Aswaja, Manusia Dan Pembangunan
Term
Ahlussunnah wal Jamaah sebenarnya merupakan kelangsungan desain yang
dilakukan sejak zaman Rasulullah SAW dan Khulafaurrosyidin. Namun sistem ini
kemudian menonjol setelah lahirnya madzhab Mu’tazilah pada abad ke 11 H.
Aswaja
sebenarnya merupakan terminilogi yang terkesan diperbutkan oleh sekte-sekte
yang tersebar banyak dalam islam. Hal ini dikarenakan karena klaim kebenaran
dari masing-masing sekte. Dalam sebuah hadits Rasulullah SAW, disebutkan bahwa
islam akan terpecah menjadi 73 golongan, semuanya masuk neraka kecuali satu
golongan, yaitu Ahlussunnah. Dengan demikian seluruh kelompok-kelompok dalam
islam menamakan diri mereka Ahlussunnah.
Terlepas
dari klaim tersebut, istilah Ahlussunnah yang sejatinya adalah kelompok
generasi sahabat itu sendiri, generasi terbaik ummat ini yakni generasi yang ma
ana fihi wa ashabi.
Kemunculan
aliran ahlussunah secara aliran teologi, tokoh utamanya adalah Ahmad Ibnu
Hanbal (780 - 855 M) yang kemudian dilanjutkan oleh Ibnu Taimiyah (w. 729 H).
Dalam
perkembangannya, sejarawan membagi Ahlussunnah ke dalam 2 bagian yang mana hal
itu dilihat dari fase dan ciri doktrinnya, yaitu, ahlussunah salafiyah
dan khalafiyah. Kedua tokoh yang disebutkan di atas adalah tokoh Salaf sementara
yang kedua, tokohnya adalah Imam al Asyari dan al Maturidi[1].
Ahlusunnah
wal jamaah adalah paham yang selalu merujuk
kepada kitab Allah, sabda rasulullah dan ijtihad sahabat[2].
Seiring
perekembangan zaman tentunya polemik-polimik kehidupan juga semakin banyak. Hal
ini membawa manusia dalam sebuah keharusan untuk melakukan dinamisasi keilmuan
maupun keagamaan.
Islam
sebagai agama yang sempurna dan ditujukan untuk seluruh alam (rahmatan lil
alamin) tentunya harus bisa menampung persoalan-persoalan hidup pemeluknya.
Hal ini menjadi kegelisahan akademis seorang tokoh pemikir muda NU dahulu yaitu
Said Agil Syiroj untuk mengkaji paham Ahlussunnah wal Jamaah yang menjadi
pegangan NU.
Yang
menjadi pertanyaan, Aswaja dalam NU maupun PMII apakah sebagai madzhab atau Manhajul
fikr?
Aswaja
sebagai manhaj al-fikr
Melihat
dari latar cultural dan politik sejarah kelahiran Aswaja, beserta ruang lingkup
yang ada di dalamnya. Terminologi Aswaja yang sebagaimana yang kita pegangi
selama ini, sehingga tidak jarang memunculkan paradigma Jumud (stagnan),
kaku, dan ekslusif atau bahkan menganggap sebagai sebuah madzhab dan ideology
yang qoth’i.
Hal
ini telah dibahas oleh banyak pemikir NU, dan pada akhirnya mereka
berkesimpulan bahwa aswaja dalam Nahdlatul Ulama, bukanlah sebagai madzhab
melainkan sebagai manhajul fikr atau dalam istilahnya KH. Abdul Muchit
Muzadi adalah haluan bermadzhab (bermadzhab manhaji).
Ada
4 konsep dalam paradigma NU terkait manhjul fikr[3],
1.
Tawassuth dan I’tidal
Sikap tengah yang berintikan pada prinsip hidup yang menjungjung
tinggi keharusan berlaku adil dan lurus di tengah kehidupan bersama. NU dengan
sikap dasar ini akan selalu menjadi kelompok panutan yang bersikap dan
bertindak lurus dan selalu bersifat membangun serta menghindari segala bentuk
pendekatan yang bersifat tathorruf (ekstrim).
2.
Tasammuh
Sikap toleran terhadap perbedaan baik dalam masalah keagamaan,
terutama hal-hal yang bersifat furu’ atau menjadi masalah khilafiyah serta
dalam masalah kemasyarakatan dan kebuadayaan
3.
