Kritik dan Penolakan Ibnu Madha' Terhadap Ahli Nahwu
Latar
belakang
Dalam
perjalanannya, Ilmu Nahwu memiliki perkembangan yang sangat luar biasa,
sehingga kita mengenal beberapa aliran-aliran dalam ilmu nahwu, seperti: aliran
Bashrah, Kuffah, Mesir, Andalusia, Baghdad dan lainnya. Uniknya, setiap aliran
memiliki karakteristik tersendiri yang darinya kita bisa membedakan aliran yang
satu dengan yang lainnya.
Setiap
aliran-aliran tersebut memiliki tokoh-tokoh tersendiri yang banyak memberikan
kontribusi terhadap aliran tersebut. Misalnya saja aliran Andalusia misalnya
memiliki tokoh yang bernama ibnu madha’. Pemikiran ibnu madha’ cendrung
memiliki banyak controversial karena tidak sesuai dengan aliran yang dipahami
seblumnya. Sehingga wajar saja sehingga beliau terkenal dengan pendapatnya yang
nyeleneh.
Kritik
dan penolakan ibnu madha’ terhadap para nuhat banyak ia gencarkan, baik secara
langsung maupun melalui kitab-kitab beliau, misalnya saja kitab fenomenal
beliau ar raddu ala annuhat. Dalam kitab tersebut Ibnu madha’ banyak
mengkritik pendapat para ulama’ nahwu bahkan jumhur ulama’ sekalipun.
Dalam
makalah ini kami akan memaparkan beberapa kritik dan penolakan Ibnu madha’
terhadap para nuhat. Penting untuk diketahui, bahwa permasalahan ini sebenarnya
permasalahan yang cukup luas dan rumit, sehingga dibutuhkan banyak referensi
dan kajian yang mendalam terhadapnya.
Untuk
itu, dalam mekalah ini kami memuat beberapa kritikan dan penolakan ibnu madha’
pada beberapa hal penting dan mendasar yang menjadi pokok pemikiran beliau,
yang semuanya itu kami nuqil dari kitab ar raddu ala annuhatnya beliau dengan
didampingi oleh beberapa kitab lain yang senada dengan hal itu.
Akhirnya,
semoga penyusunan makalah ini menuai manfaat, mengingat literatur, khususnya
yang berbahasa Indonesia masih minim kita temukan yang membahas tentang Ibnu
Madha.
Rumusan
masalah
1.
Bagaimana
riwayat hidup Ibnu Madha?
2.
Bagaimana
kritik dan penolakan Ibnu Madha’ terhadap para nuhat?
3.
Faktor-faktor
apa saja yang mempengaruhi pemikiran Ibnu Madha’?
Tujuan
1.
Mengetahui
biografi singkat ibnu madha’
2.
Mengetahui
beberapa pemikiran ibnu madha’ (kritik dan penolakan beliau).
3.
Mengetahui
beberapa factor yang mempengaruhi pemikiran beliau.
PEMBAHASAN
Biografi
Singkat Ibnu Madha’
Nama
lengkap Ibnu Madha’ adalah Ahmad bin Abdurrahman bin Muhammad bin Saad bin
Harits bin Ashim Ibnu Madha’ al-Lakhmi[1].
Dalam kitab Nasyaatun nahwi karangan Muhammad At-tontowi disbutkan nama Ibnu
Madha’ adalah Abul Abbas Ahmad bin Abdurrahman al Lakhmi al Qurthuby[2].
Lebih lengkap tentang nama Ibnu Madha’ disebutkan dalam kitab Ushul Annahwi al-Aroby
adalah Ahmad bin Abdurrahman bin Muhammad bin Sa’ad bin Harits bin ‘Ashim bin Madha’
al-Lakhmy Qodhil jama’ah[3].
Diantara nama-nama panggilan beliau yang paling terkenal adalah Ibnu Madha’ disamping abul Abbas, abu Ja’far, abu Qosim.
Beliau
lahir di Qurthubah (Cordova) pada tahun 512 dan meninggal di Asybiliyah (Seville)
pada 17 Jumadil Ula 592 H. sekitar 80 tahun dari usianya dihabiskan untuk
belajar dan mengajar[4].
Di
antara guru-guru beliau adalah beberapa ulama’ bahasa arab, Abu Bakar bin
Sulaiman bin Sahnun, Ibnu Ramak, yang darinya beliau belajar kitabnya Sibawaihi
dan Ibnu Bisykawal.
