Istihsan
Daftar Isi
- Pendahuluan
- Masalah dan Tujuan
- Pengertian Istihsan
- Macam-macam Istihsan
- Pandangan Ulama tentang Istihsan
- Kesimpulan
Pendahulan
PENDAHULUAN
Latar
belakang
Hukum
islam yang dibawa oleh nabi Muhammad SAW dari Allah SWT adalah prinsip-prinsip
kehidupan yang merupakan keniscayaan bagi manusia untuk melaksanakannya.
Manusia yang merupakan mahluk sosial dan berbudaya secara otomatis memerlukan
aturan-aturan untuk mengawal kehidupan mereka, agar intraksi social tidak
timpang satu sama lain.
Sumber
hukum islam yang disepakati ulama’ adalah al Qur’an, Hadits, Ijma’. Qiyas.
Jumhur ulama’ menyepakati keempat sumber hokum ini. Namun demikian masih
terdapat beberapa ulama’ yang tidak sepakat terhadap kehujahan qiyas dengan
beberapa alasan.
Seiring
perjalan waktu, perkembangan teknologi dan pengetahuan begitu pesat terjadi,
sehingga muncul banyak permasalahan-permasalahan baru yang terkadang tidak
cukup dengan keempat sumber hukum di atas. Atas dasar demikian muncul
setelahnya beberapa metode istinbath hokum yang pada kelanjutannya
diklaim sebagai sumber hukum yang dipercaya. Di antara sumber hukum yang muncul
adalah mashlahah mursalah, istihsan, dan lain sebagainya.
Kemunculan
sumber hukum yang baru tidak serta-merta diterima keabsahannya, sehingga tidak
heran pro dan kontra tetap bermunculan bahkan hingga saat ini. Terlepas dari
pro konta yang terjadi, jika melihat dari situasi dan kondisi masa ini
modifikasi terhadap hukum islam merupakan sebuah keniscayaan.
Di
antara sumber hukum yang baru itu adalah istihsan. Istihsan yang
merupakan dalil syariat yang prinsip dasarnya adalah kebaikan untuk umat,
tentunya sangat dibutuhkan untuk setidaknya meredam permasalahan-permasalahan
baru yang terjadi. Karena jika tetap berpegang pada sumber hukum yang empat
dengan fanatisme buta, otomatis agama akan ditinggalkan karena tidak bisa
mewadahi permasalahan-permasalahan baru yang terjadi.
Metode
yang ditawarkan istihsan cukup konflek kendati tetap membutuhkan pengembangan-pengembangan yang signifikan. Jamal Ma’mur Asmani misalnya
memandang bahwa istihsan merupakan keniscayaan untuk menerapkannya pada masa
ini, hal itu mencakup seluruh bidang kehidupan (sosial, politik, ekonomi,
budaya dan lain sebagainya) tentunya dengan modifikasi-modifikasi yang tidak
bertentangan dengan syariat agama.
Dalam
makalah ini kami akan membahas tentang istihsan, hal itu terkait dengan
definisi dan pro kontra yang terjadi terhadapnya. Tidak ketinggalan pula kita
akan mengkaji tentang pentingnya istihsan dalam kehidupan sekarang ini, yang
mana kita temukan banyak sekali permasalahan-permasalahan kontemporer yang
membutuhkan ijtihad hukum yang baru seperti: Bank, Arisan, Koperasi, Transaksi
lewat ATM, menanam investasi, Demokrasi dan sebagainya.
Masalah dan Tujuan
Rumusan
masalah
1.
Apakah
yang dimaksud dengan istihsan?
2.
Bagaimana
pendapat para ulama’ tentang istihsan?
3.
Bagaimana
pentingnya istihsan dalam kehidupan kita sekarang ini?
Tujuan
pembahasan
1.
Mengetahui
definisi istihsan
2.
Mengetahui
pendapat-pendapat ulama’ tentang istihsan dan pro kontra di dalamnya.
3.
Menganalisa
pentingnya istihsan pada zaman sekarang ini.
PEMBAHASAN
Pengertian
Dalam
eksistensinya istihsan banyak mengalami perdebatan terkait keabsahannya sebagai
sumber hukum dalam islam. Diantara golongan yang menolak istihsan adalah imam
syafi’i[1].
terkait penolakan sebagian ulama’ akan kita bahas pada bab selanjutnya.
Pengertian Istihsan
Istihsan
secara etimologi berarti: “menilai sesuatu sebagai baik” (Dahlan,2010: 197) “memperhitungkan
sesuatu lebih baik” atau “adanya sesuatu itu lebih baik” atau “mengikuti
sesuatu yang lebih baik” atau “mencari yang lebih baik untuk diikuti”,
(syarifuddin, 2008: 305).