Tawazun
Sikap seimbang dalam berkhidmah, menyerasikan kepada Allah SWT,
khidmah kepada manusia, serta dalam lingkungan kehidupannya.
4.
Amar ma’ruf nahi mungkar
Selalu memiliki kepekaan untuk mendorong terhadap perbuatan baik,
berguna dan bermanfaat bagi kehidupan bersama, serta menolak dan mencegah semua
hal yang dapat menjerumuskan dan memudahkan nilai-nilai kehidupan.
Dengan
demikian Ahlussunnah wal jamaah kekinian adalah kelompok atau golongan
yang syariat keagamaannya merujuk pada Rasulullah, sahabat dan ulama’-ulama’
yang sudah memiliki kompeten dalam bidangnya dalam menetapkan sebuah hukum.
Insan
Aswaja menuju pembangunan sejati.
Setelah
mengetahui aswaja sebagai manhajul fikr, tentunya tugas kader PMII harus
bisa mengaplikasikan konsep tersebut dalam kehidupan sehari-hari sebagai
konsekuensi dari tujuan organisasi ini sendiri.
Dalam
rangka mengawal pembangunan di Indonesia, kader PMII, yang dalam hal ini adalah
Insan aswaja, harus bisa bersikap dan berjuang sebagaimana manhajul fikr
yang telah menjadi landasan dalam organisasi. Dalam hal ini insan aswaja
dituntut untuk menjadi pejuang dalam meperjuangkan hak-hak masyarakat yang
terzholimi pemimpin mereka. Artinya, kader harus bisa menjadi penengah antara
masyarakat dan pemimpin guna mengawal kebijakan-kebijakan Negara agar memihak
kepada rakyat.
Hal
ini tentunya bukan tugas mudah, namun membutuhkan tekad juang yang keras dan
ketaqwaan yang mendalam. Kondisi Indonesia yang belakangan ini banyak dikuasai
oleh kaum kapitalis internasional menyebabkan tugas ini begitu rumit. Oleh
sebab itu kader dituntut untuk tetap memantau perjalanan yang dipenuhi polemik-polemik
kehidupan yang semakin konfleks. tentunya dengan mengaplikasikan empat konsep
tadi. Di sini konsep taadul yang paling dibutuhkan.
Demikian
pula jika kita menyaksikan bangsa Indonesia yang memilki ragam budaya,
membutuhkan bagaimana berintraksi dengan baik agar tidak terjadi benturan
antara budaya satu dengan yang lainnya. Yang membuat miris dewasa ini adalah
sering terjadinya tawuran antara satu daerah dengan daerah lainnya yang tidak
jarang menyangkut masalah budaya. Pun jua demikian dengan mahasiswa maupun
siswa yang lebih suka taur dari pada belajar. Hal ini dibutuhkan solusi
kongkrit untuk mengakhirinya. Penanaman pendidikan karakter salah satu cara
bagaimana menghentikan laju anarkisme ini, juga bagaimana sikap tasammuh
bisa ditularkan kepada mereka agar mampu menahan diri dari berbuat demikian. Di
sinilah peran insan aswaja untuk melerai konflik-konflik yang terjadi. Hal yang
demikian juga menyangkut konflik-konflik keagamaan.
Setelah
insan aswaja mampu melerai konflik yang menjamur dengan konsep-konsep tadi,
barulah pembangunan sejati dapat terwujud dalam kesinambungan yang indah.
Selama manusia-manusia tidak mampu bersikap adil, toleran dan menyeimbangkan
hak dan kewajiban, selama itu pula kedamaian dan pembangunan sejati tak akan
pernah terwujud.
Inilah
Insan Aswaja, manusia yang akan mengawal laju kehidupan dengan memperhatikan
bubungan dengan Tuhan dan manusia serta terhadap alam semesta. Yang akan
mengawal pembanguan Indonesia dengan islam indonesianya. Dengan demikian akan
terbentuklah pembangunan sejati, yakni pembangunan yang bersih dari
kepentingan-kepentingan golongan dan KKN. Semoga!.
Post a Comment for "Aswaja, Manusia Dan Pembangunan"