Sebagai
seorang yang lahir dari keluarga mampu, Ibnu Madha’ melanglang buana berguru kepada
para ilmuwan pada zamannya. Demi tujuan pengetahuan, Ibnu Madha’ mula-mula
meninggalkan Cordova menuju Seville. Di sana, ia berguru ilmu nahwu kepada Ibn
al-Ramak. Dari Seville, ia melanjutkan karir keilmuwannya menuju Ceuta dengan
berguru kepada Qadhi Iyadh untuk mendalami hadis. Sementara dalam bidang fiqh,
Ibnu Madha’ menimba ilmu dari Ibn al-Araby, al-Bathuhy, al-Rasyathi dan Abu
Muhammad bin al-Nashif.
Keseriusan
Ibnu Madha’ dalam mendalami ilmu pengetahuan diakui oleh ilmuwan muslim yang
lain. Sebagaimana dijelaskan oleh Suyuthi dengan menukil komentar Ibnu Zubair,
bahwa Ibnu Madha’ termasuk sosok yang memiliki concern luar biasa dalam hal
ilmu kebahasaan Arab. Ia telah mempelajari berbagai buku tentang nahwu,
kebahasaan dan kesusastraan Arab, termasuk mendalami Kitab Sibaweih dengan
sangat cermat dari gurunya, Ibnu Ramak.
Ibnu
Madha’ hidup sezaman dengan Ibnu Rusyd. Hanya saja, Ibnu Madha’ lebih dikenal
ketokohannya dalam bidang ilmu kebahasaan, yaitu sebagai nuhat, sementara sosok
Ibnu Rusyd dikenal sebagai filosof. Dalam sebuah riwayat diceritakan, bahwa
Ibnu Madha’ memiliki hubungan baik dengan Ibnu Rusyd. Hubungan ini terjalin
sejak mereka berdua sama-sama berguru kepada Abu Bakar bin Sulaiman bin Samhun
al-Anshari al-Qurthubi, seorang ilmuwan besar yang menjadi rujukan dalam hal
bahasa Arab dan sastra. Samhun pernah berguru kepada Ibnu Tharawah yang
memiliki pemikiran-pemikiran ”nakal” di bidang ilmu nahwu. Pemikiran-pemikiran
nakal ini disinyalir telah disebar dan ditularkan oleh Samhun kepada Ibnu
Madha’ dan Ibnu Rusyd.
Oleh
karena itu, tidak mengherankan jika antara Ibnu Madha’ dan Ibnu Rusyd memiliki
kesamaan pikiran tentang nahwu yang cukup kontroversial. Keduanya sama-sama
menyoal teori ilmu nahwu yang dipakai oleh para nuhat pada saat itu khususnya
di belahan Timur, yang dirasa memberatkan dan berlebihan bagi penduduk
Andalusia yang akan belajar bahasa Arab sehingga pemikiran-pemikiran keduanya
menjadi pandangan dan aliran tersendiri.
Meskipun
memiliki pandangan dan pemikiran yang kontroversial, Ibnu Madha’ tetap diakui
sebagai sosok yang baik dan berpengetahuan yang luas. Di samping menguasai ilmu
kebahasaan Arab, hadits dan fiqh, Ibnu Madha’ juga mahir dalam ilmu-ilmu yang
lain seperti ilmu ushul, kalam, kedokteran, ilmu hitung dan ukur (arsitektur).
Karena kecerdasan dan kecermatan pikirannya, Ibnu Madha’ juga dikenal sebagai
seorang penyair dan bahkan penulis ulung[5].
Sebagaimana
diketahui, bahwa di masa keemasan Islam seorang ilmuwan memiliki concern luas
terhadap berbagai ilmu pengetahuan, sehingga ia sangat mungkin menguasai
berbagai disiplin keilmuan. Dan seperti inilah yang dapat ditemukan pada sosok
Ibnu Madha’. Yakni, ia menjadi sosok yang multi talenta di berbagai bidang ilmu
pengetahuan.
Dalam
literatur-literatur sejarah disebutkan, bahwa Ibnu Madha’ memiliki beberapa
buku. Yang paling terkenal adalah buku ar-Radd ala an-Nuhat, al-Masyriq
fi an-Nahwi, Tanzih al-Qur’an
amma la Yaliqu bi al-Bayan dan al-Masyriq fi al-manthi[6].