Secara
terminologis ada banyak pendapat para ulama’ dalam mendefinisikan istihsan,
yang mana hal ini membawa kepada pro kontra penerimaan istihsan sebagai sumber
hukum. Di antara pendapat mereka:
1.
Abi
hanifah mendefinisikan istihsan cukup sederhana yakni menghukum dengan sesuatu
yang dianggap baik tanpa menggunakan dalil naqli[2].
2.
Al
bazdawi berbendapat bahwa istihsan adalah beralih dari konsekuensi suatu qiyas
kepada model qiyas lain yang lebih kuat dari qiyas yang pertama[3].
3.
Imam
malik berpendapat, bahwa istihsan adalah menerapkan yang terkuat diantra dua dalil,
atau menggunakan prinsip kemaslahatan yang bersipat parsial dalam posisi yang
bertentangan dengan dalil yang bersifat umum[4].
4.
Ibnu
subki
Ibnu subku mengajukan dua rumusan definisi istihsan[5]:
a.
Beralih
dari penggunaan suatu qiyas kepada qiyas lain yang lebih kuat dari padanya
(qiyas yang pertama).
b.
Beralih
dari penggunaan sbuah dalil kepada adat kebiasaan karena suatu kemaslahatan.
Masih
banyak lagi pendapat para ulama’ tentang definisi istihsan yang tidak mungkin
untuk kami muat di makalah yang sederhana ini.
Dari
sekian bentuk dan sudut pandang para ulama’ tentang istihsan di atas, dapat
disimpulkan bahwa istihsan adalah mengeluarkan hukum sesuatu dengan menggunakan
dalil baru yang dihasilkan melalui penelaahan mendalam terhadap dalil yang
digunakan sebelumnya karena adanya unsur-unsur dhorurah yang menyangkut
kepentingan umum serta dengan mempertimbangkan hal-hal baik yang ada di
dalamnya.
Macam-macam Istihsan
>Macam-macam
Istihsan
Ditinjau
dari dalil yang digunakan pada saat beralih dari qiyas istihsan:
a.
Beralih
dari apa yang dituntut oleh qiyas zhahir kepada yang dikhendaki oleh qiyas
khafi. Yakni sorang mujtahid menggunakan qiyas khafi dalam
menentukan hukum karena menganggapnya lebih baik dan sesuai dengan umat.
b.
Beralih
dari apa yang dituntut oleh nash yang umum kepada hukum yang bersifat khusus.Misalnya
seorang pencuri yang mencuri pada musim paceklik karena kelaparan maka hukum
ptong tangan baginya tidak ditetapkan karena berlakunya hokum khusus[6].
c.
Beralih
dari tuntutan hukum kulli kepada tuntutan yang dikehendaki hukum
pengecualian. Misalnya seseorang yang berwakaf namun masih dalam perwalian.
Ketentuan umum tidak membolehkan hal ini karena terkait umur orang yang
berwakaf, namun untuk menjaga harta anak tersebut diperbolehkan berwakaf untuk
dirinya sendiri sebagai bentuk perlindungan terhadap hartanya sendiri.
Dr.
H Abdur Rahman Dahlan, M.A dalam bukunya Usul Fiqh membagi istihsan ke dalam
dua bagian[7]:
1.
Istihsan qiyasi
Ialah suatu bentuk pengalihan hukum dari ketentuan hokum yang
didasarkan kepada qiyas jali kepada ketentuan hokum yang didasarkan kepada
qiyas khafi karena adanya alasan yang kuat untuk mengalihkan ketentuan hokum
tersebut. Alasan disini adalah kemashlahatan.
2.
Istihsan istitsna’i
Ialah qiyas dalam bentuk pengecualian dari ketentuan hokum yang
berdasarkan prinsip-prinsip umum, kepada ketentuan hokum tertentu yang bersifat
khusus.
Macam-macamnya:
a.
Istihsan bi an-Nash
Istihsan bi
an-Nash ialah pengalihan hokum dari ketentuan yang umum kepada ketentuan lain
dalam bentuk pengecualian karena ada nash yang mengecualikannya.
Misalnya puasa
seseorang yang makan dan minum pada waktu puasa yang disebabkan karena lupa.
