secara utuh?
Kejadian ini adalah salah satu dampak ketidakdeewasaan
berpolitik yang tengah berlangsung di negeri ini. Masyarakat belum memahami
alur demokrasi secara utuh. Serta segala bentuk konstitusi-konsitusi terkait
pemilu gagal tersosialisasi kepada masyarakat. Ini bukan hanya kekanak-kanakan
masyarakat, namun juga “keteledoran” pemerintah yang tidak sempurna dalam
melakukan sosialisasi terkait pemilu.
Di sisi lain. Konflik horizontal yang Nampak pasca
pemilu adalah munculnya disintegrasi kemasyarakat dalam intraksi social. Terlihat
dari adanya sikap antagonisme masyarakat dengan masyarakat lainnya karena
memiliki pilihan yang berbeda. Tataran terkecil saja dalam masyarakat bisa
terjangkit hal tersebut. misalnya saja seorang tetangga saya yang menjadi
bermusuhan dengan saudaranya hanya karena suara hati yang berbeda saat
melakukan pemilihan di TPS.
Problematika seperti ini sungguh merupakan implikasi
yang menakutkan jika memandang demokrasi dengan paradigma umum. Karena yang
pada dasarnya hal ini merupakan persoalan politik, ternyata memiliki dampak
social dan psikologis. Masyarakat dengan adanya persoalan ini harus segera
mendapatkan pendidikan politik.
Demokrasi, sungguh merupakan system yang telah ada di
dunia dengan perangkat-perangkat baik yang ada di dalamnya. Penerapannya untuk
sebuah institusi ataupun Negara juga dipastikan memiliki dampak yang baik pula
tatkala nilai-nilainya bisa terinternalisasi dengan benar. Hanya saja, ada
beberapa hal yang harus diperhatikan oleh pemerintah terkait proses pematangan
demokrasi di Negara ini.
Ada baiknya kita mengkaji pernyataan Plato, seorang
filsuf yunani. Beliau mengatakan, “demokrasi yang tak terkendali adalah anarki”.
Dari penyataan ini kita bisa menarik statemen bahwa demokrasi dengan segala
nilai-nilai pluralitasnya tetap memiliki batasan-batasan yang harus
diperhatikan dalam implementasinya. Karena ketika masyarakat memaknai demokrasi
sebagai system yang mana mereka menjadi subjek sekaligus objek tanpa menyadari
batasan-batasan yang ada. Maka kejadiannya akan seperti di atas.
Dalam hal ini, konstitusi adalah kekuatan yang akan
membatasi gerak kebebasan masyarakat sebagai subjek demokrasi. Konstitusi
disini tentunya juga konstitusi yang objektif yang tak ada kepentingan pihak
tertentu di dalamnya. Harus senantiasa ada pengawalan dari pihak-pihak yang
membela sepenuh hati kepada kepentingan rakyat.
Jika demokrasi telah tegak dengan konstitusi yang
sehat, maka konflik-konflik dalam proses ataupun eksekusi kegiatan demokarasi
akan menjadikan tujuan demokrasi tidak kabur dan berujung konflik. Masyarakat
akan mampu memahami alur yang diinginkan bersama. Maka dari itu, pemerintah
harus bersungguh-sungguh dalam menangani persoalan pemilu ini. Terlebih pemilu
adalah salah satu mekanisme demokrasi yang begitu penting dalam proses
keberlangsungan suatu Negara.
Untuk menjadikan Negara Indonesia sukses berdemokrasi
dengan system desentralisasinya, maka penjelasan di atas penting untuk
diperhatikan. Hal ini karena proses sosialisasi tentang pemilu masih minim. masih
ada masyarakat yang sering dihadapkan dengan praktik-praktik yang menyimpang
seperti politik uang. Sehingga mentalitas masyarakat cenderung transaksional.
Sebagai contoh penulis pernah melihat sebuah banner terpampang di perbatasan
sebuah desa dengan bertuliskan, “menerima serangan fajar”.
Mental-mental masyarakat yang seperti itulah yang
harus segera diantisipasi pemerintah dalam rangka mempertahankan nilai-nilai
luhur dalam system demokrasi. Untuk itu,
pemerintah untuk kedepannya, harus segera menerapkan dua hal terkait
revitalisasi system demokrasi di daerah-daerah. Pertama, pemerintah harus aktif
dan efektif dalam sosialisasi konstitusi pemilihan umum. Sehingga masyarakat
tidak bertindak gegabah dan bisa memahami alur proses demokrasi. Kedua,
pemerintah harus bertindak tegas terhadap pelaku kecurangan dalam pemilihan
umum.
Di samping dua hal di atas, pemerintah juga harus
melakukan pendidikan politik untuk masyarakat. Sehingga segala hal yang tidak
boleh dilakukan di dalam proses berdemokrasi bisa diantisipasi dalam praktik
masyarakat. Pun demikian, pemerintah dari sisi pendidikan harus mensinergikan
bidang keilmuan politik dengan bidang-bidang lainnya, sehingga diharapakan
kedepannya akan ada kajian-kajian sosiopolitik, psikoplitik yang dilakukan oleh
para akademisi untuk diinternalisasikan dalam kehidupan bermasyarakat.
Dengan
demikian pemerintah sebagai pengarah demokrasi dalam masyarakat harus sadar dan
peduli bahwa momen demokrasi bukan hanya sebatas pesta rakyat untuk makan-makan
dan meramaikan tempat umum guna menentukan pemimpin mereka, namun lebih jauh
untuk bagaimana proses demokratisasi dalam pembangunan berjalan efektif dan
sehat.
*telah dimuat di koran Malang Post edisi tanggal bulan mei
*telah dimuat di koran Malang Post edisi tanggal bulan mei
Post a Comment for "Pendidikan Politik Untuk Masyarakat*"