Amplop Hitam dari Negeri Jiran*
Deru mesin pesawat
begitu nyaring memecah senja di Bandara Selaparang, matahari mengintip malu di
antara gundukan gunung. Orang-orang sibuk melambaikan tangan kepada salah satu
keluarga mereka yang berada di dalam pesawat. Dia meninggalkan mereka untuk
sebuah tuntutan hidup yang memanggil, atau mungkin untuk kematangan ekonomi
yang masih tergantung di tiang takdir. Mereka begitu bangga dengan kepergian
salah satu anggota keluarganya. itu menjadikan Ia pahlawan bagi keluarga dan
sanak saudaranya.
Aku melambaikan tangan
kepada kak Ipul yang akan menjadi TKI ke luar negeri, begitu pula adikku yang
masih berumur dua tahun ikut melambaikan tangannya. Dengan kepongahannya adekku
berteriak-teriak, “kak Ipul akan terbang”. Aku memandang diam bocah itu. untuk
bocah seumuran dia, belumlah memumpuni untuk memahami hakekat kepergian kakak.
Bapak dan Ibu terlihat beberapa kali mengusap sapu tangan ke mata, menyeka air
yang terurai darinya.
Di desa kami, kakak
paling tua adalah tulang punggung keluarga yang harus menggantikan peran ayah
dalam menangani perekonomian keluarga. Sejak bapak sakit-sakitan, maka tiada
pilihan lain bagi Kak Ipul untuk meninggalkan kami demi orang tua dan
keluarganya.
Sebenarnya desa kami
bukanlah desa yang miskin lapangan pekerjaan, dari segi sumber daya alamnya,
desa kami memiliki banyak SDA yang bisa dimanfaatkan untuk memusnahkan
pengangguran di desa kami bahkan untuk tidak lagi mengandalkan luar negeri sebagai
kunci untuk membuka pintu mimpi yang dibangun keluarga-keluarga di desa kami.
Namun karena perusahaan-perusahaan tambang yang hanya bisa mengeruk kekayaan
alam kami tanpa memberikan kami napas untuk menikmatinya, kekayaan itu seolah
seperti patamorgana bagi kami.
Masyarakat desa kami hanya
bisa berperan sebagai buruh, itupun sampai kekayaan itu ada, setelah habis yang
kemudian meninggalkan limbah dan kerusakan lingkungan mereka pun meninggalkan
kami dengan nasib yang tak berubah sedikitpun.
Selain itu sumber daya
manusia yang kami miliki memang belum ada yang matang, namun hal itu bukanlah
karena kami bodoh, akan tetapi karena memang kami tak memiliki ekonomi yang
matang untuk bersekolah, jadi potensi kami tak pernah diasah. Kami hanya
memiliki satu sekolah di Desa, itupun hanya tingkat SD, bangunan SD itu pun
kini sudah tak layak pakai.
Beberapa kali setiap
musim Pemilihan Umum datang, kami selalu dijanjikan untuk dibuatkan sekolah
tingkat SMP dan SMA oleh salah seorang kandidat, namun itu hanya janji belaka,
setelah terpilih, mereka hilang, mungkin mereka lupa jalan ke Desa kami.
Sekian dari permasalahan-permasalahan
yang ada di desa kami membuat kerja di luar negeri menjadi solusi yang
dipandang tepat untuk bertahan hidup, untuk membanggakan keluarga atau mungkin
untuk saling menjaga kehormatan keluarga yang telah cenderung diciptakan oleh
garis tradisi di desa kami .
Pemuda-pemuda yang sudah
dianggap matang dengan segera mengambil perannya menggantikan sang ayah. Begitu
pulalah yang mendorong kak Ipul, Kakak kami yang perkasa itu harus berbaur
dengan tenaga kerja lainnya di luar negeri sana, membawa harapan-harapan orang
tua dan mimpi adik-adiknya.
Sebenarnya aku tidak
setuju dengan keberangkatan Kak Ipul ke luar negeri, menurutku, masih banyak
hal yang bisa dilakukan di desa ini, dan juga aku merasa tidak nyaman
dengan keberangkatan kak ipul, tak tau
sebabnya, entah kenapa aku tak mengikhlaskan dia pergi, namun karena inilah
tuntun keluarga dan juga tuntutan tradisi di desa kami, maka ia pun harus
berangkat, berjejal melawan kegundahanku sendiri atau mungkin kegundahan orang
tuaku.