Hal ini secara ketentuan umum telah batal puasanya, namun jika melihat hadits
nabi yang mengatakan, “Barang siapa yang lupa sedang ia berpuasa, kemudian
ia makan atau minum, maka hendaklah ia menyempurnakan puasanya, karena
sesungguhnya Allah sedang memberikan makan dan minum kepadanya”, maka
puasanya tidak batal. Peralihan hokum seperti inilah yang dinamakan istihsan bi
an nash.
b.
Istihsan bi al-ijma’
Ialah peralihan
hokum karena ada ketentuan ijma’ yang mengecualikannya.
Misalnya
transaksi yang berbentuk pemesanan. secara hokum jual beli perkara tersebut
tidak boleh berdasarkan hadits nabi, “jangan jualbelikan sesuatu yang belum
ada padamu” namun ijma’ para ulama’ tidak melarang hal tersebut karena
dipandang baik bagi umat.
c.
Istihsan bi al-urf
Ialah
pengecualian hokum dari prinsip syari’ah yang umum berdasarkan kebiasaan yang
berlaku.
Misalnya, tarif
angkot di kota malang dipukul rata untuk para penumpang tanpa melihat kadar
jauh atau dekatnya perjalanannya. Hal ini secara syariah terlarang namun karena
demi agar tidak timbulnya kesulitan dalam masyarakat dan memudahkan mereka
dalam beraktifitas, maka hal itu diperbolehkan.
d.
Istihsan bi ad-dharurah
Ialah suatu
keadaan darurat yang mendorong mujtahid untuk mengecualikan ketentuan qiyas
yang berlaku umum kepada ketentuan lain yang memenuhi kebutuhan mengatasi
keadaan darurat.
Misalnya mensucikan
air sumur yang telah terkena na’jis dengan mengurasnya.
e.
Istihsan bi al mashlahah al mursalah
Ialah
mengecualikan ketentuan hukum yang berlaku umum berdasarkan kemashlahatan,
dengan memberlakukan ketentuan lain yang memenuhi prinsip kemaslahatan.
Berbagai Pendapat Ulama tentang Istihsan
>Berbagai
pendapat ulama’ tentang istihsan
Sebagaimana
dikatakan di muka bahwa istihsan merupakan sumber hukum yang masih
diperdebatkan kehujahannya. Hal ini disbabkan karena sudut pandang yang berbeda
dalam memaknakan istihsan. Berikut akan kami paparkan beberapa argumen
golongan-golongan terkait istihsan yang mana di dalamnya terdapat pro dan
kontra.
Pertama
adalah kelompok yang berpendapat bahwa istihsan merupakan dalil syara’. Mereka
ini adalah mazhab hanafi, maliki dan hanbali[8]. Dan
yang kedua adalah kelompok yang menolak kehujahannya yakni kelompok as-syafi’i,
zahiriyah, mu’tazilah dan syi’ah. kelompok kedua ini berpendapat bahwa
menggunakan istihsan berarti mengedepankan hawa nafsu dan terlalu mengagungkan
akal murni dalam menetapkan hokum syariat[9].
Golongan
pertama yang menggunakan istihsan sebagai dalil syara’ mengemukakan banyak
argumen di antaranya sebagai berikut:
a.
Menggunakan
istihsan berarti mencari yang mudah dan meninggalkan yang sulit, sesuai dengan
firman Allah dalam surat al baqarah ayat 185.
“Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki
kesukaran bagimu”.
b.
Firman
Allah dalam surat az zumar ayat 55
“Dan ikutilah sebaik-baik apa yang telah diturunkan kepadamu dari
Tuhanmu sebelum datang azab kepadamu dengan tiba-tiba sedang kamu tidak
menyadarinya”.
c.
Ucapan
Abdullah bin Mas’ud ra.
فما رآه المسلمون حسنا فهو عند الله حسن
Sesuatu yang dipandang baik oleh kaum muslimin, maka ia dipandang
baik oleh Allah.
Sedangkan
golongan kedua mengungkapkan banyak argumen pula, diantaranya:
a.
Imam
Syafi’i tokoh utama mazhab syafi’i misalnya menolak dengan tegas istihsan,
beliau memandang bahwa berbuat istihsan itu seperti berbuat seenaknya[10].
Beliau mengatakan bahwa syariat itu berdasarkan nash al Qur’an, sunnah dan
qiyas, bukan berdasarkan istihsan[11].
b.
Banyak
ayat alquran memerintahkan untuk mentaati Allah dan rasulnya dan melarang
mengikuti hawa nafsu (surat annisa’ ayat 59)
c.
Rasulullah
tidak pernah menetapkan hokum dengan istihsan dan beliau tidak berbicara
menurut hawa nafsunya.
d.
