Menangkal Virus Religionomik*
Sudah hal biasa jika setiap mendekati momen ramadhan
maupun hari-hari keagamaan lainnya selalu dibarengi dengan kenaikan harga
barang pokok. Perbandingan harga pada hari-hari mendekati perayaan keagamaan
dengan hari-hari biasa terkadang sangat mencenangkan, dari 50-100 persen!.
Fenomena ini selalu menjadi permasalahan social yang menjadi pemandangan wajar.
Namun demikian, kewajaran ini akan menjadi momok yang menakutkan mengingat yang
akan menjalankan ibadah pada hari-hari tersebut bukanlah orang-orang yang
ekonominya matang, namun juga disana ada kaum-kaum miskin dari golongan ekonomi
menengah bawah.
Ramadhan, seolah menjadi hak orang-orang yang
berkantong tebal, demikian pula dengan natal dan perayaan lainnya. Entah kenapa
kapitalisme seolah muncul pada momen yang seharusnya orang mengukur tingkatan
idealitas mereka. hari suci menjadi sasaran empuk untuk pasar kapitalis. Toko-toko,
mal-mal semua ramai dikunjungi tatkala hari-hari mendekati hari raya.
Ada cerita lucu yang biasa disampaikan para dai dalam
mengisi bulan ramadhan. Jika pada malam pertama ramadhan jamaah pasti ramai
mengisi shaf, maka pada malam-malam selanjutnya, shaf-shaf semakin
maju (menandakan jamaah berkurang). Ternyata, jamaah tarawih telah berpindah ke
pasar-pasar umum di pinggir jalan (biasanya berdekatan dengan masjid).
Di beberapa daerah, tradisi pasar malam menjelang
ramadhan sudah merupakan rutinitas. Bahkan cenderung diregulasikan oleh
pihak-pihak tertentu. Masyarakat yang mau membuka lapak pakaian diwajibkan
mendaftar dengan menyerahkan sejumlah uang. Kadangkala biaya sampai setengah
keuntungan setiap hari bagi seorang pedagang. Ada apakah dengan momen-momen suci
diatas. Kenapa sakralitas tidak lagi menjadi inti, namun bagaimana momen
tersebut dimaksimalkan untuk memperoleh keuntungan sebesar-besarnya?
“Agama telah dikomoditaskan”. Begitulah kalimat yang
sering saya dengar keluar dari mulut seorang budayawan, Romo Agus Sunyoto.
Momen-momen keagamaan menjadi ajang pencarian keuntungan bagi sejumlah pihak.
Itulah yang kini menjadi warna dalam setiap mendekati ramadhan, papar beliau. Romo
Agus mengistilahkan fenomena ini dengan istilah jaman “Religionomik”. Yakni
sebuah masa ketika orang-orang menjadikan agama sebagai alat mencari keuntungan
sebesar-besarnya.
Barangkali ajaran-ajaran agama telah menjadi usang
dalam dada pemeluknya, sehingga sakralitas hari suci tidak lagi menjadi cermin
untuk berkaca akan kualitas di hadapan yang maha kuasa. Keberadaannya bak hanya
sebatas lahan jual beli maupun pertarungan antar pengusaha bahan pokok dan
pakaian.
Beberapa pekan lagi, kita akan memasuki bulan
ramadhan. Di tivi maupun alat komunikasi lainnya, telah banyak diberitakan
tentang bahan pokok yang mulai naik. Ini menjadi warna yang ikut mewarnai kegelisahan
masyarakat akan naiknya harga BBM. Virus religionomik seperti ini biasa merebah
mendekati ramadhan.