Berbicara
kritik dan penolakan yang digencarkan Ibnu madha’ terhadap para ulama’ nahwu,
hal itu merupakan karakteristik beliau yang pemikirannya banyak dipengaruhi
oleh aliran az-zahiriyah yang menjadi mazhab resmi daulah almuwahidun yang
menjadi dinastinya[7].
Kritik
dan Penolakan Ibnu Madha’ terhadap Ahli Nahwu
Dalam
bukunya ar-Rodddu ‘ala annuhat, Ibnu Madha’ mengajak kepada membatalkan
tiga kaidah dalam ilmu nahwu
1.
Menghilangkan
kaidah amil dari ilmu nahwu
Pemikiran ibnu madha’ tentang hal ini sebenarnya merupakan bentuk
perluasan dari apa yang pernah dikemukakan Ibnu jinni[8].
Ibnu madha’ berpandangan bahwa adanya konsep amil akan merusak
makna dari teks asli si penutur.
Misalnya dalam surat maryam ayat 12:
ÙŠَÙŠَØْÙŠَÙ‰ Ø®ُذِ الْÙƒِتَابَ بِÙ‚ُÙˆَّØ©ٍ ÙˆَØ¡َاتَÙŠْناَÙ‡ُ الْØُÙƒْÙ…َ
صَبِÙŠًّا
Menurut konsep para nuhat dalam bentuk munada sebagaimana dalam
ayat tersebut terdapat amil yang dibuang, sehingga takdirnya menjadi:
أدْعُÙˆ ÙŠَØْÙŠَÙ‰ Ø®ُذِ الْÙƒِتَابَ بِÙ‚ُÙˆَّØ©ٍ ÙˆَØ¡َاتَÙŠْناَÙ‡ُ الْØُÙƒْÙ…َ
صَبِÙŠًّا
Ada
perubahan redaksi, yaitu dari bentuk ya yahya menjadi ad’u yahya. Sedangkan
bentuk strukturnya juga berubah menjadi khabariyah (berita). Perubahan ini
menurut Ibnu Madha’ merupakan campur tangan yang tidak bisa diterima, karena
memang tidak dikehendaki oleh si penutur. Lebih-lebih, jika si penutur teks itu
adalah Allah SWT. Ini merupakan tindakan berbahaya, dan dengan demikian konsep
amil terlalu mengada-ada dan tidak dapat diterima[9]
Amil dalam ilmu nahwu bisa digolongkan sebagai pilar utama.
Biasanya, dikenal ada dua jenis amil, yaitu lafzhi dan ma’nawi. Amil lafzhi
berbentuk lafazh secara nyata, sedangkan amil ma’nawi biasanya tidak berwujud
lafazh dan tidak memiliki pengaruh secara nyata terhadap keberadaan kata yang
lain.
Di samping itu, para nuhat juga memandang adanya dua jenis amil.
Yaitu, amil yang memiliki pengaruh secara nyata berupa harakat atau syakal dan
atau huruf yang terdapat di akhir kalimat. Sedangkan yang kedua adalah amil
yang kehadirannya bersifat tidak nyata karena alasan keserupaan atau kedekatan[10].
Ibnu Madha’ menolak jenis amil yang pertama. Menurutnya, yang
paling berperan dalam merubah maksud ucapan tidak lain adalah si penutur
(mutakallim) itu sendiri, bukan amil. Hal ini karena amil itu mengisyaratkan
adanya waktu saat melakukan sesuatu dan mestinya si amil itu melakukannya
dengan kehendak atau secara alami[11]
Salah satu contoh ketidak-rasionalan para nuhat dalam menggunakan
konsep amil adalah penerimaan amil ibtida’ yang diyakini ada pada jumlah
mubtada’-khabar. Yaitu, bahwa mubtada’ itu dirafakan oleh adanya amil ibtida’.
Yang merafakan mubtada’ tidak lain—menurut Ibnu Madha’—adalah si mutakallim itu
sendiri dan bukan amil ibtida’, karena tindakan merafakan itu menyertai si
mutakallim dan bukan amil ibtida’ seperti yang diyakini oleh para nuhat[12].
2.
Menolak
takwil Taswani dan Tsawalits
Ibnu Madha’ berpendapat bahwa illah dibagi menjadi dua macam.
Pertama, illah ula (illah lapisan pertama) dan illah tsawani (illah lapisan
kedua, ketiga dan seterusnya). Illah ula merupakan alasan yang dengannya
seseorang dapat memahami perkataan atau ucapan orang Arab[13]. Seperti
berhukum bahwa setiap mubtada’ adalah marfu’[14]. Illah
ini dapat dikategorikan sebagai dasar untuk menetapkan struktur dasar yang
dipakai dalam bahasa orang Arab. Sementara itu, illah tsawani menurut Ibnu
Madha’ tidak diperlukan (Ibnu Madha’, 1979:124).