Nabi
menolak para sahabat menggunakan istihsan yaitu ketetapan sahabat yang
didasarkan pada apa yang mereka pandang baik.
Misalnya, rasulullah menolak istihsan utsamah dalam membunuh musuh
laki-laki yang telah mengucapkan lailaha illallah.
e.
Istihsan
tidak pasti dan tidak jelas serta tidak dapat dijadikan ukuran untuk membedakan
antara yang haq dengan yang bathil.
f.
Jika
mujtahid diperbolehkan menggunakan istihsan, berarti ia tidak lagi berpegang
pada nash, tetapi hanya berhujah dengan akal semata. Alasan alasan penolakan
ini dekemukakan semua oleh imam syafi’i[12].
Meski
perbedaan tentang istihsan sangat kental terlihat di atas namun pada hakikatnya
perbedaan tersebut tidak menyentuh hal-hal yang mendasar, dengan kata lain
perbedaan pendapat di antara mereka hanya pada segi penggunaan istilah (al-khulf
lafzi)[13].
Sebab jika kita perhatikan kritik yang dikemukakan oleh imam syafi’i adalah
kritik yang ditujukan kepada istihsan yang berlandaskan akal semata.
Penolakan
imam syafi’i sebenarnya lebih merupakan kehati-hatian beliau dalam masalah
fiqh, beliau dengan penolakan tersebut ingin membatasi ruang orang-orang yang belum
memiliki kapasitas yang mapan dalam berijtihad agar tidak seenaknya dalam
membuat hukum[14].
Jika
kita meninjau lebih jauh pula bahwa guru Imam Syafi’i, Imam Malik tetap menerima
istihsan sebagai hukum syariat demikian pula ulama’ fiqih setelah beliau (imam
syafi’i) Imam Hanifah misalnya. Istihsan menurut Imam Abu Hanifah dan Imam
Maliki tidak keluar dari nash, ia tetap berpihak pada nash sehingga
tidak bertendensi mengikuti hawa nafsu[15].
As-syairazi
dalam kitabnya Alluma’ fi Ushulul Fiqhi menjelasakan tentang perbedaan
definisi istihsan dikalangan para muridnya imam hanafi. Beliau tidak menerima
pendapat imam hanafi yang memandang bahwa definisi istihsan adalah menetapkan
sesuatu yang dianggap baik tanpa menggunakan dalil syariat. Dan beliau lebih
condong kepada golongan yang berpendapat bahwa istihsan adalah mengikuti dalil
yang lebih kuat diantara dua dalil dalam menentukan suatu hukum[16].
Namun
kembali lagi, bahwa hal tersebut hanya dalam perbedaan teori sedangkan dalam
praktiknya jumhur ulama’ menggunakan istihsan.
Pada hakikatnya, istihsan dengan segala bentuknya adalah
mengalihkan ketentuan hukum syara’ dari yang berdasarkan suatu dalil syara’
kepada hukum lain yang didasarkan kepada dalil syara’ yang lebih kuat. karena
prinsip ini yang menjadi substansi istihsan, maka pada hakikatnya tidak ada
seorang ulama’pun yang menolak keberadaan istihsan sebagai dalil syara’(Dahlan,
2010:206).
Pentingnya istihsan dalam kehidupan sekarang ini (zaman ini).
Perkembangan ilmu pengetahuan dan tekhnologi telah membawa kita
kepada perubahan gaya hidup, pola pikir dan sebagainya. Seiring perkembangan
pemikiran manusia, bertambah pula-permasalahan-permasalahan kehidupan yang
muncul dalam kehidupan ini terlebih untuk zaman modern saat ini. Permasalah
yang muncul mencakup banyak hal, mulai dari yang berkaitan dengan hak-hak
individual hingga hak-hak yang bersifat general.
Agama dalam peranannya harus bisa mengatasi hal ini, ketika agama
berada di lorong sejarah peradaban modern. Konsep dan doktrin agama
termarjinalkan, tanpa punya pengaruh terhadap dinamika sosial. Dalam konteks
ini, agama ditantang menyuguhkan konsepnya yang inovatif dan inspiratif yang
memotivasi manusia menemukan kebahagiaan dan keberuntungan dunia dan akhirat.
Istihsan bisa menjadi salah satu entry point melakukan hal
terobosan tersebut. Sepanjang tidak ada nash sharih yang melarang dan hal itu
membawa kemaslahatan umum, maka istihsan perlu digunakan dengan pertimbangan
semua produktifitas ilmu pengetahuan, teknologi, ekonomi dan perdagangan yang
hingga saat ini tidak pernah menjadikan agama sebagai pijakannya[17].