***
Sebulan sudah Kak Ipul meninggalkan
keluarga, selama itu Ibu jarang terlihat tersenyum begitupun Bapak, dan juga Aku,
namun berbeda dengan adekku Ical, dia begitu semangat dengan kepergian Kak Ipul,
mungkin karena dia selalu mendengar ucapan para tetangga bahwa kerja ke luar
negeri itu akan membuat keluarga kaya.
Kata-kata itu, tak heran
membuat adekku berharap banyak dari keberangkatan kak Ipul.
“Kak besok kalau kakak
pulang, janji ya mau beliin Ical sepeda, Ical pengen banget punya sepeda”,
pintanya dulu sebelum kak Ipul berangkat.
Waktu itu Dia mengiyakan
dan bahkan berjanji akan menuruti permintaan adek bungsunya itu.
Hari-hari kami lalui
tanpa kakak kami, Bapak sakit-sakitan dan jarang bisa kerja. Pekerjaan Bapak tidak
menentu, mungkin bisa dikatakan seperti buruh tidak tetap gitu. Kini Ibu lah
yang harus banting tulang sebelum pekerjaan kakak kami di luar negeri jelas. Karena
ongkos kak ipul ke sana adalah pinjaman dari tetangga yang beberapa waktu lalu
pulang dari sana. Untuk itu Ibu harus kerja kersa untuk mengembalikan uang
pinjaman itu. Ibu bekerja apa saja yang bisa dikerjakan, mencari kayu di kaki
gunung, atau menjadi buruh cuci di rumah-rumah orang-orang kaya (dari hasil ke
luar negeri).
Aku sendiri tidak bisa
berbuat banyak, kadang aku berpikir untuk menggantikan Ibu membanting tulang,
namun dengan aktifitas sekolahku yang masih di tingkat dasar kelas empat, tentu
engkau bisa membayangkan hal apa yang bisa dilakukan oleh seorang bocah kelas
empat. Apa lagi dengan adekku yang masih berumur dua tahunan.
Aku mencoba membantu
orang tua, seperti ikut mencari kayu kering di kaki gunung. Waktu untuk
membantu ibu cukup sedikit, karena berangkat ke sekolah pagi dan pulang sore.
Bukan aktifitas belajar
yang lama, namun karena jarak tempuh yang jauh membuatku harus kembali ke rumah
sore hari. Dengan waktu yang seperti itu, sepulang dari sekolah aku selalu
menyusul Ibu langsung ke kaki gunung untuk membantu membawa kayu kering yang
diperoleh ke rumah.
***
Kebiasaan di desa ini,
setiap pemuda yang berangkat ke negeri itu, ia akan mengirim amplop yang berisi
uang secukupnya sebagai bukti ia sudah memiliki pekerjaan. Biasanya rentang
waktu paling lama empat bulan. Namun hal itu berbeda dengan kak ipul, hingga
memasuki bulan ke lima, jangankan amplop uang, kabarnya pun tak sampai kepada
kami.
Sering ibu duduk-duduk
di teras rumah sambil memandang jalanan di depan rumah dengan harapan akan
munculnya petugas pos dari tikungan jalan sana membawa amplop putih yang berisi
kabar maupun uang dari kak ipul, namun hingga petang merebahkan jubahnya tak
kunjung pula yang diharapkan tiba.
Itulah yang membuat ibu
mendapat tekanan batin, sementara Bapak satu bulan yang lalu diponis oleh
dokter di puskesmas desa menderita penyakit rematik, itu semakin memperparah
keadaan keluarga kami.
***
Satu tahun berlalu,
omongan masyarakat telah menyebar mempertanyakan nasib kakak kami, disana-sini
terdengar suara-suara bernada mengejek, “satu tahun kok belum ada hasilnya”,
dan sekian kata-kata lainnya yang merupakan kebiasaan jelek masyarakat di
desaku.
Aku merasa semakin tidak
nyaman dengan keadaan itu, beberapa kali aku menanyakan apakah kak Ipul pernah
menelpon ke Ibu, namun Ibu hanya diam tak menjawab apa-apa, kali ini mungkin
beliau juga merasakan firasat yang kurang baik dengan anak sulungnya itu.