Menurut ibnu madha’ rafa’nya zaidun dalam kalimat qoma zaidun
karena zaidun itu adalah fail dan fail itu marfu’. Dan jika ditanya kenapa fail
itu dibaca marfu’, beliau menjawab karena itu adalah perkataannya orang arab.
Hal tersebut berbeda ketika pertanyaan itu ditanyakan kepada para
nuhat maka mereka pasti memberikan jawaban: kata zaid dibaca rafa’ karena fa’il
dan fa’il itu harus rafa’ (illah ula); kenapa harus rafa’? karena untuk
membedakan antara fa’il dengan maf’ul (illah tsaniyah); kenapa fa’il tidak
dibaca nashab saja dan maf’ul dirafakan? Karena fa’il itu sedikit, sedangkan
maf’ul itu bisa banyak (illah tsalitsah).
Cara pandang para nuhat yang seperti ini (membuat illah tsawany
ataupun tsawalits) ditolak oleh Ibnu Madha’.
Ibnu Madha’ juga membagi illah tsawani kedalam tiga macam[15]:
a.
maqthu’
bih adalah illah yang harus dihilangkan melalui pemutusan pertanyaan.
Dengan arti Setelah illah pertama tidak diperbolehkan lagi mengajukan illah
kedua.
b.
ma
fihi iqna’ adalah illah yang didalamnya
terdapat perasaan puas demi kepentingan pencarian persamaan di antara dua hal (asal
dan cabang)
c.
maqthu’
bi fasadihi adalah sebagai
illah yang memang tidak memiliki manfaat dan arti apa-apa ketika diungkapkan
atau bahkan tidak dapat memuaskan akal dan memang benar-benar tidak memiliki
signifikansi bagi penalaran.
3.
Menggugurkan
Tamarin (timbangan yang merubah bentuk asli dari sebuah fiil)
Timbangan disini adalah timbangan dalam I’lal sharaf. Ibnu madha’
menolak proses I’lal dalam ilmu sharaf
Misalnya pada kata بيع para
nuhat mengatakan بوع karena dipandang lebih mudah diucapkan (tidak berat)
sebagaimana orang arab mengatakan موقن dimana aslinya kata itu adalah ميقن. Hal
ini ditolak oleh beliau karena beliau tidak ingin mengganti sebuah huruf dalam
bahasa arab.
sebagai solusinya beliau menawarkan untuk merubah hanya barisnya
seperti: kata بيع di atas tidak dengan mengganti ya’ dengan wawu namun dengan
membariskan ba’ dengan berbaris bawah untuk mengikuti huruf ya’ di depannya[16]. Menurut
beliau, mengganti baris sebelum ya’ dengan kasrah yang sesuai dengan huruf ya’
itu sendiri lebih utama dari pada mengganti huruf ya’ dengan wawu untuk
mengikuti baris sebelumnya.
Untuk lebih jelasnya perhatikan table:
Para
nuhat
|
Ibnu
madha’
|
||||||
|
Ada
pula beberapa teori yang ditolak oleh Ibnu madha’, misalnya qiyas yang jumhur
ulama’ nahwu menggunakannya sebagai metode untuk menentukan kaidah nahwu, namun
beliau berpendapat bahwa qiyas adalah menghukum sesuatu dengan yang tidak ada
dalilnya. Pemahaman qiyas Ibnu madha’ dalam ilmu nahwu ini sama dengan
pemahaman beliau tentang hal itu dalam ilmu teologi[17].
Dan kita tahu bahwa Ibnu madha adalah salah seorang tokoh az-zahiri.
Beberapa
Faktor yang Mempengaruhi Pemikiran Ibnu Madha’
Ada beberapa
hal yang membentuk pemikiran ibnu madha’ berbeda dengan ahli nahwu lain. Namun
sebelumnya pemikiran ibnu madha’ bukanlah sesuatu yang semuanya baru, banyak
diantara kalangan ahli nahwu sebelumnya yang memiliki pemikiran yang berbeda
dengan para nuhat, akan tetapi hanya ibnu madha’lah yang melakukan kritik
dengan pedas dan terbuka.
Di
antara faktor-faktor tersebut adalah:
1.