Jika berbicara ramadhan, sungguh telah banyak
disampaikan oleh para kiai, ustadz dan dai-dai lainnya tentang keutamaan bulan suci
ini. Bulan ramadhan adalah bulan introspeksi diri, memperbaiki diri, dan
menabung amal kebaikan untuk bekal akhirat. Ramadhan merupakan momen godokan
Tuhan agar manusia lebih bersabar dan bisa mengendalikan nafsunya. Serta banyak
hal lainnya yang mencakup hikmah dan tujuan melaksanakan ibadah puasa
ramadhan. Kini, kita mulai bertanya,
apakah tujuan suci ramadhan masih bisa kita petik tatkala materialisme telah
lebih dulu mengekang jiwa.
Mendekati bulan ramadhan, Virus-virus religionomik
seperti biasa merebak di masyarakat kita. hal tersebut membuat tujuan utama
melaksanakan ibadah menjadi membias dan penuh ketidakjelasan. Persiapan sebelum
memasuki bulan suci dengan hal-hal yang bersifat spiritual telah dikalahkan
dengan kepentingan-kepentingan duniawi yang berupa persiapan mencari keuntungan
sebesar-besarnya. Jika sudah seperti ini, agama tidak lagi menjadi pendamai
seluruh manusia, namun akan membawa kepada momok menyesakkan terutama bagi
masyarakat ekonomi menengah bawah. Sejak kapan orientasi agama yang kemerataan
dunia dan keselamatan akhirat berubah menjadi kerakusan dunia dan
ketidakjelasan akhirat?
Sebelum kita memasuki gerbang ramadhan, marilah kita
sejenak merehat diri untuk mempersiapkan diri dengan sikap-sikap spiritualitas
keagamaan. Adapun untuk virus religionomik, masing-masing muslim seyogyanya
memperhatikan hal-hal antara lain: Pentingya kesadaran regiusitas dalam rangka
memfilter arus kapitalisme yang menunggangi kebutuhan-kebutuhan masyarakat
dalam beribadah di bulan suci. Misalnya dengan adanya kesadaran para penjual
bahan pokok untuk tidak menaikkan harga barang. Bukankah memberi harga murah
pada seorang hamba yang beribadah merupakan sedekah? Kesadaran-kesadaran
seperti ini penting untuk dilahirkan kembali.
Kedua, sosialisai tentang hakikat menjalankan bulan
suci. Dalam hal ini para kiai, ustadz dan lainnya berkewajiban untuk membawa
jamaah beribadah secara murni dan tidak terkungkun urusan duniawi berbuka puasa
tidak mesti dengan hal-hal yang mewah. Kemudian kita juga bisa memaksimalkan
regulasi pemerintah. Pemerintah dalam hal ini harus memantau aktivitas
perdagangan maupun jual beli agar tidak semeraut harga jualnya yang sering kali
membuat kegelisahan masyarakat dalam menjalankan ibadah. Kadangkala harga
daging naik hingga 90%. Angka fantastis ini seharusnya tidak terjadi di bulan
suci.
Selain ketiga item di atas, langkah preventif akan
virus religionomik harus dilakukan jauh sebelum memasuki momen ramadhan.
artinya, kebiasaan untuk mempersiapkan bulan ibadah dengan tindakan-tindakan
materil yang sangat bersifat duniawi harus dihilangkan oleh semua umat muslim.
Tentunya hal ini sejalan dengan nilai-nilai dalam agama, karena pada hakikatnya
tidak ada agama yang mengajarkan kepada keserakahan duniawi.
Virus religionomik telah mendarahdaging terlebih di
zaman modern ini, namun bukan berarti kita harus membiarkan diri kita terus
tenggelam di dalamnya. Kita harus merubah paradigma kapitalisasi agama atau
menjadikan agama sebagai komoditas dengan kemurnian dan ketulusan beribadah.
Agama harus dijaga kemurniannya agar keseimbangan kehidupan tetap bisa
ditegakkan dengah penuh keharmonisan dan saling menghargai. Alangkah indahnya
jika kita memasuki bulan suci dengan semangat tinggi untuk merubah diri, bukan
dengan harga tinggi akan kebutuhan-kebutuhan duniawi.
*malang post, edisi bulan juni 2013
Post a Comment for "Menangkal Virus Religionomik*"