Dengan demikian, keberadaan istihsan sangat penting untuk mengawal
laju perkemabangan yang sangat cepat ini. Tentunya dibutuhkan teori-teori
istihsan yang tidak jumud, dengan artian istihsan juga harus ikut
memiliki perkembangan dalam membaca situasi kehidupan yang mencakup segala sisi
(sosial,ekonomi, politik dan sebagainya). Maka pengembangan konsep istihsan adalah
sebuah keniscayaan yang tidak bisa ditunda-tunda lagi[18].
PENUTUP
Kesimpulan
Kesimpulan
1.
Istihsan
adalah mengeluarkan hukum sesuatu dengan menggunakan dalil baru yang dihasilkan
melalui penelaahan mendalam terhadap dalil yang digunakan sebelumnya karena
adanya unsur-unsur dhorurah yang menyangkut kepentingan umum serta
dengan mempertimbangkan hal-hal baik yang ada di dalamnya.
2.
Istihsan
dengan segala bentuknya adalah mengalihkan ketentuan hukum syara’ dari yang
berdasarkan suatu dalil syara’ kepada hukum lain yang didasarkan kepada dalil
syara’ yang lebih kuat. karena prinsip ini yang menjadi substansi istihsan,
maka pada hakikatnya tidak ada seorang ulama’pun yang menolak keberadaan
istihsan sebagai dalil syara’.
3.
Keberadaan
istihsan sangat penting untuk mengawal laju perkemabangan yang sangat cepat
ini. Tentunya dibutuhkan teori-teori istihsan yang tidak jumud, dengan
artian istihsan juga harus ikut memiliki perkembangan dalam membaca situasi
kehidupan yang mencakup segala sisi (sosial,ekonomi, politik dan
sebagainya). Maka pengembangan konsep
istihsan adalah sebuah keniscayaan yang tidak bisa ditunda-tunda lagi.
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah
Muhammad bin Idris As-Syafi’i, Arrisalah. Tanpa tahun dan penerbit
Abi Ishaq Ibrahim As-Syairazi, Alluma’ fi Ushulil Fiqhi,
Jakarta: Darul Kutubil Islamiyyah, 2011
Asmani, Jamal Ma’mur, Fiqih Sosial Kiyai Sahal Mahfudh Antara
Konsep dan Implementasi, Surabaya: Khalista, 2007.
Dahlan,
Abd. Rahman, Ushul Fiqh, Jakarta: Amzah, 2010
Syarifuddin,
Amir, Ushul Fiqh, Jakarta: Kencana, 2008
[1] Jamal Ma’mur
Asmani. Fiqih Sosial Kiyai Sahal Mahfudh, Antara Konsep dan Implementasi.
2007. Khalista Surabaya. Hlm: 270
[2] Alluma’ fi
ushulil fiqhi, hlm: 161
[3] Albukhori
dalam Abdurrahman Dahlan. Usul fiqh, 2010: 197
[4] Ibid, hlm: 198
[5] Amir
Syarifuddin, Usul Fiqh jilid II. cetakan 2008 Jakrta: Kencana. hlm: 305
[6] Ibid, hlm: 310
[7] Op.cit, hlm:
198
[8] Abdurrahman
Dahlan, Usul Fiqh cetakan 2010 hlm: 203
[9] Ibid
[10] Imam as
syafi’I, Ar risalah hlm: 507
[11] Jamal Ma’mur
Asmani, Fiqih Sosial Kiyai Sahal Mahfudh Antara Konsep dan Implementasi.
Surabaya, Khalista 2007 hlm: 278
[12] Ibid, hlm. 279
[13] Abd. Rahman
dahlan, Usul Fiqh. Hlm. 206
[14] Lihat kitab Ar
risalah, hlm. 505
[15] Ma’mur Asmani,
2007: 279
[16] As-syairozi, Alluma’
fi Ushulil Fiqhi. Darul Kutubul Islamiyyah, Jakarta 2011 hlm. 161
[17] Ma’mur Asmani,
hlm. 280
Senang mengunjungi blog anda,,, trima ksi infonya,,,maaf ada beberapa tulisan anda yang cukup membantu saya,, izin copas y,,, trims,,,
ReplyDeletealhmdulillah bisa bermanfaat untuk anda... mohon jangan dicopas leterlek ya, silahkan dimodifikasi dan bandingkan dengan tulisan-tulisan yang lain..
ReplyDelete