Yang Terus Bercahaya
(Septong Kisah dari Bajulmati)
Teriakan riang anak-anak yang
membahana menyaingi lautan. Harapan-harapan masa depan yang menjulang seperti
pelangi. Padanya aku gantungkan tekad dan asa. Bahwa siapapun di dunia ini,
berhak memiliki cita-cita dan harapan. Seterjal apapun jalur kehidupannya,
sekeras apapun gelombang hidup, karena segalanya adalah kuasa-Nya. Dan Tuhan
tak pernah melarang manusia untuk berharap.
Dibalik bebukitan ini, ada
cinta dan harapan. Terjaring dalam pepohonan dan karang yang membentang. Meski
tak ada aspal, tapi semangat tetap selalu terkepal. Barangkali dari jiwa-jiwa
tulus mereka, gemuruh lautan pun akan menjadi sunyi. Tak ada kata menyerah. Di
sini mereka menelaah. Mengarungi pantai dan sawah. Belajar dari alam. Menghafal
ayat-ayat Allah.
Mereka tak peduli wakil
rakyat yang tak kasih. Tak peduli korupsi yang masih. Bagi mereka, tak ada
waktu untuk memikirkan orang lain. Pendidikan swadaya yang mereka dapatkan
sudah lebih dari apapun bagi mereka. adakah yang lebih penting selain cahaya
ketika gelap menyelimuti jalanan panjang yang harus dilewati? Saat-saat seperti
itu, tentu siapapun tak punya waktu untuk memikirkan siapa yang tengah
telanjang di dalam gelap.
“Kami ingin belajar, agar
menjadi manusia yang tidak kurang ajar”. Demikian kata-kata mereka yang menusuk
relung hati terdalam. Barang kali jika kita menelaah tentang anak-anak ini,
akan ada cahaya yang memancar dari jiwa-jiwa mereka.
Bajulmati, hanyalah dusun
terpencil yang terdapat di malang selatan. Wilayah hutan yang masih terisolir.
Namun demikian, terisolasi tempat bukan berarti terisolasi hak belajar.
Anak-anak itu, tak mengerti hal itu. sekali lagi, mereka hanya ingin belajar.
Aku tertegun melihat
anak-anak tersebut, sikap polos yang kelak barangkali akan melawan
ketidakadilan negeri. Padanya aku berharap, kelak mereka akan menjadi pengabdi
yang setia pada negeri, tanpa korupsi sampai mati.
Setiap sore tiba, mereka
tengah siap dengan buku yang meski sudah lusuh, tetap memiliki arti yang utuh.
Semangatlah yang membuat wajah gelap mereka bercahaya. Senyuman yang mengiringi
derap sepeda yang mereka kayuh seperti keinginan jauh yang lebih jauh dari
jarak pandang mata. masa depan.
Gemuruh gelombak laut yang
menyulut, bebukitan pantai yang menjulang, seperti merangkai mimpi-mimpi
anak-anak itu. semua itu adalah bagian dari tempat belajar mereka. dari alam
mereka ada, pada alam mereka belajar, dan pada alam pula kelak mereka akan
terbenam.
Wilayah bajulmati memang
masih tak begitu bercahaya di mata pemerintah, hal itu terlihat dari prasarana
yang ada, masih sangat kurang. Pendidikan yang mereka enyam saat ini hanya
pendidikan non formal, tapi itu semua tidak mengurangi semangat mereka,
mengejar mimpi-mimpi serta masa depan mereka. ada cahaya di jiwa dan mata mereka.
meski tangisan tak jarang membelai karena jalan hidup yang menyempit.
Berbaur bersama mereka,
seperti berdiri bersama laskar perang. Para pendekar yang siap dengan segala
peralatan. Meski musuh lebih tangguh, tapi keyakinan tetap teguh. Itulah yang membuatku
terbelalak bangun dari tidur dengan mata terbuka. Masih banyak nasib yang
terkurung tirani. Masih banyak semangat yang sayapnya terkekang.
Kemarin sebelum aku
meninggalkan mereka, saat mendekati senja. Anak-anak itu mengajakku menaiki
bukit. Bukit di pinggir pantai yang berhadapan dengan peraduan terbenamnya
matahari. Kala itu, rona merah menyembur memeluk tubuh kami, senyuman mereka
mengiringi belaian cahaya yang diiringi deru gelombang pantai yang alami.
mereka berteriak, entah apa yang mereka teriakkan. Aku hanya diam saat itu, tak
tahu apa yang akan aku teriakkan bersama mereka.
Pelan-pelan aku menangkap
suara keras yang bertabrakan dengan angin laut, merekamnya dalam-dalam dan
menyimpannya dalam memori jiwa. Aku tak percaya, mereka meneriakkan sebuah
adagium yang luar biasa, “man jadda wajada”.
Ah, betapa keras angin laut,
betapa gemuruhnya gelombang memukul pantai beserta karang-karang hijau. Betapa
perkasanya gunung yang membentang memaku desa ini. Namun sepertinya tak kan
pernah bisa mengalahkan keperkasaan dan semangat anak-anak itu.
Sepanjang perjalanan turun
dari bukit, aku terus berifikir dan tertegun dengan anak-anak itu. semakin
dalam semakin bangga. Namun aku begitu miris, ketika semangat itu masih
berkutat dengan labirin hegemoni yang masih sulit disibak. Itulah yang
membuatku berbisik dalam reluang jiwa yang terdalam, “Tuhan jagalah anak-anak
ini”.
Gelap merayap. Air laut
kembali memeluk pantai setelah kepergiannya sesaat. Orang-orang kembali ke
peraduan. Singsingan angin malam perlahan menyambut. Tinggallah cahaya jiwa
anak-anak itu berterbangan. Aku percaya cahaya itu akan selalu hidup. Siang
bersama matahari dan malamnya akan bersama rembulan ataupun bintang-gemintang.
Selanjutnya, cahaya mereka, akan bersama hatiku seutuhnya.
Post a Comment for "Yang Terus Bercahaya"