Pengaruh
pemikiran sibawaih yang didapat melalui kajian intens terhadap kitabnya sibawaih
di bawah guru beliau Ibnu ramak
2.
Banyak
juga terpengaruh pemikiran ibnu jinni. Misalnya mengenai teori amil. Teori yang
dikemukakan Ibnu madha’ merupakan perluasan dari teorinya ibnu jinni[18].
3.
Aliran
az-Zahiriyyah. Aliran inilah yang menjadi paham Ibnu madha’ dalam hal ideology.
Dan sebagian besar pemikiran beliau dipengaruhi oleh paham ini. Seperti
penolakan terhadap qiyas yang tidak menggunakan dalil, ta’wil dan sebagainya[19].
4.
Kebanyakan
kritik dan penolakan Ibnu madha’ banyak didasarkan kepada beberapa ayat al-Quran
maupun hadits yang menurut beliau hal itu harus diperhatikan dan siapapun yang
melanggarnya harus bertaubat[20].
5.
Keinginan
Ibnu madha’ untuk mengembalikan kemurnian ilmu nahwu yang bersumber dari kalam
orang arab yang fashih dan para ahli nahwu yang terjaga. Kemudian dengan hal
itu akan lebih mendekatkan kepada pemahaman yang sesuai dengan masanya
begitupun dengan masa yang setelahnya.
Dengan
demikian pemikiran Ibnu madha’ bukanlah pemikiran yang baru secara keselurusan
namun banyak pula pemikiran-pemikiran kritikus nahwu seblumnya yang beliau
ikuti dan mengembangkannya.
KESIMPULAN
1.
Ibnu
Madha’ mengajak untuk menggugurkan tiga perkara dalam ilmu nahwu:
a.
Nazhariyyatul
amil
b.
Illat
tsawany wa attsawalits
c.
Tamarinu
attashrif (I’lalu as-Shorfi)
2.
Pemikiran
Ibnu madha’ banyak yang merupakan perluasan dari pemikiran yang sebelumnya dan banyak merupakan
pengaruh dari ajaran teologi yang dia ikuti yakni madzhab az-Zahiri.
DAFTAR PUSTAKA
Abi Abbas Ahmad Ibnu Madha’. Ar-raddu
‘ala an-Nuhat. Darul I’tisham (1979 M)
At-tanthawy,
Muhammad. Nasyaat an-nahwi wa tarikh asyharu an-Nuhat. Tanpa tahun dan
penerbit
Dhoyf, syaoqy. Almadaris an-Nahwiyyah.
Mesir: Darul Ma’arif. 1968
Ied,
Muhammad. Ushul annahwi al Arabi, fi Nazhri an-Nuhat wa ra’yu Ibnu Madha’ wa
dhaw-u ‘ilmi al-lughoh Alhadits. Alimul Kutub (1989)
Mubarak,
mazin. An-nahwu al’arabi, al-Illatu an-Nahwiyyah: Nasya-atuha
watathowwiruha. Libanon: Darul Fikr. 1981
http://www.jurnallingua.com/edisi-2009/9-vol-1
Tanggal akses 14 mei 2012
[1] Assuyuthi
dalam Jurnal Lingua edisi 2009 vol I
[2] Nasyaat an-nahwi
wa tarikh asyharu an-nuhat. Muhammad at-tontowi. Hlm. 197
[3] Ushul an-nahwi,
Dr. Muhammad Ied cetakan 1989 hlm. 37
[4] Ibid hlm. 38
[5] Assuyuthy
dalam jurnal lingua.
[6] Op.cit hlm. 38
[7] Lihat Ushul
an-nahwi al-Arabi. Hlm 49-55.
[8] Annahwu al-arabi,
al-Illatu an-Nahwiyyah. Dr. mazin Al mubarok. Cetakan III hlm. 153
[9] ibid
[10] ibid
[11] Arroddu ala
annuhat, ibnu madha’ hlm 87
[12] Op.cit
[13] Ibnu madha’,
1979: 128
[14] Madaris
annahwiyyah. Dr. syauqy doyif. Hlm. 293
[15] Op.cit hlm.
128
[16] Ibnu madha,
1979 hlm. 135
[17] Dr. mazin al-Mubarak,
an-Nahwu al-Araobi 1981 hlm. 155
[18] Ibid, hlm 153
[19] Lihat Ushulu
an-Nahwi al-Arabi. Hlm 49
[20] Op.cit hlm.
155
Post a Comment for "Kritik dan Penolakan Ibnu Madha' Terhadap Ahli Nahwu"