Menghargai Proses
Belajarlah
dari pohon, menghargai proses, tidak tumbuh tergesa-gesa. Demikian yang ditulis
Yus R. Ismail dalam sebuah bukunya. Pohon merupakan mahluk Tuhan yang padanya
Dia titipkan ibrah bagi manusia. Betapa tidak, manusia yang meski diciptakan
sebagai mahluk paling sempurna di muka bumi ini, sekaligus diberikan titel
khalifah Tuhan, terkadang lupa dan mengabaikan tugas-tugas “kekhalifahannya”.
Pohon
tumbuh tidak tergesa-gesa. Sepertinya hal itulah yang perlu direnungkan oleh
kita. Kita telah menyaksikan diri kita yang tak lagi menghargai peroses.
Anarkisme yang mengganas, pembunuhan, pencurian, pergaulan bebas, aborsi dan
berbagai menu kejahatan yang belakangan semakin menjamur dan tak terkendalikan.
Jika
kita merenungkan lebih dalam, sebenarnya kita pun tumbuh tidak tergesa-gesa.
Kita dituntun untuk menghargai proses, kita dilahirkan, kemudian tumbuh
perlahan dengan bisa duduk, kemudian bisa berdiri dan berjalan sehingga kitapun
bisa berlari riang kesana kemari. Dari sana kita akan dibawa dalam pemahaman
pula, bahwa Tuhan pun tidak bekerja tergesa-gesa meski Dia mampu melakukan
segalanya dengan sekehendak-Nya.
Tuhan
menciptakan bumi tidak tergesa-gesa, dari sebuah gumpalan gas yang kemudian
melakukan proses panjang hingga menemukan bentuknya menjadi bumi seperti
sekarang ini. Dari sana kita pun memahami bahwa Tuhan telah melimpahkan
kemampuan berproses pada diri mahluk yang diciptakan, termasuk manusia.
Jika
kita menghargai proses, mungkin kita tidak akan terbawa pada keadaan yang kacau
balau seperti sekarang ini. Keberadaan manusia sebagai tangan Tuhan di muka
bumi, seharusnya bisa memimpin bumi
dengan baik, menebarkan sikap saling menghargai dan menyangi sesama mahluk
Tuhan. Alangkah indahnya jika kita saling mencintai dan menghargai dalam rotasi
kehidupan ini. Menghargai proses kehidupan kita, pun jua menghargai peroses
kehidupan orang lain.
Betapa
banyak kita saksikan. Masyarakat kita yang hanya gara-gara mengantri terlalu
lama di loket-loket umum, sering berujung bentrok dan pertikaian sesama
pengantre. Ada pula yang karena masalah hutang yang tidak dibayar tepat pada
waktunya, berujung aksi pembunuhan. Dan kasus luar biasa lainnya yang semakin
hari semakin mengganas dan seolah menjadi hal lumrah dan biasa-biasa saja.
Seorang
yang terpelajar, harus sudah berlaku adil dalam pikirannya apalagi dalam
perbuatannya. Demikian kata Pramoedya. Keadilan seyogyanya adalah sifat wajib
bagi Tuhan, namun Dia mengilhamkan pula kepada manusia agar bisa mendamaikan
dunia. Sikap adil itulah yang pada ujungnya akan melahirkan sikap bijak. Bagaimanakah
sebuah kebijakan akan tumbuh jika kita tidak belajar dan belajar? Namun yang
menjadi keanehan kini, kenapa begitu banyak orang tepelajar tapi semakin
sedikit orang yang adil dan bijak?
Sepertinya
memang karena tidak menghargai proses, hingga orang-orang terpelajar menjadi
liar dan tidak bijak. Kita sering mendengar tentang pelajar-pelajar mulai dari
tingkat mahasiswa sampai yang tingkat SD terlibat tauran antar pelajar.
Pelajar-pelajar yang hamil di luar nikah serta para pejabat yang suka
bisik-bisik (kita tahu itu korupsi). Bukankah mereka semua adalah orang-orang
yang terpelajar? Setiap hari mereka bergelut dengan buku, mengisi kepala dengan
ilmu.
Barangkali,
kata-kata Aristoteles penting untuk kita memahami permasalahan di atas, “orang
yang pandai, dengan sendirinya akan bijak dalam perbuatan”. Seperti apakah
orang yang pandai, yang dimaksudkan olah filosof tersebut? tentunya kita
memahami orang yang pandai seperti itu adalah orang yang pandai akal dan jiwa.
Tidak hanya pandai beretorika namun pintar pula mengolah jiwa. Hal yang seperti
itulah yang akan menuntun kita menuju pandai yang bijak.
Seorang
psikolog Timur Tengah, Murthada Mutahhari mengatakan, “Psikologi dasar dalam
manusia adalah hatinya, jika hatinya baik maka akan baik pula segala tingkahnya”.
Demikian pula yang disebutkan imam Al-Ghozali.
Menyimak
beberapa statemen ahli di atas, kita dapat membaca bahwa perpaduan antara akal
dan jiwa akan melahirkan sebuah proses berfikir, proses yang akan membawa kita
menghargai proses hidup. Sebuah jalan menuju kebijakan dalam bertingkah laku.
Ada
beberapa langkah agar kita lebih bisa menghargai proses, yang pertama adalah
percaya. Kepercayaan haruslah dimiliki oleh semua manusia, percaya terhadap
diri dan orang lain. Percaya bahwa kita bisa melewati segalanya dengan mudah
dan percaya bahwa orang lain akan bisa menunaikan amanhnya dengan baik dan
bijak. Dengan kepercayaanlah kita akan bisa menghargai proses diri dan orang
lain. Terkadang orang lain butuh waktu yang lama untuk berporses menuju sikap
yang baik tidak seperti kita. hal itu harus tetap dihargai dan percaya ia akan
mampu melakukannya.
Kedua adalah memahami. Yang muda harus bisa memahami sikap orang tua, dan yang
tua harus bisa memahami karakter remaja. Karena secara psikologis orang tua dan
muda memiliki karakter yang berbeda. Jika orang tua sudah bisa dipastikan sikap
kedewasaannya maka yang muda terkadang masih labil dan membutuhkan bimbingan
dalam bertingkah. Sepantasnyalah yang tua menyayangi yang muda, membimbing
mereka dan mengajarkan mana yang baik dan buruk. Kadang kita menyaksikan
orang-orang tua menginginkan kebaikan dari para pemuda, namun mereka tidak
pernah membimbing yang muda, hal inilah yang disebut R Riantiarno sebagai 'rumah pasir'.
Jika
kita telah menghargai proses, tentu segalanya akan mudah. Dengan memahami dan menghargai
jalan hidup orang lain, kita akan belajar untuk menjaga hak-hak orang lain. Yang
tua akan menyayangi yang muda serta yang muda akan menghormati yang tua.
Segalanya, jika kita menghargai proses.
Sebuah renungan yang menggugah dan inspiratif. Seribu halaman buku, selalu dimulai dari satu KATA.
ReplyDeletehttp://www.dongengyusrismail.blogspot.com/
ReplyDeletemenyukai Yus R. Ismail
ReplyDelete