Satu bulan berjalan,
tetap tidak ada kabar dari Kak Ipul, beberapa kali Ibu dan aku mengunjungi rumah
tetangga yang baru pulang dari luar negeri sana, namun mereka menjawab tidak
tahu, bahkan tak pernah bertemu katanya.
Kini Ibu bingung, akupun
mau tidak mau memikirkan hal ini. Ibu sebisa mungkin menyembunyikan hal itu
dari Bapak. Ibu tidak mau Beliau akan memiliki beban tambahan dengan keadaan
itu.
***
Sampai pada pertengahan
tahun kedua. Udara gunung berjejal dalam rongga keluarga kecil kami, debu
jalanan merangsak menyendat di pernapasan kami. Kini kami benar-benar khawatir
dengan Kak Ipul, mau tidak mau Bapakpun kini jejah dengan hal itu, Ibu, Bapak,
dan Aku sudah sempoyongan mau mencari kabar Kak Ipul ke mana, sementara adek
hanya bertanya kapan kak Ipul akan pulang.
“kak ipul tidak lupa kan
dengan janjinya pada Ical?” Tanya adikku suatu hari. Aku hanya mengangguk
dengan senyum yang dipaksakan.
Kenapa kak Ipul tidak
mengabari kami? Apa yang salah dengannya, kalau seandainya dia sudah memiliki
pekerjaan dan sangat sibuk, apakah tidak sempat ia menitip setidaknya salam
pada puluhan TKI lain yang pulang ke kampung ini? Atau mungkin ia telah lupa
kepada kami, kepada orang tuanya, kepadaku dan kepada adek dengan janjinya?
Serasa aku ingin berkelahi dengan kakak sulungku itu.
Kini aku benar-benar
menyalahkan kakakku, sungguh aku sangat benci terhadap Dia, Dialah yang membuat
penyakit Bapak semakin parah. Dialah yang membuat keluarga kami diperbincangkan
disana-sini desa ini.
***
Suatu pagi di akhir
tahun ke dua Kak Ipul di luar negeri. Waktu itu, Aku, Adek dan Ibu menonton
tivi di rumah tetangga sebelah. Saat itu Breking news, dilaporkan bahwa
3 tenaga kerja asal indonesia tewas tertembak polisi negara. Negara itu adalah
negara yang menjadi tujuan sebagian besar TKI di desa kami termasuk kakakku.
Hatiku gundah, perut
terasa beku, dunia terasa begitu sesak. aku saling bertatapan dengan Ibu. Ibu berpaling
dariku dan kemudian menengadahkan tangannya ke atas dengan air mata yang tak
bisa ia bendung, “Ya Tuhan semoga bukan anakku”. Aku mengamini haru doa Ibu.
Aku jadi teringat peristiwa tiga tahun silam dimana marwan salah satu pemuda
desa kami meninggal karena penganiyayaan oleh majikannya. juga di negeri itu.
Takdir memang tak bisa
dinegosiasi, ketika harapan kepada kakak Ipul begitu tinggi. Kami mengharap
kesuksesan yang akan Ia bawa dari Negeri Jiran itu. Kami titipkan mimpi dan
harapan kami kepadanya. namun kini kami harus berbenah, kami harus belajar
ikhlas, dan orang-orang harus menutup mulutnya rapa-rapat, dan merenungkan hal
ini, Bahwa jangan lagi ada kain kapan yang terurai dengan keberangkatan ke
negeri itu, Karena ternyata kakakku adalah salah satu dari tiga orang yang
meninggal kerena moncong senapan polisi negara itu.
Apakah itu tenaga kerja
jika hanya menjadi budak di negeri orang? Apakah itu tenaga kerja jika hanya
menjadi sarang peluru polisi-polisi mereka? Apakah itu tradisi yang telah
mencuri kakakku dan kini hilang untuk selamanya? Oh apakah itu tenaga kerja
yang mengubah mimpi indah menjadi duka mendalam? Seakan harapan amplop uang
diganti dengan amplop hitam yang melambangkan kematian.
*pernah dimuat di harian koran malang post (edisi minggu 17 juni 2012)
Post a Comment for "Amplop Hitam dari Negeri Jiran*"